Oleh: Dedy Helsyanto
(Koordinator Umum Pedas Depok & Peneliti Indonesia Indicator (i2))
Polres Depok menyebutkan tingkat kekerasan pada anak terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2013 ada 113 kasus kekerasan pada anak, lalu naik menjadi 219 kasus pada 2014 dan naik lagi menjadi 231 kasus pada 2015.
Baru-baru ini, publik khususnya warga Depok dibuat kaget dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan ayah kandung kepada anaknya yang berumur 19 tahun – sampai hamil dua bulan. Parahnya pelecehan itu terjadi sejak anaknya masih berumur 10 tahun atau duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Selain itu, ada juga kasus pelecehan yang dilakukan oleh pedagang warung kelontong kepada tiga orang bocah yang berumur berkisar enam sampai tujuh tahun.
Data kekerasan pada anak yang meningkat dan kasus terbaru yang menyita perhatian, membuat masyarakat dari berbagai kalangan mempertanyakan predikat Kota Layak Anak tingkat Pratama dan Madya yang pernah diraih kota Depok. Diantaranya Ketua DPRD Depok, Hendrik Tanke Allo yang menyatakan Depok gagal disebut Kota Layak Anak dan Ketua KPAI, Arist Merdeka Sirait yang menilai Depok merupakan kota dengan peringkat kedua tertinggi dalam kategori kasus kekerasan pada anak setelah Jakarta.
Predikat sekedar predikat
Akan menjadi tidak adil juga jika kita menghakimi Pemkot Depok belum berusaha untuk mewujudkan Depok sebagai Kota Layak Anak. Ada beberapa usaha yang telah dilakukan pemkot mulai dari pembuatan perda, pengadaan RW layak anak dan yang lainnya. Namun hal ini bukan berarti membuat pemkot menjadi bebal dengan jualan predikat Kota Layak Anak yang pernah diraihnya atau usaha yang telah dilakukannya. Cukup lah kini predikat sekedar predikat yang ada di atas kertas.
Menyitir dari Tania Li dalam The Will To Improve(2007), yang terpenting dalam satu pembangunan adalah kehendak memperbaiki. Memperbaiki disini berarti melibatkan banyak pihak dan terukur dalam pencapaian program untuk kesejahteraan masyarakat. Jadi tidak lagi dalam satu program pembangunan, yang diperhatikan hanyalah teknis atau fisiknya saja. Tetapi lebih dari itu, dampak kepada stakeholder dari kebijakan baik secara sosial, ekonomi dan politik harus menjadi penilaian utama.
Pada konteks ini, evaluasi peraihan predikat Depok sebagai Kota Layak Anak tingkat Pratama dan Madya dibandingkan dengan jumlah kekerasan pada anak yang terus meningkat sampai 2015 menghadirkan tanda tanya besar, diantaranya, bagaimana usaha memperbaiki yang telah dilakukan oleh pemkot?. Kemudian, siapa saja yang dilibatkan dalam program ini?, berapa anggaran yang telah dikeluarkan?. Pertanyaan besar ini jangan dinafikan dengan mengalihkan perhatian melalui pernyataan bahwa kekerasan pada anak terjadi diantaranya karena memakai pakaian mini, seperti yang dilontarkan Wali Kota, Idris Abdul Shomad.
Wali Kota Idris eloknya dapat melampaui pernyataan tersebut dengan menghadirkan informasi yang menggambarkan, mengapa kekerasan pada anak terus meningkat. Caranya dengan memberikan informasi tentang capaian pemkot Depok dalam pemenuhan 31 indikator Kota Layak Anak.
Membuka Informasi 31 Indikator
Evaluasi Kota Layak Anak mengacu pada Peraturan MenteriNegara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011. Ada 31 indikator yang menjadi ukuran penilaian dan melibatkan banyak pihak. Dan pastinya, hal ini tak mudah untuk dipenuhi tanpa pengawasan yang ketat.
Qodri pada Change Mangement dalam Reformasi Birokrasi (2007) menilai masyarakat dan swasta mempunyai peran dalam memberikan perhatian terhadap penyelenggaraan pemerintahan agar tetap berjalan sesuai pada track yang ada. Peran ini mustinya yang distimulasi oleh pemkot kepada masyarakat Depok, mengingatbanyaknya hambatan secara struktural yang ditemui masyarakat untuk mendapatkan informasi dari pelaksanaan satu program.
Untuk mewujudkan ini, pemkot Depok dapat mengacu pada Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Operasional UU ini sebagai misal dapat dilakukan dengan membuat website Kota Layak Anak Depok. Dalam website tersebut dapat diinformasikan hardwere dan softwere kebijakan Kota Layak Anak di Depok.
Dari sini harapan utamanya, masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dalam menekan kasus kekerasan pada anak. Dan juga tidak ada kesimpang siuran, apakah Depok layak disebut sebagai Kota Layak Anak atau tidak.