Oleh: TB. Kusai Murroh, S.Pd., S.H., M.H.
Akademisi dan Penasehat Hukum LPPH-BPPKB Banten
Setelah lengsernya Orde Baru, Indonesia resmi menjadi negara yang demokratis—sebuah negara yang melaksanakan sistem pemerintananya secara demokrasi, pemerintahan yang bercirikan partisipasi rakyat, ditandai dengan diadakannya Pemilu sebagai mekanisme partisipasi rakyat, terjaminnya kebebasan pers, dan rakyat bebas dalam menyalurkan aspirasi. Demokrasi merupakan sistem yang dipilih oleh bangsa Indonesia yang tetap dipertahankan hingga saat ini. Sebanyak 193 negara di seluruh dunia yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari separuhnya atau 123 negara dikatakan menganut sistem negara demokrasi, termasuk Indonesia.
Tohir Bawazir dalam Jalan Tengah Demokrasi (2015) menegaskan. dalam negara demokrasi semua warga negara memiliki hak yang setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi, baik langsung maupun melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.
Secara teoretis transisi Indonesia menuju iklim demokratisasi bisa dikatakan menunjukkan arah keberhasilan. Hal ini dapat dilihat dari lahirnya era reformasi dan adanya amandemen UUD 1945. Namun, dalam tataran praktis, ternyata apa yang menjadi spirit reformasi dan amandemen UUD 1945 tersebut masih jauh dari kata sempurna. Di sini dibutuhkan ikhtiar lebih keras lagi dari seluruh elemen bangsa agar pelaksanaan demokrasi tidak keluar dari jalurnya.
Dalam perjalanannya, demokrasi yang kita pilih bukan tanpa cacat. Harus diakui bahwa saat ini kita mengalami situasi krisis. Suara kritis kepada kekuasaan karena hampir semua elemen masyarakat sipil dibatasi, bahkan ada yang memilih merapat pada kekuasaan. Kalau pun ada yang kritis pasti akan dicap sebagai kelompok yang anti pemerintah. Padahal, di alam demokrasi kritik itu sangat penting selama kritik itu konstruktif demi perbaikan bangsa ke depan.
Politik uang (money politic) juga menjadi penyakit demokrasi yang terus tumbuh terutama menjelang hajatan pemilu. Tentu persoalan politik uang ini menjadi ancaman nyata dalam upaya bangsa Indonesia untuk mewujudkan pemilu yang bersih, berintegritas dan bermartabat. Hal ini karena praktik politik uang membuat biaya politik menjadi lebih mahal.
Pembiaran terhadap praktik money politic akan menjadikan politik uang sebagai budaya atau kebiasaan dalam perhelatan pemilu yang justru akan menjadi penyakit serius bagi pelaksanan demokrasi. Bahkan, dalam pandangan Abhan (2019), politik uang akan mendorong perilaku korupsi karena para pelaku politik tentunya menginginkan modal yang mereka keluarkan bisa kembali.
Korupsi memang menjadi persoalan serius bagi perjalanan demokrasi. Korupsi di negeri ini ibarat virus yang sudah menjalar ke tubuh legislatif, eksekutif, yudikatif hingga swasta. Dalam konteks ini, Amien Rais (2008) menyatakan, di mana pun dan kapan pun korupsi selalu meruntuhkan sendi-sendi moral, peremehan terhadap hukum, menusuk rasa keadilan, menyebabkan ekonomi biaya tinggi, dan pada gilirannya juga memperparah kemiskinan.
Dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebanyak 176 pejabat daerah terjerat kasus korupsi sepanjang periode 2004-2022. Rinciannya, terdapat 22 gubernur dan 154 walikota/bupati dan wakil yang juga berurusan dengan KPK. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sebanyak 310 wakil rakyat juga terjerat korupsi pada periode yang sama.
