Di Indonesia, banyak orang percaya bahwa tenaga kesehatan di rumah sakit merupakan sumber infeksi COVID-19. Perawat dan dokter di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan sempat mendapat perlakuan diskriminatif dari lingkungan karena menangani pasien COVID-19. Mereka bahkan harus meninggalkan lingkungan tempat tinggal dan indekosnya karena ditolak warga sekitar. Kemudian, tenaga kesehatan juga kesulitan untuk mencari makanan karena masyarakat menolak untuk berbicara dan makan di tempat yang sama dengan tenaga kesehatan tersebut. Selain itu, keluarga dari pasien yang meninggal karena COVID-19 dikucilkan oleh warga di lingkungan rumahnya dan jalan menuju rumahnya diblokir tanpa izin dengan dipasangi spanduk. Penolakan terhadap pemakaman pasien COVID-19 juga marak terjadi di Indonesia, seperti pemakaman jenazah COVID-19 yang mendapat penolakan di empat kecamatan di Banyumas dan di Kabupaten Semarang dengan alasan akan berdampak terhadap kesehatan masyarakat sekitar. Bahkan, petugas pemakaman jenazah COVID-19 dilempari batu oleh masyarakat.
Kasus ini juga terjadi di beberapa negara seperti di Meksiko yaitu dokter dan perawat harus menggunakan sepeda karena tidak diberikan akses untuk menggunakan transportasi umum dan akan mendapatkan serangan fisik dari masyarakat. Begitu juga di Malawi mereka dilarang untuk menggunakan transportasi umum, mendapatkan penghinaan di jalan dan diusir dari apartemen. Di Amerika Serikat, tenaga kesehatan mendapatkan pelecehan di tempat umum karena dianggap beresiko lebih tinggi menularkan COVID-19. Selain itu, pasien positif COVID-19 di India ditelantarkan oleh keluarganya setelah melahirkan seorang anak dan dinyatakan positif COVID-19. Selain itu, penyintas COVID-19 juga mendapatkan stigma dari masyarakat. Banyak dari pasien yang telah pulih ditolak untuk kembali ke masyarakat karena dianggap akan terinfeksi kembali dan menularkan virus ke orang lain. Seperti di India, seorang penyintas dibuntuti di media sosial dan di Zimbabwe jalan di depan rumah seorang penyintas dinamai dengan “corona road”. Beberapa orang lebih memilih untuk menghindari jalan tersebut karena khawatir akan terinfeksi COVID-19.
Stigma sosial yang terjadi disebabkan karena tingginya kecemasan dan ketakutan masyarakat terhadap COVID-19 yang kasusnya terus meningkat di berbagai negara. Perasaan takut dengan penyakit baru COVID-19 dapat mempengaruhi tingkat stigma yang dimiliki seseorang. Stigma sosial adalah konotasi negatif pada seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kesamaan ciri dan penyakit tertentu. Pada kasus COVID-19, stigma sosial merupakan orang yang diberi julukan, didiskriminasi, diperlakukan secara berbeda karena menyandang penyakit tersebut. Stigma sosial akibat COVID-19 ini juga dapat dirasakan oleh tenaga kesehatan maupun mereka yang telah dinyatakan sembuh dari COVID-19.
Dampak yang ditimbulkan akibat adanya stigma yaitu kecenderungan seseorang untuk menyembunyikan penyakitnya. Hal ini mereka lakukan agar terhindar dari stigma sosial bahkan diskriminasi yang diberikan masyarakat sekitar akibat status penyakit yang diketahui. Selain itu, dengan adanya stigma sosial membuat orang terdorong untuk tidak memeriksakan diri karena merasa takut. Ketakutan yang dirasakan membuat orang tidak mau diperiksa, diobati, dikarantina atau bahkan diisolasi. Tidak jarang hal ini terjadi di masyarakat yang memiliki kontak erat dengan pasien positif COVID-19. Padahal kegiatan ini termasuk kedalam tindakan tracing yang menjadi kunci keberhasilan penanganan wabah COVID-19. Dengan adanya hal tersebut, maka risiko penularan COVID-19 di masyarakat menjadi lebih besar akibat adanya pasien yang tidak memeriksakan diri dan tidak terdeteksi sebagai pasien positif COVID-19.
Stigma sosial dapat dihindari dengan komitmen bersama untuk tidak menyebarkan prasangka dan kebencian terhadap kelompok tertentu yang berhubungan dengan COVID-19. Hal ini dapat diterapkan melalui berbagai cara yang dapat diterapkan di kehidupan sehari-hari. Menggunakan sebutan atau istilah yang benar seperti kata penyakit COVID-19 bukan virus wuhan, virus cina atau flu asia. Tidak menyebut orang yang terjangkit COVID-19 sebagai korban atau penderita karena kata pasien lebih cocok diberikan kepada mereka. Menghindari pelabelan kepada orang atau kelompok tertentu dengan kata penyebab atau penyebar COVID-19.
Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan dukungan bagi mereka yang terdampak, baik dari pasien, keluarga pasien maupun tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan penanganan COVID-19. Memberikan penghargaan dan apresiasi kepada tenaga kesehatan yang merawat pasien COVID-19. Selain itu, dengan memberikan informasi-informasi yang sesuai dengan fakta dan berbasis data bukan hoax atau kabar bohong merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghindari stigma sosial yang beredar di masyarakat. Hal lain yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya stigma sosial pada masa wabah COVID-19 adalah dengan memberikan kabar baik seperti kesembuhan pasien, pencegahan, cara memutus rantai penularan atau dengan membagikan kisah perjuangan tenaga kesehatan yang berjuang menangani COVID-19.
Oleh Lidya Merybeth Situmorang, mahasiswa FKM UI 2018.
Referensi
https://usd.ac.id/mahasiswa/bem/f1l3/Kajian%20Covid19%204%20SPKS%20Fix.pdf
https://reader.elsevier.com/reader/sd/pii/S1473309920304989?token=146149A97ACA3837550DB4A5A4787692D7FC58A19282BE41A17FEEFED8438BF135F6CC05AB82DF5B095C8B7490E5E669
https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/covid19-stigma-guide.pdf
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1876201820303348?via%3Dihub
https://journal.fkm.ui.ac.id/kesmas/article/view/3909
https://kawalcovid19.id/content/698/mencegah-dan-menangani-stigma-sosial-seputar-covid-19