Pro Kontra Program Food Estate

Pro Kontra Program Food Estate

DEPOKPOS – Isu ketahanan pangan di Indonesia menjadi perhatian utama dalam beberapa tahun terakhir, terutama di tengah ancaman krisis global, perubahan iklim, dan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Menjawab tantangan ini, pemerintah Indonesia meluncurkan program Food Estate sejak tahun 2020. Proyek lumbung pangan skala besar ini bertujuan meningkatkan produksi pertanian nasional, tetapi implementasinya telah menuai beragam pendapat dari berbagai pihak.

Program Food Estate adalah kebijakan pemerintah dalam bentuk pengembangan kawasan pertanian berskala besar dan terintegrasi. Program ini mencakup komoditas pangan, hortikultura, perkebunan, hingga peternakan. Tujuan utamanya adalah meningkatkan ketahanan pangan nasional, mengurangi ketergantungan impor, serta menciptakan lapangan kerja di sektor pertanian. Menurut data dari Kementerian Pertanian, hingga saat ini Food Estate telah dilaksanakan di tiga lokasi utama yaitu Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Papua, dengan total luas lahan mencapai 165.000 hektare.

Bacaan Lainnya

Pendukung program ini berpendapat bahwa Food Estate sangat penting untuk menjawab kebutuhan pangan nasional dalam jangka panjang. Pemerintah berupaya menciptakan kawasan pertanian skala besar yang terintegrasi dari hulu ke hilir, sehingga produksi pangan lebih stabil dan mencukupi. Dengan lahan yang luas dan sistem pertanian modern, produktivitas pertanian diyakini akan meningkat secara signifikan. Food Estate juga mendorong penggunaan teknologi pertanian terkini, seperti sistem pertanian presisi, alat dan mesin pertanian (alsintan), drone pemantau lahan, hingga sistem irigasi pintar yang hemat air dan efisien.

Pendekatan smart farming dan model korporasi petani menjadi landasan pelaksanaan program ini. Strategi ini dianggap sebagai solusi jangka panjang yang berkelanjutan, bukan sekadar proyek instan. Kajian FAE (2023) mencatat bahwa di Merauke, pendekatan intensifikasi dan peningkatan input pertanian telah berhasil meminimalkan pembukaan lahan baru. Selain itu, pemberdayaan petani lokal dalam korporasi pertanian mampu meningkatkan produktivitas dan efisiensi lahan. Program ini juga berpotensi menciptakan ribuan lapangan kerja baru, terutama di daerah-daerah tertinggal yang menjadi lokasi proyek, sekaligus menjadi bentuk antisipasi konkret terhadap ancaman krisis pangan global.

BACA JUGA:  #KaburAjaDulu : Bukan Cuma Soal Cuan, Tapi Tentang Harapan

Namun demikian, tidak sedikit pula kritik yang dilayangkan terhadap program ini. Salah satu kekhawatiran terbesar adalah potensi kerusakan lingkungan akibat pembukaan lahan besar-besaran, terutama di kawasan hutan dan lahan gambut. Dikutip dari artikel SIEJ (2023), program Food Estate di Merauke dinilai telah menimbulkan kerusakan lingkungan serius, termasuk deforestasi di wilayah hutan adat Marind. Dampaknya bukan hanya terhadap lingkungan secara ekologis, tetapi juga mengganggu kehidupan sosial dan budaya masyarakat adat setempat. Hilangnya keanekaragaman hayati, rusaknya ekosistem, dan degradasi tanah menjadi dampak lanjutan yang tidak bisa diabaikan.

Selain isu lingkungan, aspek sosial juga menjadi sorotan. Pelibatan masyarakat lokal dinilai masih minim, yang berpotensi menimbulkan konflik lahan dan ketidakadilan sosial. Dikutip dari Jurnal Talenta USU oleh Br. Sitepu dan F. Ginting (2023), implementasi program Food Estate di berbagai daerah menunjukkan rendahnya partisipasi masyarakat lokal. Program ini dianggap terlalu top-down, yakni datang dari pemerintah pusat tanpa melibatkan masyarakat setempat dalam proses perencanaan maupun pelaksanaan. Akibatnya, masyarakat lokal merasa terpinggirkan dan tidak memiliki kepemilikan terhadap program ini. Selain itu, kearifan lokal dalam praktik pertanian juga terancam terabaikan.