Penyakit demokrasi berikutnya adalah penegakan hukum yang lemah. Ini artinya, proses hukum tidak ditegakkan secara adil. Padahal di alam demokrasi penegakan hukum harus dijalankan secara adil bukan sekedar salah satu elemen negara yang melaksanakan sistem pemerintahan demokrasi namun menjadi indikator negara yg sistem pemerintahannya demokrasi. Jika hukum dipermainkan dan tebang pilih justru demokrasinya akan rusak. Kalau mau jujur, sebenarnya hukum tebang pilih sudah lama terjadi dan biasanya digunakan untuk membungkam lawan politik penguasa, terutama saat menjelang pemilu.
Persoalan tebang pilih dalam proses penegakan hukum merupakan pola lama yang terus dipelihara. Praktik semacam ini tak boleh dibiarkan karena sangat berbahaya bagi perkembangan demokrasi ke depan. Karenanya, dalam hal ini penegak hukum harus mengedepankan pendekatan hukum. Jangan sampai pendekatan yang digunakan adalah pendekatan politik yang sering kali merupakan pesanan penguasa.
Peran Ormas
Berbagai penyakit demokrasi yang telah dipaparkan di atas perlu menjadi perhatian bersama. Pembiaran terhadap masalah tersebut akan berakibat buruk bagi keberlangsungan demokrasi ke depan. Perlu adanya penguatan peran organisasi kemasyarakatan (ormas). Di era reformasi, perkembangan ormas begitu pesat, setelah lama tidak berdaya di era Orde Baru akibat pembatasan ruang geraknya demi stabilitas politik saat itu.
Organisasi kemasyarakatan merupakan penyeimbang di negara demokrasi. Ormas yang merupakan salah satu bentuk dari pelembagaan aspirasi dan kepentingan masyarakat ke dalam bentuk organisasi-organisasi partisipatoris. Ormas melambangkan pelibatan partisipasi publik (civil society) diharapkan menjadi kontrol agar negara ini tidak keluar jalur sehingga mengarah pada sistem otoriter. Di sini, ormas perlu melakukan intervensi politik dalam menyikapi berbagai penyimpangan yang kemungkinan besar berdampak buruk bagi kehidupan berbangsa. Di Indonesia, jumlah Ormas telah berkembang hingga mencapai jumlah 390 ribu. Sementara di China, jumlahnya bahkan mencapai 440 ribu! Sebenarnya, hal tersebut wajar saja, sebab melalui Ormas sebagai wadah masyarakat dapat memperjuangkan isu-isu sosial terutama kebijakan-kebijakan yang sekiranya merugikan rakyat.
Menurut Masdar Himly (2015) bentuk-bentuk intervensi politik yang mungkin dapat dilakukan oleh ormas-ormas adalah 1) perumusan kaidah-kaidah tata negara yang sejalan prinsip good and clean governance modern; 2) menyiapkan kader-kader muda sebelum mereka memasuki gelanggang politik-kekuasaan sebagai aktivis parpol, anggota parlemen ataupun lembaga kenegaraan melalui program pelatihan berjenjang dan terstruktur; 3) melakukan advokasi dan pendampingan terhadap semua lapisan masyarakat tentang pola hidup yang sesuai nilai keadaban publik, tertib sipil, dan masyarakat madani.
Saat ini demokrasi kita sedang digerogoti berbagai macam penyakit dan perlu mendapatkan penanganan. Karenanya, kita berharap kepada ormas-ormas yang ada untuk lebih berperan aktif dalam menjaga demokrasi dan menjadi jembatan aspirasi masyarakat. Peran ormas tidak boleh dipandang sebelah mata karena kiprahnya telah terbukti dalam membangun bangsa. Ke depan peran ormas harus lebih dimaksimalkan, baik di bidang dakwah, pendidikan, sosial, ekomomi keumatan, pembangunan akhlak generasi muda, dan kontrol terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat kecil. Upaya ini sangat penting dan perlu kita dukung agar demokrasi kita kembali ke jalan yang benar.