Dari Meja Kolonial ke Restoran Modern
Di antara sekian banyak peninggalan masa kolonial, rijsttafel mungkin jadi yang paling menggoda selera. Bukan hanya karena rasanya yang kaya dan tampilannya yang meriah, tetapi juga karena ceritanya yang penuh lapisan sejarah, budaya, bahkan relasi kuasa. Tapi siapa sangka, sajian ini yang dulu hanya bisa dinikmati oleh elit kolonial Belanda, kini justru menjadi bagian dari identitas kuliner nasional Belanda.
Rijsttafel, yang secara harfiah berarti “meja nasi”, awalnya bukan tradisi Indonesia, bukan pula tradisi murni Belanda. Ia adalah hasil dari pertemuan dua budaya yang terjadi di meja makan Batavia. Dengan puluhan lauk-pauk kecil—dari rendang, sambal goreng, sate, hingga gado-gado—yang disajikan serentak, hidangan ini menunjukkan kekayaan kuliner Indonesia dalam format penyajian yang diatur seformal gaya Eropa.
Nyai, Indo-Eropa, dan Dapur Kolonial
Di balik rijsttafel, ada peran besar perempuan—terutama para nyai. Mereka adalah perempuan pribumi yang menjadi pasangan informal pria-pria Eropa, dan kerap tinggal bersama dalam rumah tangga kolonial. Peran mereka tak hanya sebatas “ibu rumah tangga”, tapi juga juru masak, penjaga budaya, dan agen akulturasi yang menghadirkan masakan Nusantara ke lidah Eropa.
Tak kalah penting, masyarakat Indo-Eropa—anak hasil percampuran dua dunia itu—menjadi jembatan antara budaya Indonesia dan Belanda. Merekalah yang kemudian membawa rasa-rasa Indonesia ke negeri Belanda, dan memperkenalkannya ke masyarakat luas, terutama setelah gelombang migrasi besar pascakemerdekaan Indonesia.
Makan Sebagai Simbol Kekuasaan
Pada masa kolonial, rijsttafel bukan sekadar makan besar. Ia adalah simbol status. Sajian ini menunjukkan siapa yang punya kuasa. Penyajian dilakukan oleh pelayan berderet, dengan peralatan makan perak, dan biasanya hanya tersaji di rumah pejabat atau hotel elite seperti Hotel Des Indes di Batavia. Bahkan undangan makan rijsttafel pernah dimuat di surat kabar Belanda, mempertegas eksklusivitasnya.
Namun, seiring waktu, status itu mengalami perubahan. Ketika koloni runtuh, dan banyak Indo-Eropa pindah ke Belanda, tradisi makan ini mulai meresap ke masyarakat luas. Rijsttafel tidak lagi milik elite kolonial. Ia mulai hadir di restoran, ditulis dalam buku resep, bahkan ditayangkan dalam iklan. Lambat laun, ia berubah menjadi bagian dari “selera nasional” Belanda.
Dari Simbol Kolonial ke Identitas Multikultural
Transisi ini penting. Dulu rijsttafel adalah representasi dominasi kolonial. Tapi kini, ia menjadi simbol akulturasi—penyatuan dua budaya dalam satu meja. Pemerintah Belanda bahkan secara resmi mengakui rijsttafel sebagai warisan budaya takbenda pada tahun 2015. Sebuah langkah simbolis yang mencerminkan keterbukaan mereka terhadap sejarah, betapapun kompleks dan pahitnya.
Di Indonesia sendiri, rijsttafel mulai dihidangkan kembali dalam konteks wisata sejarah—terutama di kota-kota seperti Bandung. Bukan sebagai bentuk nostalgia kolonial, tapi sebagai sarana refleksi sejarah lewat pengalaman makan.
Lebih dari Sekadar Nasi dan Lauk
Hari ini, rijsttafel hidup dalam dua dunia: sebagai santapan eksotis di restoran Indonesia di Belanda, dan sebagai atraksi budaya di negeri asalnya. Ia bukan hanya masakan, tapi juga narasi. Tentang hubungan rumit Indonesia-Belanda. Tentang perempuan-perempuan yang membangun jembatan budaya dari dapur. Tentang bagaimana makanan bisa menyimpan sejarah, bahkan lebih tajam dari arsip kolonial sekalipun.
Dan yang terpenting: rijsttafel membuktikan bahwa budaya tidak pernah hitam-putih. Ia selalu bergerak, berubah, dan berbaur. Seperti nasi dan sambal, yang kini bisa menjadi bagian dari identitas orang Belanda, bahkan tanpa mereka sadari.
Sarah Nabilah Puteri
Mahasiswa Prodi Sastra Belanda Universitas Indonesia