Stigma merupakan sebuah penilaian dan reaksi emosional masyarakat terhadap perilaku atau karakter yang tidak wajar. Stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa dapat merugikan bahkan memperburuk keadaan. Individu yang terkena stigma di masyarakat sulit untuk berinteraksi sosial bahkan dalam kasus terburuk dapat menyebabkan individu melakukan tindakan bunuh diri. Selain itu, mereka mendapatkan penolakan untuk mencari pengobatan, kesempatan kerja yang lebih sedikit, peluang untuk mendapatkan pemukiman, kualitas dalam perawatan kesehatan, dan penurunan harga diri.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2018, prevalensi rumah tangga dengan anggota rumah tangga menderita gangguan jiwa berat skizofrenia/psikosis cukup tinggi sebesar 7 per mil dengan 31,5% dipasung dalam tiga bulan terakhir dan hanya sekitar 36,1% melakukan pengobatan rutin.
Dampak stigma tidak hanya kepada diri orang dengan gangguan jiwa namun, terjadi juga pada keluarga. Di dalam jurnal penelitian Stigma Sosial pada Keluarga Miskin Dari pasien Gangguan Jiwa oleh Varmitha dkk masyarakat akan merasa ketakutan jika terdapat orang dengan gangguan jiwa di sekitar lingkungannya, karena berpikir bahwa orang dengan gangguan jiwa dapat mencelakai orang lain.
Stigma negatif dapat terbentuk melalui anggapan saat pandangan awal terhadap perilaku dan penampilan fisik terhadap orang dengan gangguan jiwa. Di dalam tulisan yang ditulis oleh Mestdagh dkk dalam Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology stigma negatif membuat orang dengan gangguan jiwa merasa rendah diri, tidak dianggap, didiskriminasi, serta tidak diberi akses ke dokter sehingga terjadi diskontinuitas perawatan.
Stigma masyarakat terhadap keluarga orang dengan gangguan jiwa akan mempengaruhi asuhan keperawatan terdekat. Di dalam artikel penelitian yang ditulis oleh Mubin di situs lib.ui.ac.id stigma masyarakat dapat menimbulkan beban finansial, kekerasan dalam rumah tangga, penurunan kesehatan fisik dan mental, aktifitas rutin keluarga terganggu, kekhawatiran menghadapi masa depan, stress, dan merasa tidak dapat menanggulangi masalah pada keluarga pengasuh.
Dampak yang terlihat jelas adalah anggota keluarga harus menyesuaikan kebiasaan orang dengan gangguan jiwa sehingga dapat menimbulkan kesulitan menyelesaikan tugas, menarik diri dari orang lain, ketidakmampuan mengatur keuangan, kurang merawatan diri, makan dan tidur, bahkan trauma. Stigma baru timbul pada keluarga, bahwa merawat orang dengan gangguan jiwa adalah menakutkan, merugikan, menurunkan harga diri keluarga, memalukan, dan sesuatu yang perlu dirahasiakan.
Upaya menghilangkan stigma masyarakat terhadap masalah kesehatan jiwa diperlukan dengan adanya keseimbangan antara edukasi, sosialisasi, dan peningkatan fasilitas kesehatan jiwa. Masyarakat harus menyadari bahwa semua orang memiliki peluang yang sama untuk mengalami gangguan jiwa. Persepsi lain pun dapat diubah bahwa kesehatan jiwa merupakan penyakit yang dapat diobati. Jadi, masyarakat perlu dilakukan edukasi untuk menggeser stigma negatif tehadap orang dengan gangguan jiwa.
Desma Leonada Agustina
Undergraduate Student of Public Health
University of Indonesia