Oleh : T.H. Hari Sucahyo, Penggagas Forum for Business and Investment Policy Studies (FBIPS)
Indonesia kembali menjadi sorotan dunia internasional. Kali ini, laporan dari lembaga nirlaba asal Amerika Serikat, Tholos Foundation, menempatkan Indonesia di peringkat terbawah dari 122 negara dalam Indeks Hambatan Perdagangan Internasional 2025. Sebuah peringkat yang, dalam kaca mata investor global, jelas tidak menggembirakan. Tholos menyoroti berbagai regulasi yang dianggap sebagai penghalang perdagangan bebas, salah satunya adalah ketentuan mengenai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).
Namun, apakah semua hambatan perdagangan memang selamanya buruk? Ataukah justru di situlah kita sedang membangun fondasi kedaulatan ekonomi nasional? Indeks semacam ini tentu punya implikasi besar dalam persepsi global terhadap daya saing dan keterbukaan ekonomi Indonesia. Investor mancanegara cenderung menjadikan peringkat seperti ini sebagai referensi awal sebelum melirik suatu negara. Maka, ketika Indonesia dinilai paling banyak menerapkan hambatan perdagangan, sinyal negatif pun mengemuka.
Bisa saja muncul anggapan bahwa birokrasi kita rumit, akses ke pasar terlalu tertutup, atau bahwa proteksionisme menjadi arus utama kebijakan. Namun penting untuk diingat bahwa dalam banyak kasus, narasi yang dibawa oleh institusi asing kerap berpijak pada standar liberalisasi yang tidak selalu sejalan dengan kebutuhan negara berkembang. TKDN misalnya, menjadi salah satu regulasi yang dikritik. Dalam praktiknya, ketentuan ini mewajibkan para pelaku industri untuk menggunakan komponen atau jasa lokal dalam proporsi tertentu.
Tujuannya jelas: mendorong pertumbuhan industri dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan pada barang impor. Dalam logika pembangunan nasional, ini adalah strategi industrialisasi yang sudah banyak diterapkan oleh negara-negara maju pada masa pertumbuhan mereka. Ironisnya, ketika negara berkembang melakukan hal serupa, mereka dituduh menciptakan hambatan perdagangan. Kita tidak menampik bahwa beberapa ketentuan memang bisa menimbulkan distorsi pasar.
Proses sertifikasi TKDN, misalnya, kadang masih dinilai birokratis dan tidak seragam. Tapi menyederhanakan seluruh masalah sebagai hambatan yang ‘buruk’ adalah cara pandang yang terlalu hitam putih. Dalam konteks geopolitik dan ketimpangan struktur global, negara berkembang seperti Indonesia justru butuh ruang kebijakan untuk melindungi sektor-sektor strategisnya. Ketika negara maju menerapkan subsidi masif pada petani mereka, itu disebut “stimulus”.
Ketika Indonesia melindungi pasar dalam negeri dengan kebijakan serupa, itu dianggap “protektionisme”. Yang lebih penting adalah melihat tujuan akhir dari kebijakan perdagangan. Apakah Indonesia ingin menjadi pasar abadi bagi barang asing, ataukah ingin naik kelas menjadi produsen dan inovator? Jika tujuan kita adalah kemandirian dan daya saing berkelanjutan, maka intervensi negara melalui regulasi, termasuk TKDN harus dilihat sebagai upaya konstruktif, bukan hambatan semata.
Menyamakan perlakuan antara negara maju dan negara berkembang dalam indeks semacam ini jelas tidak adil. Kondisi struktur ekonomi, teknologi, dan kapasitas industri kita tidak berada di titik start yang sama. Di sisi lain, kritik dari Tholos Foundation seharusnya juga tidak ditolak mentah-mentah. Ini justru bisa menjadi momen reflektif bagi pemerintah dan pemangku kepentingan nasional.
Kita perlu mengevaluasi apakah kebijakan-kebijakan yang dianggap sebagai hambatan itu benar-benar berdampak positif bagi industri lokal, ataukah malah menjadi sekat-sekat yang membunuh inovasi. Dalam beberapa kasus, kebijakan protektif yang tidak disertai dengan roadmap industrialisasi yang jelas justru bisa menjadi jebakan: membuat industri lokal terlena dalam zona nyaman, tanpa insentif untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas.
Di sinilah pentingnya membangun ekosistem perdagangan yang cerdas. Bukan berarti kita harus membuang semua proteksi, tapi bagaimana menciptakan aturan main yang mendorong daya saing dan keberlanjutan. Misalnya, TKDN bisa terus diterapkan, namun mekanisme penilaian dan insentifnya perlu disempurnakan agar tidak menambah beban birokrasi. Regulasi ekspor-impor bisa tetap dijaga, tapi transparansi dan kecepatan layanan harus ditingkatkan.
Perdagangan bebas bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan sarana untuk mencapai kesejahteraan nasional yang merata dan adil. Banyak pelaku usaha nasional sebenarnya mendukung kebijakan yang disebut sebagai “hambatan perdagangan” itu, karena mereka melihat adanya perlindungan terhadap industri dalam negeri yang masih dalam tahap pertumbuhan. Mereka memahami bahwa bersaing secara langsung dengan perusahaan global tanpa perlindungan sama halnya seperti melempar benih ke ladang tanpa pupuk.
Namun para pengusaha ini juga menuntut konsistensi. Jangan sampai proteksi hanya berlaku di satu sisi, sementara sisi lain seperti ketersediaan bahan baku, stabilitas kebijakan, dan insentif riset—dibiarkan begitu saja. Negara harus hadir secara menyeluruh. Peringkat dari Tholos Foundation, jika ditelaah dengan jernih, bukanlah vonis, melainkan tantangan. Kita harus jujur mengakui bahwa ada pekerjaan rumah besar dalam hal reformasi kebijakan perdagangan, penyederhanaan regulasi, dan peningkatan transparansi.
Tapi pada saat yang sama, kita juga tidak boleh silau pada narasi “bebas hambatan” yang didorong oleh kepentingan global tertentu. Indonesia harus mampu mendefinisikan sendiri arah perdagangannya, berdasarkan kebutuhan rakyat dan visi jangka panjang bangsa. Dalam dunia yang semakin saling tergantung, tidak ada negara yang benar-benar bisa menutup diri. Tapi keterbukaan yang tanpa kendali pun akan menjerumuskan.
Maka keseimbangan menjadi kata kunci: antara membuka pasar dan melindungi sektor strategis; antara memudahkan investasi dan menjaga kedaulatan ekonomi. Kita tidak anti-perdagangan bebas, tetapi juga tidak ingin menjadi korban kebebasan yang terlalu dini. Sebab pada akhirnya, kemajuan ekonomi bukan ditentukan oleh seberapa besar kita membuka pintu, tetapi seberapa kuat fondasi rumah kita dibangun.
Indonesia harus terus belajar dari negara lain, namun juga harus berani menapaki jalannya sendiri. Dalam sejarah, banyak negara besar yang mencapai kemajuan justru bukan karena patuh pada aturan global, tapi karena berani memelihara kepentingan nasionalnya. Hambatan perdagangan, dalam konteks tertentu, bukanlah penghalang, melainkan pagar pelindung yang menjaga taman ekonomi kita agar tidak diinjak-injak sebelum mekar sempurna.
__________