Mendapat pertanyaan “kapan nikah?” mungkin terdengar tidak asing lagi di telinga. Berbagai alasan pun dilontarkan, seperti belum ada pasangan, belum siap, masih terlalu muda, dan lain sebagainya. Sebenarnya, berapakah usia yang ideal untuk menikah?
Menurut UU No. 16 Tahun 2019 sebagai perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia, batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah sama, yaitu 19 tahun. Berbeda dengan UU sebelumnya yang memiliki batas usia perkawinan laki-laki (19 tahun) dan perempuan (16 tahun). Perubahan ini dilakukan agar sejalan dengan UU Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa dibawah usia 18 tahun masih tergolong anak-anak. Batas usia perkawinan antara perempuan dan laki-laki disamakan sebagai bentuk mencegah diskriminasi dalam hak membentuk keluarga.
Saat ini, batas usia perkawinan adalah 19 tahun. Usia 19 tahun telah memasuki fase remaja akhir, dimana struktur dan pertumbuhan reproduktif hampir komplit dan telah matang secara fisik. (Babubara, JRL., 2010). Karakteristik remaja pada usia ini adalah telah dapat membina hubungan yang stabil dengan lawan jenis, dapat menyeimbangkan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, serta mulai jelas identitas sosialnya. (Suwarno, 2011).
“Diharapkan kenaikan batas umur yang lebih tinggi bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan risiko kematian ibu dan anak,” ujar Totok Daryantodi selaku Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI. Statement tersebut mengacu kepada UNICEF, menurut UNICEF perempuan yang melahirkan pada usia 10 – 14 tahun beresiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan dengan kelompok usia 20 – 24 tahun dan resiko ini meningkat dua kali lipat pada usia 15 – 19 tahun. Selain itu, revisi ini diharapakan membuat perempuan dapat menuntaskan pendidikan wajibnya. Pada tahun 2015 sebanyak 91,12% anak perempuan yang menikah sebelum 18 tahun gagal menuntaskan pendidikan SMA (BPS, 2015).
Berbeda dengan UU perkawinan, usia perkawinan yang ideal menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Hal ini tidak melanggar batas usia baru perkawinan yang telah ditetapkan karena di atas 19 tahun. “Bila ditinjau dari segi kesehatan, usia 20-25 tahun bagi perempuan dan 25-30 tahun bagi pria telah matang secara biologis dan psikologis” ujar Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Kaltim, Sukaryo Teguh Santoso. Dengan kematangan usia tersebut akan membuat pasangan siap untuk hidup berumah tangga dan menciptakan hubungan yang berkualitas.
Lalu, bagaimana usia menikah yang ideal bagi agama? Dalam islam sendiri, menikah merupakan sunnah Rasul dan tidak disebutkan berapa batas usia ideal untuk perkawinan, namun sudah harus mencapai umur baligh. “Wahai para pemuda! Siapa saja di antara kalian yang sudah mampu maka menikahlah, karena pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Jika belum mampu maka berpuasalah, karena berpuasa dapat menjadi benteng (dari gejolak nafsu)”. (Hadist Riwayat Al-Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadist tersebut disebutkan bahwa menikahlah apabila telah mampu, mampu disini dapat diartikan mampu secara material dan spiritual. Dengan menikah diharapakan dapat menjaga diri dari perbuatan yang bertentangan dengan syariat agama. (Syaiful, 2019). Sebuah perkawinan harus mendapat legalitas dari pemerintah dengan pencatatan pernikahan, disinilah payung hukum diperlukan.
Membahas perkawinan memang tidak ada habisnya, kita dapat melihat dari kaca mata hukum Indonesia, institsusi Kesehatan, dan Agama. Namun dari berbagai sisi tersebut, sama-sama menegaskan bahwa waktu yang ideal untuk menikah adalah apabila individu telah matang dan siap, baik secara biologis dan mental. Kematangan biologis berdampak pada kesehatan ibu, anak, dan status kesehatan Indonesia. Mental yang sudah siap membina rumah tangga dapat membuat hubungan keluarga harmonis dan dapat menghasilkan generasi di masa depan yang handal dan unggul. Tinggal bagaimana Revisi UU Perkawinan tersebut disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat luas.
Zia Arnum Fachrunisa
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia