
Oleh: Achmad Fachri – FKM UI
Limbah puntung rokok dapat menjadi bahaya bagi kesehatan lingkungan dan manusia. Puntung rokok merupakan kumpulan polimer asetat selulosa yang dapat terdegradasi oleh cahaya ultraviolet (fotodegradasi), tetapi tidak dapat mengalami degradasi secara biologis (non-biodegradable). Serat asetat selulosa berperan sebagai filter rokok yang dapat menyerap beberapa bahan kimia rokok, seperti tar, nikotin, logam berat, polisiklik aromatik hidrokarbon dan arsen (Novotny et al., 2009; Moriwaki et al., 2009 dalam Slaughter et al., 2011). Oleh karena itu, limbah puntung rokok termasuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang dapat mencemari lingkungan dan membahayakan kelangsungan hidup manusia, apabila senyawa tersebut larut dan menjadi air lindi kemudian masuk ke dalam saluran air atau ke dalam tanah.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2013), jumlah perokok pada usia ≥ 15 tahun di Indonesia cenderung meningkat sebesar 2,1% dari tahun 2007 hingga 2013 mencapai 36,3% dari total jumlah penduduk. Kemudian, pada tahun 2013 perokok di Indonesia mencapai 252 juta jiwa. Rata – rata perokok di Indonesia mengisap 12,3 setara 13 batang rokok. Sehingga, jumlah keseluruhan rokok yang diisap oleh perokok di Indonesia setiap harinya adalah 3,2 milyar batang rokok.
Sementara itu, semakin besar jumlah populasi pada suatu wilayah, semakin besar pula masalah yang akan timbul (Zaman dan Lehmann, 2011). Di provinsi DKI Jakarta batang rokok yang dihasilkan sebesar 38,3 juta setiap harinya berdasarkan jumlah perokok tahun 2013. Kemudian, perilaku masyarakat DKI Jakarta yang masih kurang peduli terhadap kondisi lingkungan membuat mereka membuang sampah tidak pada tempatnya. Hal ini menyebabkan sebagian besar limbah puntung rokok dibuang sembarangan dan tidak terkendali pengelolaannya, sehingga berujung pada masalah kesehatan lingkungan.
Masyarakat urban atau orang yang hidup di wilayah perkotaan memiliki kecenderungan merokok di tempat atau fasilitas umum (Sari, Ramdhani dan Eliza, 2004). DKI Jakarta merupakan pusat kota bagi kota kecil di kawasan megapolitan, seperti Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Hal ini menyebabkan tingginya interaksi sosial yang terjadi baik antara sesama perokok aktif atau dengan perokok pasif. Umumnya, fenomena sosial tersebut cenderung tidak hanya terjadi pada ruang terbatas (ruang khusus perokok), melainkan juga di tempat umum seperti stasiun kereta api, bus kota dan terminal.
Satu puntung rokok dapat terdegradasi dengan waktu yang lama di lingkungan. Puntung rokok terdiri dari serat asetat selulosa yang hanya dapat terdegradasi oleh cahaya ultraviolet dengan ukuran gelombang lebih kecil dari 280 nanometer. Asetat selulosa terdegradasi secara terbatas di lingkungan oleh cahaya matahari karena memiliki jumlah kromofor atau bagian penangkap gelombang elektromagnetik yang sedikit untuk menyerap ultraviolet (UV) lebih banyak (Puls, Wilson dan Hölter, 2011). Sehingga, puntung rokok yang dibuang sembarangan walaupun terpapar cahaya matahari langsung tetap mengalami degradasi selama 18 bulan hingga 10 tahun (Bonanomi et al., 2015).
Limbah puntung rokok yang sedang mengalami degradasi dapat mencemari lingkungan. Air lindi yang tercampur dengan senyawa puntung rokok menganggu ekosistem ketika terserap ke dalam tanah, masuk ke saluran air sehingga berujung pada perairan atau laut. Air lindi yang terserap tanah dapat mencemari hasil pengunaannya seperti sayuran, umbi, beras, dan lain sebagainya. Kemudian, air lindi yang masuk ke dalam saluran air akan mengontaminasi ekosistem hilir, seperti sungai juga laut dan mencemari ikan ataupun hasil laut lain.
Di wilayah perkotaan, limbah puntung rokok yang berukuran kurang dari 3 cm dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Limbah puntung rokok sebanyak 38,3 juta setiap harinya memiliki kemungkinan untuk termakan secara tidak sengaja oleh anak – anak ataupun hewan domestik (Novotny et al., 2011). Apabila termakan oleh anak – anak, dapat mengakibatkan efek keracunan, seperti mual, diare, gangguan pernapasan dan detak jantung yang tidak beraturan. Sedangkan pada hewan, dapat menyebabkan kematian seperti pada ikan paus sperma yang mati akibat sampah plastik beberapa waktu lalu (Parker, 2018). Kemudian, bagi masyarakat yang masih menggunakan air tanah tercemar limbah puntung rokok untuk kegiatan mencuci berisiko tertelan secara tidak langsung karena senyawaan yang menempel pada alat masak atau bahan makanannya.
Limbah puntung rokok bukan hal kecil yang dapat diabaikan, benda berukuran 3 cm tersebut dapat menjadi bom waktu. Jumlah puntung rokok yang terus bertambah setiap harinya dan tidak terkendali di wilayah perkotaan memiliki pengaruh keberlangsungan manusia dan lingkungan. Dampak jangka panjang dan tidak langsung kerap membuat pengelolaan limbah puntung rokok ataupun sampah lainnya tidak menjadi prioritas dan dilupakan. Padahal, dampak yang akan diberikan nantinya dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi dan bisnis perkotaan dari segi masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, limbah puntung rokok harus dikendalikan mulai dari hulu hingga hilir.