Judul : Yellowface
Penulis : Rebecca F. Kuang
Tahun Terbit : 2023
ISBN : 978-602-06-7280-9
Jumlah Halaman : 336 halaman
Alih Bahasa : Poppy D. Chusfani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Dalam kisah penuh intrik, June Hayward memiliki pertemanan tak biasa dengan Athena Liu. Seharusnya mereka bisa menjadi penulis muda dengan berbagai kesamaan dalam hal pencapaian, seperti berkuliah di Yale dan melakukan debut di tahun yang sama dalam dunia penerbitan. Namun, Athena menjadi sosok yang digemari dalam berbagai genre sastra, sementara June harus mengalami kekecewaan karena buku pertamanya gagal total. June berpikir bahwa cerita tentang gadis-gadis kulit putih biasa tidak diminati oleh siapa pun.
Di sebuah malam, saat mereka sedang berada di apartemen Athena, June menyaksikan tewasnya Athena karena sebuah insiden di hadapannya. Kemudian ia bertindak secara impulsif, di mana ia mencuri sebuah draf mahakarya Athena yang belum selesai. Sebuah novel eksperimental mengenai kontribusi yang tidak diakui dari buruh Tionghoa terhadap upaya perang Inggris dan Prancis selama Perang Dunia I. June melanjutkan dan mengirimkan draf tersebut kepada Brett, agennya. Namun, ia mengakuinya sebagai karya murni ciptaannya sendiri. Ia menerbitkan sebuah novel dengan identitas barunya sebagai Juniper Song, lengkap dengan foto penulis yang bertentangan dengan etnis aslinya sebagai wanita berkulit putih. June menegaskan kepada publik bahwa aspek sejarah yang terdapat dalam bukunya layak untuk diceritakan, bahkan oleh siapapun yang menceritakannya.
Buku dengan judul “The Last Front” ini berhasil masuk ke dalam jajaran buku terlaris versi Goodreads dan The New York Times. Keberhasilan novel baru June ini terancam ketika tuduhan plagiarisme karena penulisannya menyerupai karya-karya Athena. Gaya penulisan dalam buku tersebut memang sudah sangat melekat pada diri Athena. June pada dasarnya tidak bisa lepas dari bayang-bayang Athena, dan bukti yang muncul satu per satu untuk mengancam dan menjatuhkan kesuksesan June. Puncaknya, Athena datang untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi miliknya melalui akun Twitter @HantuAthenaLiu dan akun Instagram pribadinya yang kembali aktif dengan unggahan terbaru yang mengintimidasinya.
Seringkali June berpikir logis bahwa kondisi stres atau ketakutan dirinya memberi pengaruh pada persepsi dirinya yang berhalusinasi akan hantu Athena. Namun, cepat atau lambat, kebenaran akan segera terungkap. Ia terus berpacu dengan waktu dan keadaan untuk melindungi rahasianya. Karya terbarunya yang berjudul “Mother Witch” juga diserang oleh publik secara habis-habisan karena diketahui mengambil penggalan paragraf pada karya pertama Athena saat masih berkuliah di Yale. Pada dasarnya hal ini kembali kepada diri June sendiri, yakni bagaimana cara ia mampu menyikapi dan bangkit dari hal tersebut?
Dengan perspektif June selaku orang pertama yang mengalir sepanjang cerita, maka segala sesuatu yang kita kenali tentang Athena dan penerbitan secara keseluruhan disaring melalui pemahaman June. Ini menjadi sebuah pendekatan yang menarik, terutama jika dilihat dari sisi penulis “Yellowface”, yaitu R. F. Kuang, yang merupakan seorang wanita Amerika keturunan Tionghoa yang menulis dari perspektif seorang wanita berkulit putih. Lebih lanjut lagi di dalam cerita, pertukaran budaya kembali terjadi ketika June, sang wanita berkulit putih, justru menerbitkan sebuah buku yang mengambil tema dari sejarah buruh Tionghoa pada masa Perang Dunia I, meskipun tentu saja ide tersebut merupakan hasil curian dari Athena.
