
Oleh: Da’iyah Syifaulqulub
Secara umum, Islamic Financial Institution(IFI) atau Lembaga Keuangan Syariah (LKS), merupakan lembaga perantara keuangan, dimana melakukan proses distribusi dana dari pihak yang kelebihan dana(lendersaver) kepada pihak yang membutuhkan dana atau (borrowerspender)(Mishkin & Eakins, 2009). Distribusi dana ini bertujuan untuk digunakan sebagai modal investasi atau pemenuhan kebutuhan dana diluar perencanaan keuangan olehborrowerspender.
Oleh karena itu, keberhasilan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dalam menjalankan fungsinya dapat dilihat dari presentase perputaran dana pada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) tersebut. Jika perputaran dana tersebut berjalan baik dan mengalami peningkatan, maka Lembaga Keuangan Syariah (LKS) tersebut dinyatakan telah berhasil menjalankan fungsinya. Akan tetapi, hal ini hanya dapat tercapai apabila Lembaga Keuangan Syariah (LKS) mampu mendapatkan dan menjaga kepercayaan publik terutama deposan selaku borrowerspender dan investor selaku lendersaver.
Berdasarkan Statistik Perbankan Syariah (SPS) 2016 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga Agustus 2016, tercatat Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia berjumlah 199 lembaga.199 Lembaga tersebut terdiri dari 12 Bank Umum Syariah (BUS), 22 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 165 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Dengan tingginya jumlah Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia, maka diperlukan treatment khusus agar Lembaga Keuangan Syariah (LKS) tersebut dapat menjalankan fungsinya sebagai Lembaga Keuangan Syariah (LKS) secara benar, yaitu diterapkannya nilai-nilai, prinsip-prinsip dan hukum-hukum syariah. Yang dimaksud dengan treatment khusus disini berupa diterapkannya audit syariah terhadap 199 Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia tersebut.
Dengan diterapkannya audit syariah, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia selain dapat melakukan pencegahan-pencegahan terhadap kemungkinan risiko-risiko yang akan timbul di kemudian hari, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) juga dapat mengukur sejauh mana nilai-nilai, prinsip-prinsip dan hukum-hukum syariah diterapkan di lembaganya.Kepala Program Studi Akuntansi Syari’ah STEI SEBI, Sepky Mardian, dan Qonita Mardiyah, menjelaskan dalam penelitiannya terkait praktik audit syariah di lembaga keuangan syariah di indonesia bahwa,“tujuan utama auditing Lembaga Keuangan Syariah (LKS) adalah untuk memberikan opini atas laporan keuangan yang disiapkan manajemen (perusahaan), dalam semua aspek material telah sesuai dengan hukum dan prinsip syariah, AAOIFI, dan standar akuntansi nasional negara yang bersangkutan”(Mardian & Mardiyah, 2015).
Oleh karena itu, audit syariah ini penting untuk dilakukan mengingat poin utama yang membedakan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan lembaga keuangan konvensional adalah dilibatkannya nilai-nilai syariah, prinsip-prinsip syariah dan hukum-hukum syariah pada setiap bagian dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS), baik produk keuangan maupun sistem keuangan. Dengan kata lain, audit syariah ini mengukur sejauh mana kepatuhan syariah (shariah complience) diterapkan pada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan seberapa baik laporan keuangan yang disusun oleh pihak Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Namun, timbul sebuah pertanyaan, apakah audit syariah yang dijadikan sebagai alat ukur pemeriksaan laporan keuangan dan kepatuhan syariah (shariah complience) Lembaga Keuangan Syariah (LKS) benar-benar dapat mengukur hal tersebut?Apakah audit syariah yang diterapkan telah ideal untuk melakukan pemeriksaan Lembaga Keuangan Syariah (LKS)? Karena apabila audit syariah yang diterapkan tidak mampu mengukur laporan keuangan dan kepatuhan syariah (shariah complience) suatu Lembaga Keuangan Syariah (LKS) secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa audit syariah tersebut tidak memberikan hasil yang berarti. Dengan kata lain, tujuan yang diharapkan dari diterapkannya audit syariah tidak tercapai.
Nur Laili Abd Ghani dan Abdul Rahim Abdul Rahman (2015)dalam penelitiannya yang berjudul An Analysis of Shari’ah Audit Practices in Islamic Banks in Malaysia, menggunakan indikator variabel yang terdapat dalam Exposure Draft Kerangka Audit Syariah Internal yang diterbitkan oleh International Shari’ah Research Academy (ISRA) untuk mengukur sejauh mana praktik audit syariah diterapkan di 16 Bank Syariah di Malaysia (10 Bank Syariah lokal dan 6 Bank Syariah asing). Indikator variabel yang digunakan tersebut terdiri dari ruang lingkup audit (audit scope), tujuan audit (audit objectives), audit dan tata kelola (audit and governance), piagam audit (audit charter), kompetensi auditor (competency of auditors), proses audit (audit process), dan persyaratan pelaporan (reporting requirements).
