Mengarahkan Anak menjadi Saintis dengan Hadharah Islam

Mengarahkan Anak menjadi Saintis dengan Hadharah Islam

Oleh: Anisa Bella Fathia, S.Si, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Seperti yang kita ketahui, majunya ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu faktor penentu negara maju. Maka dari itu, setiap negara berlomba-lomba mengembangkan kemajuan teknologinya, baik dalam dunia kesehatan, pendidikan, teknologi, penelitian luar angkasa dan sebagainya.

Bacaan Lainnya

Berdasarkan data dari situs Scimago Journal & Country Rank, Cina menduduki peringkat pertama negara sains terbaik di dunia dengan jumlah publikasi ilmiah terbesar, yakni lebih dari 10 juta publikasi. Jepang berada di peringkat kedua, dengan jumlah publikasi lebih dari 3 juta dokumen. Posisi ketiga dipegang India, dengan lebih dari 2,9 juta dokumen. India memang telah menjadi negara pusat penelitian sains dan teknologi sejak lama, terutama dalam bidang IT dan kesehatan. Indonesia sendiri berada di peringkat kesembilan di Asia dalam kontribusi sains internasional. Dengan 376.908 dokumen ilmiah yang dipublikasikan (data.goodstats, 2/7/24).

Dari data tersebut, 3 negara terbaik dalam pengembangan sains di Asia adalah Cina, Jepang dan India. Sedangkan Indonesia di urutan ke 9. Hal ini sejalan dengan keadaan negara-negara tersebut. Bisa kita lihat bagaimana majunya teknologi negara Cina dan bahkan sekarang mampu membuat takut Amerika. Dan Indonesia sendiri ini merupakan cambukan sekaligus motivasi yang harus diperhatikan oleh pemerintah, di negeri mayoritas Muslim terbanyak di dunia seharusnya memiliki generasi muda yang gemar membaca dan belajar sebagaimana karakter seorang Muslim dan ilmuan Muslim.

Sayangnya keadaan ilmu pengetahuan sains di dunia saat ini dikuasai oleh hadharah atau peradaban Barat. Hadharah Barat ini memiliki asas yang bertentangan dengan hadharah atau peradaban Islam. Asas hadharah Barat adalah manfaat semata yang dibangun dari pemikiran sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) sedangkan asas hadharah Islam berdasarkan akidah kepada Allah dan dibangun untuk tujuan mendapatkan ridha Allah.

Maka tak heran, penemuan dan kemajuan teknologi di dunia saat ini begitu banyak yang bertentangan dengan syariat Islam. Karena ilmuan atau saintisnya berpaham hadharah Barat. Sehingga yang menjadi motivasi mereka hanyalah asas manfaat. Selama temuan-temuan mereka bermanfaat maka akan mereka pelihara, tak peduli menimbulkan mudharat dan bertentangan dengan hukum Allah.

Seperti temuan daging kultur misalnya, daging kultur adalah “mengambil sel dari hewan yang biasanya menghasilkan daging untuk kita dan menggunakan sel-sel tersebut sebagai pusat tenaga untuk menumbuhkan daging di luar hewan,” jelas David Kaplan, direktur Pusat Pertanian Seluler Universitas Tufts (nationalgeoghraphic, 15/8/23).

Believerz Meats, perusahaan teknologi pangan di Rehovot, Israel, bahkan mengklaim produk daging hasil budidaya di laboratorium sebagai produk yang bebas dari kekejaman. Mereka menilai, daging hasil budidaya sel ini lebih baik dari segi lingkungan dibandingkan daging budidaya tradisional (detik, 23/9/23).

Padahal dalam Islam, jelas haram memakan daging in vitro itu adalah haram bila sel yang dikultur berasal dari hewan yang masih hidup. Alasannya, karena setiap sel, jaringan atau bagian tubuh yang diperoleh dari hewan yang masih hidup masuk kategori bangkai. Rasulullah SAW bersabda, “Segala yang terpotong dari hewan yang masih hidup, maka menempati derajat bangkai.”

Kemajuan dan teknologi saat ini dikuasai Barat maka temuannya pun tidak akan memperhatikan halal dan haramnya di sisi Allah. Beda halnya dengan ilmuan-ilmuan Muslim di masa kejayaan Islam. Jauh sebelum Eropa atau bangsa barat dianggap menjadi pusat peradaban, Islam telah lama mengalami kejayaan. Pada 650-1250 Masehi, kebudayaan Islam dan pengetahuan dari cendekiawan Muslim berkembang sangat pesat dan memengaruhi peradaban dunia.

Ilmuwan Muslim yang terkenal dan berpengaruh di dunia di antaranya adalah Khawarizmi yang dikenal sebagai seorang matematikawan, astronom, dan ahli geografi. Al Battani ahli astronomi penemu penentu tahun (365 hari). Ibnu Al Haitham penemu optik, Ibnu Sina ahli kedokteran dan masih banyak lainnya. Semua adalah ilmuwan yang tidak hanya pintar ilmu pengetahuan melainkan juga ilmu agama, mereka cakap dalam bahasa Arab, fiqih, dan hafiz quran.

Negara pun sebagai raain melayani kebutuhan umat, serius dalam menunjang kebutuhan para ilmuan dalam melakukan riset, seperti menyediakan sarana dan prasarana. Seperti mendirikan Baitul Hikmah pusat ilmu pengetahuan dan kultur bagi masyarakat Muslim, pusat penelitian intelektual selama zaman keemasan Islam, lembaga pendidikan dan akademik, lembaga riset, biro penerjemahan.

Ayah bunda, anak kita saat ini tumbuh dan berkembang di sistem kehidupan yang jauh dari Islam, maka bekal terbaik untuk buah hati kita agar menjadi saintis dengan hadharah Islam adalah senantiasa menancapkan akidah di hati ananda, dan memotivasi buah hati kita bahwa teladan ilmuan terbaik adalah ilmuwan-ilmuwan Muslim yang memiliki hadharah Islam yang senantiasa menciptakan kemajuan teknologi untuk kemaslahatan umat yang sesuai dengan standar halal dan haram. Dan sebagai orang tua maka kita harus terus mengaji memperdalam Islam kaffah agar mampu mendidik buah hati kita dengan benar.

Dan dengan terwujudnya ilmuwan-ilmuwan Muslim hadharah Islam ini bisa dengan cepat diwujudkan melalui institusi Islam, sehingga orang tua dan negara saling bersinergi untuk kehidupan yang sejahtera dan penuh berkah.[]

Pos terkait