Opini  

Marak Kasus Perselingkuhan, Apa yang Layak jadi Pedoman?

Oleh: Artya Chamiastri, Visualis Dakwah Depok

Kasus perselingkuhan seorang vokalis band berinisial V akhir-akhir ini menjadi pembicaraan di kalangan masyarakat. Konon perselingkuhan itu sudah terjadi sejak 2 tahun belakangan, dan bukan hanya dengan 1 wanita. V bahkan telah membuat surat pengakuan bahwa dirinya benar telah berselingkuh, dan siap diproses hukum jika terbukti mengulanginya.

Belum hilang kasus V dari benak masyakarat, muncul lagi berita perselingkuhan artis CS dan FC. Padahal mereka semua selama ini memiliki image family man, tipe lelaki yang sangat bucin kepada istri. Tapi ternyata justru berbuat serong hingga bertahun-tahun lamanya.

Tak ayal berita semacam ini menimbulkan rasa paranoid di hati sebagian pihak, terutama wanita, baik yang sudah menikah maupun belum, semuanya memikirkan hal yang sama: “Kalau yang istrinya cantik jelita dan selalu terlihat mesra saja suaminya masih main sana sini, lantas bagaimana dengan saya? Apa yang bisa mencegah suami saya kelak dari berbuat hal yang demikian?”

Itulah yang terjadi ketika aturan Islam tidak diterapkan di tengah-tengah masyarakat, salah satunya terkait pergaulan. Padahal Islam telah mengatur itu semua. Mulai dari bangun tidur hingga beranjak untuk tidur kembali. Semua telah diatur dengan jelas dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Pun dalam perkara rumah tangga. Syariat Islam sangatlah sempurna, hingga mampu menjadi benteng yang mencegah perselingkuhan.

Lantas apa saja aturan tersebut? Pertama, dimulai dari memilih pasangan yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Dewasa ini, hampir sebagian besar anak muda sudah pernah merasakan yang namanya pacaran. Pacaran dianggap sebagai penjajakan mengenal pasangannya lebih jauh supaya tidak kaget akan sifatnya ketika sudah berumah tangga. Tapi apakah benar begitu?

Sering terjadi, ketika pacaran sudah ada sifat pasangan yang membuat hati tidak sreg, tapi tetap dilanjutkan karena berharap pasangannya akan berubah sendiri. Atau memutuskan menikah hanya karena usia yang sudah semakin bertambah, maupun karena pacarannya yang sudah terlalu lama sehingga menikah dianggap sebagai the next step yang paling masuk akal, padahal ada hal-hal dalam diri pasangan yang masih mengganjal. Akibatnya, ketika menjalani biduk rumah tangga akan menemui banyak kerikil-kerikil hingga topan badai yang mampu menggoncang bahkan membubarkan rumah tangga.

Sementara dalam Islam, menikah adalah bentuk ibadah. Disebutkan bahwa dengan menikah berarti telah menyempurnakan separuh agama. Berarti menikah bukanlah perkara main-main. Tidak boleh diawali dengan sesuatu yang haram seperti pacaran.

Ketika ingin menikah, selayaknya memilih calon pasangan yang benar-benar taat kepada Allah. Sehingga ketika kelak ia menjadi suami, keimanannya mampu menjaganya dari perbuatan tidak senonoh. Ketika ia kelak menjadi istri, ketakwaannya mampu mengingatkannya untuk menjaga maruah diri dan keluarganya. Dengan begitu, baik suami maupun istri mampu menghindarkan keluarganya dari api neraka.

Kedua, menjaga interaksi dengan lawan jenis. Banyak kasus perselingkuhan yang berawal dari sekadar curhat-curhatan antara teman laki-laki dan perempuan. Seseorang yang tidak mendapat kepuasan dari pasangannya, lantas menceritakan masalahnya kepada teman lawan jenis dengan tujuan mendapatkan perhatian yang tidak bisa ia dapatkan dari pasangan sahnya. Tak ayal lama kelamaan muncul perasaan nyaman yang tidak seharusnya. Inilah yang menjadi bibit perselingkuhan.

Islam sendiri sudah jelas melarang khalwat, yaitu berdua-duaannya lelaki dan wanita, baik secara tatap muka, maupun secara daring. Dengan ditutupnya kemungkinan untuk berkhalwat, maka semakin sulit pula untuk bermain serong.

Dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 187 juga mengatakan bahwa istri adalah pakaian bagi suami, maupun sebaliknya. Ayat tersebut menyiratkan bahwa para istri wajib berlaku selayaknya pakaian, yaitu menutupi aib dan kekurangan suaminya, dan suami pun melakukan hal yang sama. Tidak boleh mengumbar kekurangan pasangan kepada orang lain, kecuali untuk berkonsultasi kepada orang yang berkepentingan seperti dokter atau guru agama demi mendapat maslahat dalam permasalahan yang dihadapinya.