Investasi yang Menjanjikan Keuntungan Pasti, Apakah Sesuai Syariat?

Oleh: Puja Kheira Dinda, Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Banyak yang mengatakan bahwa investasi adalah ilmunya konglomerat karena dapat menghasilkan uang tanpa harus keluar keringat. Mungkin orang yang kolot akan menyebut seorang investor memakai “babi ngepet”. Akan tetapi, tidak bisa kita hindari adanya risiko dalam berinvestasi. Bukan hanya keuntungan saja, tetapi juga risiko kerugian harus ditanggung bersama karena keadaan ekonomi yang fluktuatif dan sulit ditebak.

Bacaan Lainnya

Saat ini sedang marak-maraknya menginvestasikan uang dengan jumlah yang tak terbatas jumlahnya. Semakin banyak yang diinvestasikan maka semakin besar pula keuntungannya sesuai jangka yang sudah ditentukan. Misalnya, jumlah yang diinvestasikan sebesar 500 ribu rupiah maka dalam jangka 3 tahun akan menjadi 18 juta rupiah atau bisa diganti dengan 1 unit motor, umroh, haji, dsb. Apakah keutungan yang sudah dipastikan tersebut halal?

Sebagai seorang muslim, tidak cukup hanya modal yang halal untuk diinvestasikan. Akan tetapi, perusahaannya pun harus halal, yaitu yang bebas dari unsur garar, maysir, dan riba. Selain itu, pembagian keuntungan pun harus adil, yaitu berdasarkan besarnya modal yang ditanam. Jika ada investasi yang menjanjikan keuntungan yang pasti, artinya itu telah mendahului Allah. Seolah-olah pasti beruntung dengan nominal yang tetap. Padahal, perusahaan bisa saja mengalami keuntungan atau kerugian. Jelas hukumnya haram. Jika ada yang menawarkan investasi semacam itu, sudah dipastikan itu adalah “investasi bodong.” Oleh karena itu, seorang muslim harus paham tentang ilmu dalam dunia investasi sebelum memulai investasi.

BACA JUGA:  Pemimpin Cerdas yang Berintegritas

Sebelum memulai investasi, seorang muslim harus mengetahui tentang investasi yang sesuai syariat. Tentunya agar uang yang kita investasikan tetap mendapatkan keberkahan dunia dan akhirat. Terlebih lagi agar uang yang kita investasikan menjadikan kita lebih dekat dengan Allah ta’ala. Menurut Chair (2015), ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam berinvestasi menurut perspektif islam, di antaranya :

  • Aspek material atau finansial. Artinya suatu bentuk investasi hendaknya menghasilkan manfaat finansial yang kompetitif dibandingkan dengan bentuk investasi lainnya.
  • Aspek kehalalan. Artinya suatu bentuk investasi harus terhindar dari bidang maupun prosedur yang subhat atau haram. Suatu bentuk investasi yang tidak halal hanya akan membawa pelakunya kepada kesesatan serta sikap dan perilaku destruktif (ḍarūrah) secara individu maupun sosial.
  • Aspek sosial dan lingkungan. Artinya suatu bentuk investasi hendaknya memberikan kontribusi positif bagi masyarakat banyak dan lingkungan sekitar, baik untuk generasi saat ini maupun yang akan datang.
  • Aspek pengharapan kepada ridha Allah. Artinya suatu bentuk investasi tertentu dipilih adalah dalam rangka mencapai ridha Allah.

Aspek-aspek tersebut tersebut menunjukkan bahwa islam sangat teliti untuk kebaikan umat muslim. Maha Suci Allah yang telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, bahkan dari hal-hal kecil sekalipun. Aspek-aspek ini menjelaskan hal-hal yang hendaknya diperhatikan agar selalu mendapat kebaikan dari investasi. Secara khusus fatwa DSN-MUI No. 80/DSN-MUI/III/2011 mengatur bagaimana memilih investasi yang dibolehkan syariat dan melarang kegiatan yang bertentangan dengan prinsip syariah dalam kegiatan investasi dan bisnis, yaitu:

  • Maisir, yaitu setiap kegiatan yang melibatkan perjudian dimana pihak yang memenangkan perjudian akan mengambil taruhannya.
  • Gharar, yaitu ketidakpastian dalam suatu akad, baik mengenai kualitas atau kuantitas objek akad maupun mengenai penyerahannya.
  • Riba, tambahan yang diberikan dalam pertukaran barang-barang ribawi (alamwal al-ribawiyyah) dan tambahan yang diberikan atas pokok utang dengan imbalan penangguhan imbalan secara mutlak.
  • Baṭil, yaitu jual beli yang tidak sesuai dengan rukun dan akadnya (ketentuan asal/ pokok dan sifatnya) atau tidak dibenarkan oleh syariat Islam.
  • Bay’i ma’dum, yaitu melakukan jual beli atas barang yang belum dimiliki.
  • Iḥtikar, yaitu membeli barang yang sangat dibutuhkan masyarakat (barang pokok) pada saat harga mahal dan menimbunnya dengan tujuan untuk menjual kembali pada saat harganya lebih mahal.
  • Taghrir, yaitu upaya mempengaruhi orang lain, baik dengan ucapan maupun tindakan yang mengandung kebohongan, agar terdorong untuk melakukan transaksi
  • Ghabn, yaitu ketidakseimbangan antara dua barang (objek) yang dipertukarkan dalam suatu akad, baik segi kualitas maupun kuantitas.
  • Talaqqi al-rukban, yaitu merupakan bagian dari ghabn, jual beli atas barang dengan harga jauh di bawah harga pasar karena pihak penjual tidak mengetahui harga tersebut.
  • Tadlis, tindakan menyembunyikan kecacatan objek akad yang dilakukan oleh penjual untuk mengelabui pembeli seolah-olah objek akad tersebut tidak cacat.
  • Ghishsh, merupakan bagian dari tadlis, yaitu penjual menjelaskan atau memaparkan keunggulan atau keistimewaan barang yang dijual serta menyembunyikan kecacatan.
  • Tanajush/Najsh, yaitu tindakan menawar barang dangan harga lebih tinggi oleh pihak yang tidak bermaksud membelinya, untuk menimbulkan kesan banyak pihak yang berminat membelinya.
  • Dharar, tindakan yang dapat menimbulkan bahaya atau kerugian bagi pihak lain.
    Rishwah, yaitu suatu pemberian yang bertujuan untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya, membenarkan yang bathil dan menjadikan yang bathil sebagai sesuatu yang benar.
  • Maksiat dan zalim, yaitu perbuatan yang merugikan, mengambil atau menghalangi hak orang lain yang tidak dibenarkan secara syariah, sehingga dapat dianggap sebagai salah satu bentuk penganiayaan.
BACA JUGA:  Pemimpin Cerdas yang Berintegritas

Berdasarkan paparan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak factor yang menjadi pertimbangan bagi investor sebelum melakukan investasi. Kalau umat islam memahami ilmu investasi yang seusuai Syariah, in syaa Allah akan terhindar dari berbagai penipuan atau “investasi bodong” karena islam memiliki aturan dan batasa-batasan dalam bermuamalah, mulai dari pemilihan perusahaan yang akan diinvestasikan hingga transaksi sesuai syariat. []

Pos terkait