Hal ini merupakan sebuah representasi “Yellowface” atau “Si Wajah Kuning” dalam bahasa Indonesia, karena June seringkali secara sengaja menampilkan dirinya sebagai wanita berkulit kuning, sebuah representasi warna kulit orang Asia. June juga marah apabila orang lain menganggapnya memutarbalikkan rasisme dan melihat dirinya sebagai korban karena menanggung beban hak istimewa karena ditinggal oleh Athena. Bentuk representasi ini juga bisa dianggap sebagai rasisme karena menggunakan nama dari suatu etnis untuk keuntungan dan kepentingan orang yang memiliki etnis yang berbeda. Sampai sekarang, rasisme masih menjadi sikap yang terjadi di manapun di dunia walaupun dianggap sebagai sebuah hal yang tabu. Meskipun begitu, R. F. Kuang berhasil menuliskan isu tersebut di dalam novel ini secara tersirat namun bisa meningkatkan kesadaran akan rasisme yang seringkali diterima oleh orang Asia Amerika.
Sepanjang cerita, tentu saja para pembaca masuk ke dalam pemikiran June, di mana hal ini bisa menjadi hal yang unik. Pembaca dapat menilai seberapa jauh ia membenarkan tindakan “gila” nya yang mengerikan dan tidak etis sebagai seorang penulis. Seringkali ia melakukan tindakan ini ketika sedang berinteraksi dengan komunitas Tionghoa Amerika, terutama ketika ia berada di sebuah klub buku kecil untuk orang tua. Pada saat itu ia bahkan berpikir akan muntah saat menyantap hidangan Tionghoa yang umum disajikan. Pada akhirnya buku ini mengungkap siklus pelecehan budaya yang terjadi, serta persaingan. Buku ini cenderung lebih termasuk pada genre satir apabila dibandingkan dengan genre horor meskipun penulis sebenarnya berhasil menciptakan atmosfer yang menyeramkan dengan menghadirkan elemen misteri yang menyelubungi keseluruhan cerita. Namun, sorotan dalam cerita lebih berfokus kepada beragam isu berlapis-lapis selain rasisme yang digambarkan dalam novel ini, yang membuatnya sangat atraktif untuk dibaca.
Dalam penokohan, penggambaran sifat dari June yang tercela dijelaskan secara tersirat namun pembaca dapat dengan mudah mengetahuinya. Sikap licik dan keinginan untuk terkenal secara instan membuat June mencari dan melegalkan segala cara untuk mencapai kesuksesan. Pada dasarnya setiap tokoh mencari keuntungan dari satu sama lain. Selain June, sifat dari Geoff, mantan kekasih Athena, yang menjadi salah satu karakter penting dalam cerita ini, dituliskan secara tersirat namun juga sangat mudah untuk “dibenci” oleh para pembaca. Sama seperti June, Geoff juga dituliskan sebagai orang yang akan melakukan segala cara demi mendapatkan keuntungan walaupun cara yang dilakukan sangat amat tidak etis karena tidak menghormati Athena yang sudah meninggal. Ia memeras June dengan mengatasnamakan Athena guna mencari keuntungannya sendiri. Bahkan hal ini juga terlihat ketika Athena, yang dipandang sebagai sosok yang lugu, jauh sebelum para pembaca mengetahui fakta bahwa ia pernah mencuri ide cerita dari June ketika mereka mereka masih berkuliah di Yale.
Isu hubungan dengan teman dan keluarga juga cukup dimunculkan dalam cerita ini. June haus akan kontak antar manusia, pelukan, percakapan jujur tentang hal-hal yang penting, tawa dan kekonyolan. Tetapi itu semua hanya menjadi angan-angan June. Ayahnya diketahui sudah meninggal dalam cerita dan novel pertamanya menceritakan tentang kesedihan akan kematian ayahnya. Ibunya adalah seorang wanita praktis yang setelah ditinggal oleh suaminya, melakukan berbagai pekerjaan yang memungkinkannya memiliki tabungan yang cukup untuk menyekolahkan kedua putrinya hingga perguruan tinggi. Ia sekarang tinggal dengan nyaman di rumahnya sendiri. Nasib June cukup malang. Ibu dengan latar belakang pekerja keras tentu saja tidak mampu memahaminya, bahkan ia bersikeras menyarankan June untuk berhenti sebagai penulis dan memulai pekerjaan baru yang keuangannya lebih stabil. Hubungannya dengan adiknya hanya biasa-biasa saja. Tidak ada minat mencari cinta atau teman baru. Hidupnya bersifat satu dimensi, mengejar ketenaran sastra. Tidak ada nasib yang lebih buruk daripada diusir dari dunia penerbitan.
