Oleh: Cutiyanti, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Polemik akan kepemilikan rumah yang diperbincangkan di ranah cuitan media sosial para generasi muda kian memanas. Pasalnya, terdapat banyak kerisauan terkait kesulitan mendapatkan rumah bagi kalangan Gen Z yang lahir antara tahun 1997 sampai 2012.
Terdapat beberapa alasan mengapa Gen Z merasa sulit memperoleh rumah di era kini. Pertama, harga rumah yang terus naik setiap tahunnya lebih tinggi dibandingkan kenaikan upah kerja. Kedua, biaya hidup yang terus meningkat dari sisi kebutuhan dasar seperti makanan, transportasi, dan kesehatan mengakibatkan minimnya perhatian terhadap alokasi dana untuk membeli rumah. Ketiga, kenaikan upah yang diterima masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan kebutuhan hidup dan inflasi. Keempat, persyaratan akan kredit pemilikan rumah yang semakin ketat serta suku bunga yang lebih tinggi untuk mendapatkan kredit tersebut.
Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup baik dari segi makanan, pakaian, tranportasi, kesehatan, dan lain sebagainya juga semakin besar. Kenaikan pengeluaran yang tidak setara dengan pendapatan akan mengurai porsi yang dikeluarkan oleh penduduk termasuk Gen Z yang ingin membeli rumah. Biasanya Gen Z cenderung berfokus memenuhi kebutuhan yang lebih primer seperti konsumsi makanan sehari-hari dibandingkan untuk membeli rumah yang harganya semakin tidak rasional. Kondisi ini diperparah dengan tingginya tingkat pengangguran. Ketika kalangan Gen Z nantinya berhasil mendapatkan perkerjaan, tidak serta merta mampu memperbaiki kondisi finansial mereka karena lebih dari 80% pendapatan Gen Z masih berada di bawah UMP DKI Jakarta.
Persoalan terkait sulitnya mendapatkan akses kredit perumahan menjadi hambatan besar lainnya bagi Gen Z untuk memiliki rumah. Meskipun ada berbagai program bantuan yang ditawarkan pemerintah, data badan pusat statistik (BPS) menunjukkan, hanya sekitar 30% dari pekerja muda yang memenuhi syarat mendapatkan kredit pemilikan rumah (KPR). Rendahnya akses ini disebabkan perbandingan rasio tabungan yang terlampau rendah dibanding pengeluaran mereka karena penghasilanyang tidak tetap. Hal ini tentunya membuat mereka kesulitan dalam memenuhi syarat pengajuan KPR yang biasanya memerlukan bukti pendapatan tetap.
Harga rumah yang tinggi, serta biaya hidup yang tinggi, ditambah upah yang tidak signifikan, persyaratan kredit pemilikan rumah yang ketat, serta suku bunga bank yang lebih tingi menjadi alasan utama Gen Z hanya bisa bermimpi membeli rumah. Bagi Gen Z yang sedang merintis karier dengan pendapatan yang belum stabil, semua kondisi tersebut menjadi tantangan besar untuk mewujudkan impian memiliki rumah sendiri tanpa adanya peran dari negara yang seharusnya bisa membantu dan mendukung para generasi muda untuk bisa mewujudkan impiannya. Namun bisa dilihat saat ini, negara hanya berfokus dengan sesuatu yang bisa menguntungkan bagi individu saja karena sistem yang diberlakukan sistem kapitalis,setiap melakukan tidakan hanya memikirkan bagaimana mendapat keuntungan bagi para penguasa namun abai terhadap rakyatnya.
Sistem kapitalis membuat Gen Z menemui tantangan untuk memiliki rumah mandiri dengan berbagai kendala yang dikatakan hampir mustahil mereka memiliki rumah dengan harga tanah dan properti yang tiap tahun niscaya naik namun tidak disertai dengan penghasilan yang sesuai dengan kebutuhan hidup. Adapun solusi yang ditawarkan pemerintah melalui program subsidi sejuta rumah hanyalah semboyan saja kenyataan yang terjadi sebenarnya masyarakat tidak mudah mendapatkanya karena persyaratan yang sulit dan akad yang batil dan hanya menguntungkan bagi para pemegang proyek properti tersebut.
Seharusnya negara itu mengurusi warganya, siapa saja yang tidak punya rumah negaralah yang mengurusnya dengan mencarikan tempat tinggal layak dengan biaya yang semurah-murahnya. Namun saat ini, negara hanya memikirkan keuntungan bagi individu saja tanpa memikirkan betapa susahnya rakyat mendapatkan hak yang seharusnya mereka terima. Yang pasti saat ini negara abai terhadap rakyatnya.
Berbeda dengan sistem Islam yang bisa menjamin kesejahterahan bagi seluruh rakyatnya. Dalam Islam, setiap pemimpin itu seorang yang shalih dan amanah yang bisa menjalankan tugasnya dengan ketakwaan penuh terhadap Allah SWT yakni dengan menerapkan aturan dan larangan-Nya yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits, sehingga bisa menjadikan rakyat terlindungi dari kezaliman dan bisa mendapatkan haknya sebagai warga negara.
Dalam sistem Islam, negara juga menjamin terpenuhinya setiap hak individu, baik sandang, pangan, maupun papan, secara merata tanpa pandang bulu. Negara pun membuka lapangan pekerjaan yang layak dan gaji yang sesuai dengan kebutuhan hidup dan mempermudah persyaratan bagi setiap transaksi jika ingin memiliki tempat tinggal. Bukan hanya itu, dalam sistem Islam pemimpin juga harus bisa mengendalikan segala kepemilikan umum, seperti SDA secara maksimal untuk bisa mensejahterahkan rakyatnya.
Pemimpin dalam Islam bertindak sebagai raa’in yakni laksana seorang pelindung serta pendamping, mengawasi dan memperhatikan rakyatnya setaip saat untuk bisa mendapatkan haknya secara utuh dan menjamin setiap individu untuk bisa mendapatkan tempat tinggal yang layak dan berkualitas. Itu semua dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung yang akan dikontrol oleh negara dengan pengawasan para pejabat yang amanah dalam menjalankan tugasnya karena mereka sedang menerepkan segala perintah-Nya dan menindak segala sesuatu yang menjadi larangan-Nya dengan sanksi yang tegas. []