Oleh: Riska Wulan, S.Pd., Alumni PGSD UNJ
Baru-baru ini masyarakat Indonesia kembali dihebohkan oleh berita seputar aborsi ilegal yang dilakukan seorang wanita tanpa pengalaman medis. Ia melakukan praktik ilegal itu di sebuah apartemen di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sekilas saat membaca berita tersebut, yang kita pikirkan betapa lemahnya nilai dan norma yang berlaku di masyarakat saat ini. Namun, sesungguhnya kita dapat menggali lebih jauh, apa yang menyebabkan orang sampai melakukan aborsi?
Tentu ada banyak penyebab wanita memilih melakukan aborsi. Pertama, kehamilan di usia remaja yang tidak diinginkan. Kedua, menyelamatkan ibu dengan kondisi kesehatan yang tidak memungkinkannya melanjutkan kehamilan. Ketiga, ada tekanan keuangan ketika orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan anak. Keempat, pemerkosaan.
Di antara empat penyebab tadi, ada satu kesamaan yang dapat kita temukan. Semuanya sama-sama bermula dari aktivitas seksual. Kita semua tahu bahwa seks memang kebutuhan biologis manusia. Sigmund Freud, seorang pakar psikologi klasik pernah mengatakan bahwa dorongan seksual manusia merupakan motivasi terkuat bagi seseorang dalam menjalani hidupnya. Dalam artian, semua orang berkeinginan melakukan seks. Namun, menurut Islam hal ini tentu ada pengaturannya. Sayangnya di era globalisasi saat ini teknologi dan informasi semakin mudah diakses, hal-hal yang berhubungan dengan seks dan pornografi tersebar secara masif. Bahkan anak di bawah umur bisa mengaksesnya.
Kita harus paham bahwa informasi yang orang konsumsi akan membentuk pemikirannya. Semakin lama seseorang memeluk suatu nilai, maka skema atau identitas yang telah ia bangun akan semakin fundamental dalam membentuk cara pandangnya terhadap diri dan dunia. Itulah mengapa pengalaman masa kecil entah baik atau buruk, memiliki efek sulit hilang dan menghasilkan nilai-nilai yang menentukan sebagian besar jalan hidup seseorang. Apabila inti nilainya bermasalah, ia akan menciptakan rangkaian kekacauan yang meluas di tahun-tahun berikutnya.
Contohnya orang yang ditelantarkan atau dilukai semasa kecil, maka ketika dewasa ia memiliki reaksi emosional yang cukup ekstrem yang berakibat pada kesenjangan moral yang sulit ditangani. Orang yang sering melihat pornografi sejak dini, ia bukan hanya mendapat kerusakan pada striatum di otak yang berfungsi sebagai daya ingat, tetapi juga pada bagian korteks prefrontal yang berpengaruh pada fungsi kognitif dan emosionalnya.
Sungguh miris, di tengah kemajuan medis, orang-orang justru menjadi lebih sakit. Itu karena sebagian besar orang masih mengabaikan emosi sebagai penyakit dan juga mengabaikan nilai sebagai pedoman hidup. Setiap perempuan maupun laki-laki perlu memahami tubuh mereka dan harus menetapkan batasan-batasan bagi tubuhnya. Kita perlu menyadari bahwa lingkungan, hubungan, hingga nilai yang beracun dapat membuat seseorang hidup dalam kerusakan. Jangan sampai salah dalam memahami hal ini. Lalu bagaimana agar kita tidak salah memilih?
Salah satu prinsip penting dalam Islam adalah mencegah lebih baik daripada mengobati. Dalam Qur’an surah al-Isra’ ayat 32 Allah mengatakan yang artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina. Zina itu sungguh suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.” Dari satu ayat itu kita tahu bahwa Allah tidak hanya melarang zina, tapi juga melarang semua yang mengarah pada zina agar kita selamat. Allah menempatkan banyak pencegah agar kita tidak mendekat pada zina. Di antaranya adalah kita harus menurunkan pandangan, sopan dalam berpakaian (menutup aurat) maupun berperilaku, serta menghindari berada dalam satu ruangan dengan lawan jenis (ikhtilat).
Sesungguhnya jika kita mau merenung, apa yang Allah larang dan anjurkan dalam Islam benar-benar membawa kita pada keselamatan. Contohnya dalam larangan berzina, Allah bukan hanya melindungi manusia dari bahaya seks bebas, tapi secara tidak langsung juga mencegah terjadinya aborsi. Bahkan Allah memberi sanksi tegas bagi para pelaku aborsi sehingga tidak menimbulkan korban. Hal itu menggambarkan bahwa ajaran Islam tidak hanya bersifat informasi, tapi juga transformasi.
Hanya saja, jika peraturan Islam justru membuat seseorang merasa sengsara, mungkin peraturan tersebut belum menembus ke dalam hatinya. Tapi ketika cahaya Islam benar-benar telah merasuk ke dalam hati, maka ia akan melembutkan diri kita, bahkan bisa mengubah kehidupan kita ke arah yang lebih baik. Oleh karenanya, petunjuk hidup yang solutif hanya Islam saja. []
Riska Wulan
Alumni PGSD UNJ