Kuang sebagai seseorang yang ahli di bidangnya juga membeberkan semua representasi tentang bagaimana media sosial seperti Twitter bisa tampak seperti dunia bagi para penulis, yang kemungkinan besar cukup terisolasi dalam dunia menulis mereka sendiri. Beragam komentar negatif yang ditulis oleh para pengguna Twitter di dalam buku ini seringkali mempengaruhi kesehatan mental sang penulis, meskipun mereka hanyalah sebagian kecil dari jumlah pembaca, dan biasanya tidak terlalu berdampak terhadap penjualan buku. Penulis seperti June ingin merasa dipuja, penting, berharga, dan diinginkan, dan ia berharap untuk memiliki para pengikut yang senantiasa menunggu dengan cemas untuk postingan media sosial berikutnya.
Gaya bahasa Kuang dalam buku ini dapat dismpaikan sebagai elegan dan terperinci. Ia pandai dalam memilih kata-kata dengan cermat dan menciptakan kalimat-kalimat yang terstruktur dengan baik. Kuang cenderung mengungkapkan pemikirannya dengan penuh pertimbangan, memperlihatkan kedalaman pemikiran dan kejernihan dalam menyampaikan gagasannya. Ia juga seringkali menggunakan kata-kata yang lebih mendalam dan menyelidiki konsep-konsep yang lebih kompleks, menciptakan lapisan dalam dialog dan narasinya. Setiap tokoh bisa mencerminkan kepribadiannya masing-masing, karena seringkali Kuang memberikan kontras dengan gaya bahasa karakter lain dalam cerita. Hal ini membantu para pembaca untuk mengenal setiap karakter sebagai individu yang berbeda dengan keunikan dan kekhasannya sendiri.
Meskipun begitu, sangat disayangkan bahwa buku ini memiliki beberapa kekurangan. Tidak sedikit masalah dari June dapat diatasi dengan mudah dan beberapa karakter mengalami perubahan sifat total yang cenderung dipaksakan. Pemaksaan ini dilakukan agar narasi yang ingin dibawa tetap bisa dilanjutkan, walaupun pada akhirnya mengorbankan kontinuitas dari sifat beberapa karakter. Fase klimaks yang terjadi menjelang akhir cerita juga membuat pembaca merasa sedikit kecewa karena alur ceritanya yang maju dan mundur ini kurang memuaskan dan sering berlompatan, meskipun pembaca masih cukup untuk mengerti dengan jalannya cerita.
“Yellowface” mengangkat permasalahan yang berat dan tabu tentang keberagaman dan rasisme budaya. Bukan hanya dalam industri penerbitan, tetapi juga mengenai suara dan sejarah masyarakat Asia di Amerika. Ada begitu banyak hal ditulis dalam novel yang seringkali membuat pembaca merasa tidak nyaman, tetapi juga terasa begitu nyata karena sebagian besar berdasarkan fakta. Sebagai contoh pengambilan tema dari sejarah buruh Tionghoa pada masa Perang Dunia I dapat membuka kembali luka lama keturunan para buruh tersebut. Cerita ini bukan sekadar narasi tentang kejadian-kejadian misterius, melainkan sebuah penggalian mendalam mengenai tekanan sosial, perjuangan dalam mempertahankan citra sempurna, serta konsekuensi dari rahasia yang tersembunyi.
Selain itu, industri penerbitan yang kompetitif antar sesama di dalam dunia nyata juga terkadang menganggap keberhasilan penjualan merupakan hal yang utama. Karena pada dasarnya industri bukanlah tentang kreativitas, tetapi tentang apa yang memiliki potensi penjualan yang tinggi di kalangan masyarakat guna menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Kuang ingin membocorkan seperti apa penerbitan bagi mereka yang berada di luar dunianya. Akhir kata, buku ini memberikan nuansa yang cukup relevan dengan masa kini, kritis, sangat cocok dan mudah untuk dipahami oleh pembaca usia dewasa tanpa perlu memahami seluk beluk dunia penerbitan sebelumnya.
Gabriel Perigrinus Satrio dan Reiner Ayrton Joseph
Mahasiswa Universitas Indonesia semester 5 jurusan Sastra Belanda