Fenomena FOMO Menghantui Gen-Z

Fenomena FOMO Menghantui Gen-Z

DEPOKPOS – Akhir-akhir ini fenomena FOMO (Fear of Missing Out) terhadap Labubu menjadi tren signifikan di kalangan Gen-Z. Pada 19 Oktober 2024, Mall Central Park dipadati antrean pengunjung karena adanya acara launching koleksi baru Miniso x Harry Potter, yang memiliki lebih dari 500 produk bertema Harry Potter, mulai dari boneka mewah, alat tulis, tas, dan aksesori lainnya.

Tak hanya itu, beberapa waktu lalu boneka Labubu menjadi booming setelah idol K-Pop, Lisa Blackpink memamerkannya di media sosial.

Fenomena FOMO

Fenomena FOMO ini memang mendorong konsumen mempunyai ketakutan akan tertinggal tren yang sedang berlangsung, sehingga memicu perilaku konsumtif yang membuat masyarakat berbelanja melebihi kemampuannya.

FOMO mencerminkan dampak besar interaksi berbasis teknologi terhadap psikologi dan perilaku komunikasi individu, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.

Seseorang dapat bersikap FOMO karena pengaruh dari internet dan media sosial. Media memiliki kemampuan menciptakan suasana yang membuat konsumen merasa cemas dan merasa bahwa mereka mungkin kehilangan kesempatan atau pengalaman yang diinginkan jika tidak bertindak cepat.

BACA JUGA:  Program Makan Siang Gratis Prabowo-Gibran : Solusi Gizi atau Beban Ekonomi?

Dampak dari FOMO juga merambat ke dunia fintech, dimana Gen-Z yang tidak ingin ketinggalan memiliki barang-barang tren, namun tidak punya penghasilan atau uang yang cukup, akan beralih ke pinjol (pinjaman online) atau paylater.

Hal ini berdasarkan laporan Lokadata.id, sebanyak 78 persen masyarakat generasi milenial dan Gen-Z telah menggunakan aplikasi fintech setiap harinya.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), generasi milenial dan Gen-Z memang menjadi penyumbang utama kredit macet pinjaman online (pinjol). Pada Juli 2024, tingkat kredit macet lebih dari 90 hari atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) di perusahaan pinjol atau peer to peer (P2P) lending mencapai sebesar 2,53 persen.

Bagaimana bisa perilaku seperti ini muncul?

Tentunya perilaku seperti ini tidak lepas dari peran sistem sekuler kapitalis, yang ‘mendewakan’ prinsip kebebasan, liberalisme. Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, membuat individu merasa bebas untuk melakukan sesuatu, dan menjadikan segala keputusan personal mereka sebagai privasi yang tidak perlu dipermasalahkan.

BACA JUGA:  Opini : Tindakan Kejahatan Begal Motor, Meresahkan Masyarakat!

Sistem ini juga mengakibatkan Gen-Z memiliki gaya hidup bebas, hedonistik dan konsumerisme. Semua kesenangan dunia sesaat mendominasi dan menjadi prioritas utama. Gaya hidup hedonistik dan konsumerisme yang dimiliki generasi saat ini juga ditunjang oleh sistem sekuler kapitalis, lewat bisnis ribawi seperti pinjol dan paylater. Demi memenuhi gaya hidupnya, generasi rela terjerat hutang pinjol dan paylater di berbagai aplikasi fintech.

Bagaimana pandangan Islam terkait fenomena FOMO?

Jika sistem hari ini seakan memberi pemakluman pada usia muda untuk menikmati berbagai kemewahan hidup, Islam justru berbeda. Islam menegaskan bahwa usia muda adalah fase ketika manusia seharusnya memberikan amal terbaik.

Islam memandang pemuda sebagai penerus generasi yang dibutuhkan umat sebagai agen perubahan yang tidak hanya sibuk dengan perkara duniawi saja. Sebaliknya, generasi memiliki kontribusi besar dalam mengarahkan masyarakat yang memahami pentingnya memahami dan mengamalkan Aqidah islam dalam menjalani kehidupan.

BACA JUGA:  Program Makan Siang Gratis Prabowo-Gibran : Solusi Gizi atau Beban Ekonomi?

Negara dengan sistem Islam akan berperan besar dalam membentuk pemuda berkepribadian Islam, dengan membuat kurikulum pendidikan berdasarkan Aqidah Islam. Kurikulum ini akan berfokus dan mengarahkan pemuda untuk mengembangkan potensi dan life skill mereka untuk mewujudkan penerus generasi yang bertaqwa.

Karena nyatanya saat ini karakter generasi justru tidak banyak dibentuk dari pendidikan di sekolah, justru lebih banyak dari media sosial.

Selain itu, negara juga akan menyaring konten-konten di media sosial yang dapat mempengaruhi atau bahkan membajak potensi generasi para pemuda ke arah yang buruk. Negara justru akan memfokuskan konten-konten bermanfaat dan berisi edukasi beredar pada media sosial.

Dengan begitu, generasi produk sistem yang berlandaskan Aqidah Islam tidak akan terpengaruh dengan segala macam tren dan lifestyle yang melenakan dan membawa banyak mudharat.

Nanda Nabila Rahmadiyanti
Alumnus Universitas Indonesia

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait