Mengapa Gangguan Mental Menyebabkan Bunuh Diri?

Gangguan mental atau penyakit mental adalah suatu konsisi dimana terjadi perubahan emosi, pikiran, perilaku atau kombinasi dari ketiganya. Contohnya ialah depresi, skizofrenia, bipolar, dimensia, gangguan kecemasan, dan gangguan akibat penyalahgunaan obat. Banyak faktor yang bisa menyebabkan penyakit ini, seperti gen dan riwayat keluarga, pengalaman traumatik, faktor biologis, cidera otak, penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang serta faktor kepribadian.

Dalam wawancaranya di channel youtube Q&A METRO TV disebutkan bahwa Ariel Tatum mengalami gangguan mental Borderline Personality Disorder atau kepribadian ambang sejak umur 13 tahun. Ariel pernah melakukan percobaan bunuh diri seperti minum obat berlebihan, loncat dari ketinggian, bahkan meminta orang lain untuk membunuh dirinya. Semua tindakan percobaan bunuh diri tersebut dilakukannya secara tidak sadar, dia merasa bukan dirinyalah yang ingin melakukan hal tersebut. Selain Ariel Tatum contoh lainnya dialami oleh Sulli mantan personil girlband F(x) yang juga mengalami gangguan mental kecemasan social (Social Anxiety Disosrder). Kondisi gangguan mentalnya diperparah oleh komentar negatif yang dilontarkan netizen di media sosial. Hal tersebut menyebabkan Sulli mengakhiri hidupnya dengan gantung diri (CNN Indonesia).

Pada tahun 2016, WHO menyebutkan terdapat sekitar 35 juta orang mengalami depresi, 60 juta orang mengalami bipolar, 21 juta orang mengalami skizofrenia, serta 47,5 juta mengalami dimensia. Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 15,6 Juta penduduk Indonesia mengalami depresi, namun hanya 9% yang mencari pengobatan ke professional. Sedangkan pada tahun menurut Riset Kesehatan Dasar Kemenkes tahun 2018 angka prevalensi depresi di Indonesia untuk usia lebih dari 15 tahun sebesar 6,1%.

BACA JUGA:  Roti Buaya: Tradisi Seserahan dan Simbol Kesetiaan Masyarakat Betawi

Menurut WHO bunuh diri merupakan penyebab utama kematian kedua di antara usia 15-29 tahun secara global pada tahun 2016. Berdasarkan data World Federation of Mental Health (WFMH) setiap 40 detik seseorang di suatu tempat di dunia meninggal akibat bunuh diri. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 mencatat 812 kasus bunuh diri yang terjadi di Indonesia, Jawa Tengah menjadi Provinsi dengan kasus tertinggi yaitu 331 kasus. Bunuh diri dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu gangguan mental, masalah hubungan anak dan orangtua, perceraian orangtua, riwayat keluarga, dan penyakit kronis

Gangguan mental sering menjadi faktor risiko kejadian bunuh diri pada usia remaja. Percobaan bunuh diri pada remaja perempuan 2 kali lebih sering dibandingkan remaja laki-laki. Kebanyakan perilaku bunuh diri muncul karena keinginan untuk melarikan diri dari perasaan yang tidak tertahankan, seperti dendam, isolasi sosial, atau kebencian. Walaupun wanita lebih berisiko untuk melakukan bunuh diri, namun laki laki memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi disbanding wanita. Keberhasilan bunuh diri pada pria disebabkan karena pria menggunakan cara yang lebih kasar daripada wanita seperti menggunakan senapan dan melompat dari ketinggian. Wanita cenderung untuk menggunakan obat yang over dosis atau menyayat di pergelangan tangan.

BACA JUGA:  Tantangan Kecerdasan Emosional pada Era Digital bagi Pendidikan Anak

Risiko bunuh diri pada pasien yang mengalami gangguan mental 10 kali lebih besar dibandingkan dengan orang normal. Depresi sebagai penyebab tersering terjadinya bunuh diri. Sekitar 90 persen tindakan bunuh diri disebabkan masalah kesehatan mental, dan 90 persen di antaranya disebabkan depresi. Ada beberapa hal yang menyebabkan gangguan mental dapat memengaruhi kejadian bunuh diri yaitu, melakukan bunuh diri dianggap dapat mengakhiri stress dan menyelesaikan masalah, orang yang mengalami depresi merasa kehidupannya tidak berguna, serta adanya fantasi yang dialami oleh penderita gangguan mental seperti mengenai reinkarnasi, menghukum diri sendiri, dan adanya keinginan untuk balas dendam. Selain itu orang yang mengalami gangguan mental seringkali menjadikan tindakan bunuh diri sebagai ancaman untuk mendapatkan perhatian orang lain. Stigma masyarakat mengenai orang yang mengalami gangguan mental juga dapat meningkatkan kejadian bunuh diri pada penderitanya.

BACA JUGA:  Lenong Betawi: Tradisi Refleksi Identitas Komunitas Masyarakat Betawi

Terdapat pendekatan strategis yang dicetuskan oleh WHO untuk mencegahan terjadinya bunuh diri, yaitu mengurangi akses ke sarana bunuh diri (misalnya pestisida, senjata tajam, sejata api, obat-obatan tertentu), pemberitaan oleh media yang seimbang antara kejadian bunuh diri dengan orang-orang yang berhasil menyelesaikan masalah, intervensi yang dilakukan di sekolah, identifikasi awal orang-orang yang mengalami gangguan mental, pelatihan petugas kesehatan dalam penilaian dan pengelolaan bunuh diri, dan perawatan lanjutan bagi orang-orang yang pernah mencoba bunuh diri. Selain itu dukungan keluarga sangatlah penting untuk pencegahan terjadinya bunuh diri pada orang yang mengalami gangguan mental.

Bunuh diri bukanlah solusi dari permasalahan gangguan mental. Ketika merasa mengalami gangguan mental segeralah cari pengobatan. Hiraukan stigma masyarakat mengenai penyakit ini. Gangguan mental bukanlah hal yang bisa dianggap remeh, karena gangguan mental dapat menyakiti diri sendiri bahkan dapat menyakiti orang lain.

Firlisha Miftanifa Salsabila, FKM UI