BACA JUGA:  Warisan Nusantara: Mengenal Lebih Dekat Budaya dan Tradisi di Indonesia

Secara teknis, sejumlah pihak juga menilai bahwa hasil program belum sesuai harapan. Salah satu contoh nyata adalah laporan dari DPR RI (2024), yang menyebutkan bahwa panen jagung dari proyek Food Estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, hanya mencapai 2,5 ton dari target 10 ton. Angka ini menunjukkan ketidaksesuaian antara perencanaan dan realisasi di lapangan. Kegagalan tersebut sering dikaitkan dengan berbagai faktor, seperti pemilihan komoditas yang tidak sesuai dengan kondisi geografis, infrastruktur yang belum memadai, serta keterbatasan pengetahuan dan kesiapan petani lokal dalam mengadopsi teknologi baru.

Lebih jauh, beberapa kalangan akademisi dan aktivis lingkungan menyebut bahwa proyek ini tidak cukup memperhitungkan aspek keberlanjutan. Ketergesa-gesaan dalam pelaksanaan, tanpa kajian menyeluruh terhadap dampak jangka panjang, justru dikhawatirkan akan menciptakan masalah baru di masa depan. Di antaranya adalah meningkatnya ketimpangan sosial, eksploitasi sumber daya alam, dan terganggunya struktur sosial-ekonomi lokal. Sebuah program yang menyangkut hajat hidup orang banyak seharusnya dijalankan dengan prinsip partisipatif, inklusif, dan berbasis bukti.

Melihat pro dan kontra yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa program Food Estate merupakan kebijakan strategis pemerintah dalam memperkuat ketahanan pangan nasional. Program ini memiliki potensi besar untuk meningkatkan produktivitas pertanian, mengurangi ketergantungan terhadap impor, menciptakan lapangan kerja baru, dan mempercepat adopsi teknologi pertanian modern. Dalam konteks krisis pangan global dan ancaman perubahan iklim, inisiatif seperti Food Estate bisa menjadi langkah awal menuju sistem pertanian yang lebih tangguh dan efisien.

BACA JUGA:  Hidup Tak Harus Sempurna, yang Penting Bahagia

Namun, implementasi program ini di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan serius. Kekhawatiran terhadap dampak lingkungan, minimnya pelibatan masyarakat lokal, hingga kegagalan pencapaian target produksi menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan program ini. Kerusakan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan potensi konflik agraria harus menjadi perhatian utama dalam merancang kebijakan lanjutan.

Keberhasilan program Food Estate tidak semata-mata ditentukan oleh besarnya anggaran atau luasnya lahan yang dibuka, melainkan oleh bagaimana kebijakan ini dirancang dan dijalankan secara bijaksana. Pemerintah perlu mengedepankan prinsip keberlanjutan, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan dalam setiap tahap implementasinya. Evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola, efektivitas, serta dampak sosial-lingkungan perlu dilakukan secara berkala dan transparan.

Partisipasi aktif masyarakat lokal menjadi kunci keberhasilan program ini. Mereka bukan hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai aktor utama yang seharusnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Pendekatan yang responsif terhadap dinamika lokal, adaptif terhadap perubahan iklim, serta menghargai kearifan lokal akan memperkuat keberlanjutan program ini dalam jangka panjang.

Dengan pembenahan serius dan komitmen yang kuat dari semua pihak, program Food Estate memiliki peluang besar untuk menjadi pondasi pembangunan pertanian nasional dalam menghadapi tantangan masa depan. Oleh karena itu, kritik dan evaluasi bukanlah bentuk penolakan, melainkan bagian dari proses demokratis untuk memastikan bahwa setiap kebijakan publik benar-benar berpihak pada rakyat dan kelestarian lingkungan.

Rafa Azizah Ghaida
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait