Tradisi Menyambut Bulan Suci yang Salah Kaprah

Ilustrasi. (istimewa)
Ilustrasi. (istimewa)

Menjelang bulan suci Ramadan, banyak orang melaksanakan tradisi yang telah diwarisi oleh nenek moyang mereka, salah satunya Balimau. Diambil dari kata limau atau jeruk nipis yang digunakan sebagai campuran siraman air bunga tujuh rupa, tradisi ini banyak dilakukan oleh masyarakat di Sumatera Barat.

Tradisi ini berlangsung di tempat terbuka seperti sungai, ataupun danau dengan menggelar mandi bersama dan diakhiri dengan siraman air dari bunga tujuh rupa yang telah dicampur jeruk nipis.

Bacaan Lainnya

Namun, tradisi ini mengundang kontroversi karena menyimpang dari ajaran agama antara bercampur baurnya laki-laki dan perempuan dan tidak adanya tuntunan dari nabi. Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar, Gusrizal Gazahar, balimau tidak mencerminkan tradisi yang Islami, “Tidak ada hadits yang membolehkan balimau, haram hukumnya,” ujar Guslizar.

Sesuai dengan hadist, dari Aisyah radhiyallahu’anha, Rasuallah shallallah’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak adanya perintah kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR.Muslim).

Menurut Nisa, yang pernah mengikuti tradisi balimau di kampungnya. Tradisi ini biasa berjalan dari sore hingga menjelang magrib, namun ia menilai bahwa banyak pasangan kekasih yang menggunakan tradisi ini sebagai ajang untuk mandi bersama. “Ini sudah salah, melanggar aturan, dan menghilangkan nilai budaya dengan mengganti jeruk nipis dengan shampo,” ucapnya.

Islam mengajarkan batasan-batasan antara lelaki dengan perempuan, namun dalam tradisi balimau tradisi ini dilakukan bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa ada pembatas dan menjadi kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam.

Tradisi ini cenderung menyesatkan masyarakat dalam menyambut bulan puasa, menurut Guslizar. Ia juga menambahkan bahwa cara tersebut yang dinilai menghilangkan makna dari “membersihkan diri”.

Disamping kontroversi tersebut, balimau sudah mendarah daging menjadi tradisi masyarakat Minang. Menurut saya hal ini haruslah diperhatikan pemerintah dalam melestarikan budaya dan memfasilitasi masyarakatnya agar tidak melanggar aturan.

Melestarikan budaya tanpa harus mengotorinya dengan hal-hal yang melanggar aturan, karena dengan melanggarnya akan merugikan diri sendiri dan semoga bermanfaat.

Puti Aini Yasmin

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui WhatsApp di 081281731818

Pos terkait