Hasil penelitian Nur Laili Ab Ghani dan Abdul Rahim Abdul Rahman (2015) menunjukkan bahwa, sebagian besar bank syariah di Malaysia telah membentuk tujuan audit, struktur tata kelola, persyaratan kompetensi auditor, proses audit, dan persyaratan pelaporan sebagai bagian dari praktik audit syariah yang sesuai dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) mereka. Akan tetapi, beberapa bank syariah belum menentukan lingkup audit dan piagam audit yang sesuai dengan lembaga keuangan syariah (LKS) mereka. Dengan kata lain, praktik audit syariah di lembaga keuangan syariah (LKS) di Malaysia sudah cukup baik dan menunjukkan perkembangan positif dalam meningkatkan integritas dan akuntabilitas Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Malaysia. (Rahman & Ghani, 2015)
Sedangkan Qonita Mardiyah dan Sepky Mardian (2015) menggunakan indikator variabel kerangka kerja audit syariah, ruang lingkup audit syariah, independensi auditor syariah dan kualifikasi auditor syariah dalam mengukur kesesuaian praktik audit syariah di lembaga keuangan syariah (LKS) di Indonesia. Diperoleh hasil bahwa praktik audit pada LKS telah berjalan cukup sesuai (Mardian & Mardiyah, 2015).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa praktik audit syariah yang ideal adalah sebagai berikut:
- Dewan Pengawas Syariah (DPS) teliti dalam melakukan shariah review terkait produk dan kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS);
2. Auditor internal yang diamanahkan untuk membantu Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam melakukan shariah review harus memiliki pengetahuan dan keahlian syariah yang memadai;
3. Auditor eksternal memiliki kompetensi untuk melakukan shariah complience test serta mampu melakukan proses audit secara terstruktur;
4. Tersedianya kerangka kerja audit (audit framework) yang didasarkan pada standar dan aturan kegiatan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan menyertakan aspek religiusitas;
5. Audit syariah harus memastikan kebenaran, keadilan dan relevansi laporan keuangan yang diterbitkan manajemen dan memastikan bahwa manajemen telah melakukan tugasnya sesuai dengan hukum dan prinsip syariah serta tujuan syariah;
6. Ruang lingkup audit syariah meliputi laporan keuangan (termasuk Islamic Social Report dan CSR), aktivitas ekonomi, kinerja, pengaruh sosial dan lingkungan, SDM, kesyariahan produk, dan lain sebagainya;
7. Auditor perlu dan harus independen dalam sikap maupun kelembagaan;
8. Tersedianya kerangka kerja pelaksanaan tugas auditor syariah yang berisi prosedur pelaksanaan tugas secara jelas;
9. Tersedianya standar baku praktik audit syariah di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) secara komprehensif;
10. Audit syariah dilakukan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan di Lembaga Keuangan Syariah (LKS);
11. Audit syariah dilakukan sepanjang tahun, tidak hanya pada saat-saat tertentu saja;
12. Lembaga Keuangan Syariah (LKS) telah membentuk fungsi audit syariah;
13. Lembaga Keuangan Syariah (LKS) memiliki perencanaan yang tepat, pelaksanaan dan pelaporan fungsi audit syariah.
Dengan demikian, laporan keuangan dan kepatuhan syariah (shariah complience) di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) hanya akan dapat terukur dengan baik apabila auditor syariah (baik auditor syariah internal maupun auditor syariah eksternal) memahami dan mampu menerapkan praktik audit syariah yang sesuai untuk mengukur sejauh mana nilai, prinsip, dan hukum syariah yang berlaku diterapkan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) serta tersedianya kerangka kerja dan standar baku pelaksanaan audit syariah. Karena melalui praktik audit syariah ini, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat meyakinkan stakeholder bahwa Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang berhubungan dengan mereka telah menjalankan lembaganya sesuai dengan nilai, prinsip dan hukum syariah. Dengan kata lain, baik lendersaver maupun borrowerspender akan merasa aman membangun kerjasama dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) tersebut.
Referensi:
Mardian, S., & Mardiyah, Q. (2015). Praktik Audit Syariah di Lembaga Keuangan Syariah Indonesia. Akuntabilitas: Vol. VIII No. 1, 1-17.
Mishkin, F. S., & Eakins, S. (2009). Financial Markets and Institutions. Boston: Pearson, Prentice Hall.
Otoritas Jasa Keuangan. (2016). Statistik Perbankan Syariah 2016. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan.
Rahman, A. R., & Ghani, N. L. (2015). An Analysis of Shari’ah Audit Practices in Islamic Banks in Malaysia. Jurnal Pengurusan 43(2015), 107-118.
Profil Penulis:
Da’iyah Syifaulqulub; Mahasiswi S1 Program Studi Akuntansi Syariah (Semester VII) di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI (STEI SEBI); Selama menjadi mahasiswi STEI SEBI, telah meraih 2 kejuaraan yaitu Juara 2 Lomba Karya Tulis Ekonomi Islam Temilreg FOSSEI Jabodetabek 2015 dan Juara 1 Sharia Entrepreneur Challenge Temilreg FOSSEI Jabodetabek 2016.