Keberadaan Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) tidak dapat dipungkiri memiliki kontribusi yang signifikan dalam pertumbuhan perekonomian nasional. Jumlahnya yang setiap tahun terus meningkat berpengaruh terhadap perluasan jumlah lapangan kerja dan berkontribusi dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia. Menurut Deputi Bidang Ekonomi Mikro dan Keuangan Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, pada tahun 2018 UMKM menyumbang terhadap PDB sebesar 60,34 persen. Dimana angka tersebut sebagian besar disumbangkan oleh usaha mikro.
Agar pondasi ekonomi Indonesia tetap tejaga dan kuat, tentu perlu menaikan angka tersebut sehingga tidak bertahan hanya pada usaha mikro saja. Namun, sektor menengah ke atas juga perlu didorong perkembangannya dalam mengembangkan UMKM ke depannya. Dalam pengembangan UMKM sendiri tentu tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang menjadi kendala dalam pengembangannya. Berdasarkan hasil riset world bank ada empat permasalahan yang dihadapi UMKM. Pertama, akses pembiayaan. Kedua, tidak memiliki akses dan peluang usaha. Ketiga, kapasitas SDM dan kelembagaan UMKM. Terakhir terkait regulasi dan birokrasi.
Permasalahan akses pembiayaan yang dialami UMKM ini menjadi penghambat untuk melakukan ekspansi usaha dan “naik level” karena hal ini berkaitan dengan modal yang harus dikeluarkan oleh para pelaku UMKM. Tren saat ini menunjukkan akses pembiayaan UMKM mayoritas bertumpu pada sektor perbankan. Padahal, potensi pembiayaan melalui sektor lain masih terbuka luas dengan jangkauan akses yang lebih luas. Adapun sektor pembiayaan non-perbankan (koperasi, leasing, factory, pasar modal dll) dan jenis-jenis kredit (hibah, equity, asuransi) masih belum dimaksimalkan oleh pemerintah.
Berbicara terkait akses pembiayaan, ekonomi Islam saat ini memiliki salah satu instrumen fiskal yang mampu menjadi solusi perekonomian umat. Wakaf merupakan salah satu instrumen dalam ekonomi Islam memiliki potensi yang begitu besar untuk perekonomian nasional. Berdasarkan data dari Departemen Agama, jumlah tanah wakaf di Indonesia sebanyak 430,766 lokasi dengan luas mencapai 1,615,791,832.27 meter persegi yang tersebar lebih dari 366.595 lokasi di seluruh Indonesia. Selain itu berdasarkan data yang di peroleh dari BWI (Badan Wakaf Indonesia) menunjukkan bahwa potensi dana wakaf mencapai 377 triliun.
Potensi wakaf yang dimiliki Indonesia baik berupa harta tidak bergerak (tanah) maupun harta bergerak (uang) jika dikelola secara optimal maka kebermanfaatannya akan terasa untuk umat. Manfaat dari wakaf saat ini yang biasa digunakan untuk keperluan ibadah mahdhah seperti masjid, madrasah dan kuburan, dapat dikelola kebermanfaatannya menjadi wakaf produktif. Wakaf produktif sendiri adalah harta wakaf yang dapat dikelola kebermanfaatannya yang hasilnya disalurkan kepada orang-orang yang berhak sesuai dengan tujuan wakaf.
Dalam pengembangan UMKM saat ini, wakaf dirasa memiliki peran yang potensial dalam meningkatkan perekonomian nasional melalui kontribusi UMKM. Sebagai contoh negara yang telah memanfaatkan potensi wakaf untuk pembangunan ekonomi adalah negara tetangga kita, Malaysia. Pemerintah Malaysia melihat tanah-tanah wakaf yang ada di negara tersebut sebagai sebuah potensi dalam pembangunan ekonomi negaranya. Begitu besar perhatian pemerintah Malaysia terhadap potensi wakaf tersebut hingga dibentuklah sebuah wadah khusus untuk mengelola aset wakaf yang ada disana. Yayasan Waqaf Malaysia (YWM) yang merupakan bagian dari Jabatan Zakat Waqaf dan Haji (JAWHAR) adalah bentuk perhatian pemerintah Malaysia terhadap pengelolaan aset wakaf di negara tersebut. Namun, secara penghimpunan diserahkan kepada Majlis Agama Islam yang terdapat di masing-masing negara bagian.
Aset-aset wakaf yang ada disana dikelola sehingga menjadi sebuah aset wakaf yang produktif. Tanah-tanah wakaf tersebut dibangun hotel, sekolah, dan ruko-ruko yang nantinya disewakan. Dimana saat ini jumlah hotel yang telah dibangun diatas tanah wakaf tersebut sudah ada 3 hotel yang tersebar dibeberapa negara bagian di Malaysia. Hasil sewa dari hotel dan ruko-ruko tersebut nantinya disalurkan untuk orang-orang yang memerlukan disana. Salah satu contohnya dengan memberikan sembako gratis yang disediakan masjid disebagian negara bagian.
Selain itu bentuk wakaf yang telah dikelola oleh Malaysia adalah wakaf tunai. Dimana wakaf tunai disana terbagi menjadi tiga jenis, yaitu wakaf untuk pendidikan, wakaf untuk kesehatan, dan wakaf untuk pembangunan ekonomi. Pendistribusian wakaf tersebut dibagi sesuai dengan peruntukan dari wakaf tersebut. Untuk wakaf pembangunan ekonomi sendiri bentuk penyalurannya dapat berupa alat-alat maupun berupa uang/modal bagi para pelaku usaha Islam yang membutuhkan. Bisa dikatakan wakaf untuk pembangunan ekonomi tersebut disalurkan kepada pelaku UMKM disana.
Melihat telah berjalannya pengelolaan wakaf Malaysia yang telah didukung oleh pemerintah, kita perlu mulai memperbaiki cara pandang kita terhadap wakaf. Potensi nya yang sangat potensial ini mampu menjadi sebuah instrumen ekonomi Islam yang dapat menaikan angka pertumbuhan ekonomi di negara kita. Sampai April 2018 berdasarkan data dari Badan Wakaf Indonesia jumlah nazhir uang di Indonesia terdapat 192 nazhir yang berbentuk sebuah lembaga maupun organisasi. Hal tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan potensi wakaf yang dimiliki negara kita. Nantinya nazhir wakaf yang tersebar di seluruh Indonesia dapat menjadi sarana (akses) pembiayaan para pelaku UMKM saat ini dengan bekerjasama dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) non-perbankan. Sehingga kebermanfaatan wakaf tersebut lebih dirasakan oleh umat.
Selain itu, untuk keberlangsungan pengelolaan wakaf ini dalam menciptakan UMKM Indonesia yang unggul perlu didukung oleh peran pemerintah. Karena sebesar apapun potensi wakaf yang dimiliki Indonesia saat ini jika tidak ada peran serta pemerintah tentu tidak akan optimal manfaatnya bagi pertumbuhan ekonomi negara kita. (Nailah)