Ekonomi Depok Melesat, Tapi Mobilitas Tersendat

Ekonomi Depok Melesat, Tapi Mobilitas Tersendat

Oleh Dr. Andri Yudhi Supriadi, Alumni Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia

Di balik gemerlap pertumbuhan ekonomi Kota Depok yang terus menanjak setiap tahun, terdapat wajah lain dari kota ini yang tak bisa diabaikan: kemacetan yang semakin menjadi bagian dari keseharian warganya. Seperti dua sisi dari mata uang, laju pembangunan ekonomi dan deru kendaraan di jalan-jalan utama Depok saling berdampingan, namun tidak selalu seiring dalam harmoni.

Bacaan Lainnya

Lonjakan Ekonomi, Tekanan Mobilitas

Data dari Badan Pusat Statistik Kota Depok mencatat bahwa produk domestik regional bruto (PDRB) Depok meningkat dari 5,05% di tahun 2023 menjadi 5,47% pada 2024. Peningkatan ini didorong oleh geliat sektor jasa, terutama:

  • Transportasi dan Pergudangan, yang melonjak drastis dari 5,62% menjadi 15,80%,
  • Informasi dan Komunikasi, dari 7,98% ke 11,4%,
  • Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, yang naik dua kali lipat dari 3,63% ke 8,44%.
BACA JUGA:  BSI Bersama PMI Kota Depok Gelar Rekat Fest 2025 di Alun-alun Depok

Pertumbuhan ini memberi harapan besar akan kemandirian ekonomi lokal. Namun ironi muncul ketika sektor transportasi yang seharusnya menjadi enabler justru tersendat oleh infrastrukturnya sendiri.

Margonda Raya: Simbol Ketidakseimbangan Perkotaan

Salah satu titik kritis adalah Jalan Margonda Raya, yang menjadi urat nadi utama pergerakan di Depok. Berdasarkan penelitian yang dimuat dalam Jurnal Forum Mekanika (2024), kapasitas jalan ini berada di angka 8.351 smp/jam. Namun, arus kendaraan dari arah Depok ke Jakarta mencapai 3.049 smp/jam, dan sebaliknya 2.736 smp/jam, dengan tingkat kejenuhan pada jam sibuk bisa menyentuh 1,12, jauh melewati ambang batas ideal (< 0,75). Ini menempatkan Margonda pada level pelayanan F, yakni kondisi lalu lintas yang dipaksakan, kecepatan rendah, dan antrian panjang.

Kondisi tersebut diperparah oleh tingginya hambatan samping — hingga 564 kejadian per jam — yang didominasi oleh parkir liar, aktivitas pejalan kaki, dan kendaraan keluar-masuk toko. Pada jam-jam puncak, seperti Jumat sore, kecepatan kendaraan bisa anjlok hingga di bawah 10 km/jam, mencerminkan ketidakmampuan jaringan jalan mengakomodasi pertumbuhan aktivitas.

BACA JUGA:  Depok Diselimuti Kabut dan Udara Dingin, Ini Kata BMKG!

Dampak Ekonomi: Bukan Sekadar Waktu Terbuang

Kemacetan di Depok tidak sekadar menambah frustrasi di jalan. Ia membawa konsekuensi ekonomi yang lebih dalam. Berdasarkan kajian Kementerian Perhubungan, kerugian ekonomi akibat kemacetan di wilayah Jabodetabek mencapai Rp65 triliun per tahun. Dengan kontribusi Depok sebagai kota satelit penting, bagian dari kerugian itu tak bisa dianggap sepele.

UMKM, sektor logistik, dan perdagangan ritel di Depok menjadi pihak yang paling terdampak. Waktu tempuh yang tidak menentu menyebabkan keterlambatan distribusi barang, menurunkan efisiensi, dan bahkan bisa mengikis daya saing ekonomi lokal. Apalagi jika tren urbanisasi dan mobilisasi ke Depok terus berlanjut tanpa diimbangi peningkatan kapasitas transportasi.

Solusi: Antara Infrastruktur dan Pendekatan Sistemik

Pemerintah Kota Depok sebenarnya telah mengambil langkah-langkah perbaikan. Pengaktifan kembali Stasiun Pondok Rajeg, pelebaran Jalan Sawangan, serta rekayasa lalu lintas di Simpang Tugu Batu menjadi contoh intervensi taktis. Namun, langkah-langkah ini masih bersifat reaktif dan parsial.

BACA JUGA:  Pikiran yang Tenang

Dibutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh. Salah satunya dengan mengintegrasikan indikator biaya kemacetan dalam neraca wilayah. Artinya, pertumbuhan ekonomi hendaknya dibaca berdampingan dengan kualitas mobilitas. Investasi transportasi publik terintegrasi dan peningkatan pedestrian-friendly design pun perlu didorong, bukan sekadar memperlebar jalan untuk kendaraan pribadi.

Tumbuh atau Tumbang?

Depok tengah berada pada simpang jalan antara menjadi kota yang hanya “tumbuh” secara angka, atau kota yang “tumbuh cerdas”. Pertumbuhan ekonomi harus dikawal dengan kebijakan transportasi yang berbasis data dan berpihak pada efisiensi. Tanpa itu, kemacetan akan terus menjadi rem tak terlihat yang menghambat potensi luar biasa kota ini.

Warga Depok tidak hanya butuh kota yang berkembang, tetapi juga kota yang bisa mereka nikmati tanpa harus mengorbankan waktu, produktivitas, dan kesehatan mental di jalan raya.

Penulis
Dr. Andri Yudhi Supriadi
Warga Depok, Pemerhati sosial ekonomi
Alumni Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait