Judul : Dompet Ayah Sepatu Ibu
Penulis : J.S Khairen
Penerbit : Gramedia Widiasarana Indonesia
Tahun Terbit : 17 Juli 2023
Kota Terbit : Jakarta
Jumlah Halaman : 216 Halaman
ISBN : 9786020530222
Kemiskinan telah merenggut dunia dari mereka.
Kemiskinan membuat bermimpi pun harus tahu diri.
Kutipan di atas berasal dari karya terbaru J.S. Khairen, “Dompet Ayah Sepatu Ibu”. Dalam novel ini, pembaca akan diajak untuk menyaksikan perjalanan hidup yang dipenuhi dengan tantangan akibat kemiskinan. Kisah yang diangkat dalam novel ini tak lain adalah cerminan dari pengalaman hidup pribadi sang penulis.
J.S. Khairen merupakan seorang penulis kelahiran Padang, yang namanya semakin berkembang seiring dengan kesuksesan karyanya. Penulis yang telah menghasilkan sejumlah buku fiksi dan non-fiksi ini memiliki sejumlah karya yang tidak hanya menarik perhatian pembaca, tetapi juga berhasil menembus sebagai best seller di toko buku offline maupun online.
Diantara karya-karya populer dari J.S. Khairen adalah “Melangkah” (2020), “Kado Terbaik” (2022), dan “Bungkam Suara” (2023). Sejak tahun 2013 hingga saat ini, J.S Khairen telah menerbitkan 20 buku. Novel terbarunya, yang dirilis pada tanggal 17 Juli 2023, berjudul “Dompet Ayah Sepatu Ibu” dan membahas tema yang menggambarkan realitas perjuangan hidup dalam lingkup keluarga.
Dalam novel “Dompet Ayah Sepatu Ibu,” disampaikan kisah dua individu yang menghadapi kesulitan dalam hidup mereka. Cerita ini memfokuskan pada dua karakter utama, Zenna dan Asrul. Zenna, seorang anak keenam dari sebelas bersaudara, tinggal bersama keluarganya di lereng gunung Singgalang. Sejak masa kecil, Zenna telah terbiasa bekerja keras untuk mencari nafkah. Setiap hari, dia menempuh perjalanan naik-turun gunung ke sekolah dengan sepatu yang sudah usang, sambil membawa jagung rebus untuk dijual.
Di sisi lain, di punggung gunung Marapi, Asrul bersama adiknya, Irsal, dan ibunya, Umi, harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ayah mereka menikah lagi dan tinggal bersama istri keduanya. Asrul juga berasal dari latar belakang yang sulit, selalu mengintip dompetnya setiap kali menerima uang dari ayahnya. Meskipun mereka kadang-kadang mendapat uang dari ayah mereka, keuangan keluarga mereka tetap sulit.
Takdir mempertemukan Zenna dan Asrul di kampus. Hubungan mereka semakin kuat dan Koran Harian Semangat menjadi saksi kisah hidup mereka. Meski kehidupan mereka semakin membaik dan akhirnya mereka menikah, tantangan terus berdatangan.
Struktur novel ini terdiri dari 27 bab, setiap bab merupakan cerita pendek yang saling berkaitan. Walaupun pada awalnya terasa agak membingungkan dengan narasi yang saling bergantian mengisahkan Zenna dan Asrul, namun hal ini menjadi jelas bagi pembaca setelah membaca beberapa saat. Penulis dapat membuat pembaca menyatu dengan cerita dan mendalami setiap nuansa emosional yang disajikan.
Alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur maju. Melalui alur ini pembaca diajak untuk melihat bagaimana perjalanan hidup Zenna dan Asrul, mulai dari masa-masa mereka lulus SMA hingga ke tahap pernikahan dan kemudian berkeluarga. Penggunaan sudut pandang orang ketiga oleh penulis menempatkan pembaca dalam peran sebagai pengamat yang mengamati cerita dan mengikuti setiap cobaan dan kebahagiaan para karakter. Bahasa yang digunakan juga merupakan percakapan sehari-hari sehingga mempermudah pemahaman pembaca terhadap jalan cerita. Ada juga dialog-dialog yang menggunakan campuran bahasa Minang untuk mendekatkan pembaca pada latar belakang budaya Sumatera Barat yang menjadi latar tempat cerita dalam novel ini.
Namun, meski Khairen mampu menggambarkan alur perjalanan hidupnya sedetail mungkin, pembaca merasakan bahwa alur ini sedikit “terburu-buru” ketika memasuki penghujung bab 25 hingga epilog. Jalan cerita nya juga cukup klise dan mudah ditebak, seperti kisah perjalanan orang yang awalnya tidak mampu menjadi berkecukupan pada umumnya.
Untuk gaya bahasa yang digunakan oleh penulis, Khairen sering kali menggunakan metafora untuk menjelaskan suasana hati atau perasaan yang tengah dialami oleh tokoh utama dalam cerita. Misalnya “Ia paksa hatinya sesejuk Telaga Dewi di puncak Gunung Singgalang” dimana penulis menggunakan metafora ini untuk mengilustrasikan karakter tokoh utama yang berusaha tangguh di tengah cobaan.
Tak sampai di situ, contoh metafora lain yang digunakan oleh penulis misalnya “Saat itu juga, tangisnya lepas. Raungnya mengalahkan riung hutan bambu.” Perumpamaan ini menyiratkan tangisan seseorang yang sangat kuat bahkan melebihi suara riung hutan bambu. Hal ini menggambarkan emosi yang sangat besar dan mendalam.
Selain itu, terdapat perumpamaan “Air bah sudah menyusut, pindah ke kelopak mata Asrul.” dan “Ia pejamkan matanya sambil menangis merarau.” Perumpamaan ini menggambarkan seseorang yang menangis sambil menutup mata dengan suara yang memekik keras. Hal ini memberikan gambaran betapa sedihnya penderitaan yang dialami tokoh tersebut. Tampaknya kalimat perumpamaan memang merupakan ciri khas penulisan J.S. Khairen dalam novelnya. Suasana hati yang dialami oleh karakter diilustrasikan dengan detail, tak sebatas ditulis dengan adjective singkat seperti “sedih”, “bahagia”, “murung” saja. Selain ciri khas, penggunaan metafora ini berhasil memperlihatkan kemahiran J.S Khairen sebagai sastrawan untuk mengatasi keterbatasan leksikon atau ungkapan. Namun, tentu saja tak semua pembaca nantinya akan langsung menangkap makna dibalik metafora yang sering digunakan oleh penulis. Bisa saja beberapa metafora tersebut diartikan secara bias oleh pembaca.
Meski demikian, perlu diingat kembali bahwa penggunaan metafora ini memang ciri khas penulisan Khairen. Sebagai contoh lain, ia pun juga menggunakan gaya kepenulisan ini pada cerpen Catatan Harian Matahari Sebelum Kiamat, yakni pada kalimat “Tubuh mereka panjang-panjang seperti plasma api. Melihatku mendekat, mereka menggeliat. Memberikan tarian selamat datang ibu.” melalui platform Medium.
Selain itu, J.S. Khairen menggambarkan karakter dengan cukup detail melalui keseharian dan kerja keras yang dituai baik oleh Zenna dan Asrul. Karakter Zenna yang merupakan anak tengah di keluarganya mau tak mau harus menghidupi saudara-saudaranya yang masih kecil. Meski demikian, usahanya untuk membanggakan dan menghidupi keluarganya pun tak pernah padam. Khairen menggambarkan sosok Zenna sebagai sosok pekerja keras dan mau belajar pada bab sembilan “Tekad yang Keras”. Penulis juga menggambarkan situasi dimana peran perempuan diragukan untuk melakukan pekerjaan berat. Pada bab sembilan, Zenna bertekad untuk menjadi kuli pengrajin emas guna menghidupi adik-adiknya, sama seperti mendiang ayahnya dulu.
Pemilik toko emas tampak tak yakin. “Tangan Abakmu tangan kasar, tak cocok untuk perempuan” “Biarlah. Aku bisa.” Suaranya masih susah keluar. “Yang penting adik-adikku bisa sekolah.”
Melalui dialog ini, penulis menggarisbawahi karakter Zenna yang keras kepala dan begitu berprinsip guna mensejahterakan kehidupan adik-adiknya. Toh, usahanya ini berbuah besar sebab ketika adik-adiknya sudah tumbuh dewasa dan selesai kuliah, semuanya hidup sejahtera berkat tekad kuat Zenna sejak ia masih remaja. Sementara Asrul, sifatnya yang jahil dan cenderung nekat justru membawanya ke pengalaman-pengalaman hidup yang tak terduga. Misalnya, ketika ia berniat melamar di suatu kantor redaksi Harian Semangat hanya dengan mengandalkan surat-surat cinta lambat laun memperlihatkan kelihaiannya dalam menulis hingga menjadi wartawan terbaik se Indonesia seiring ia beranjak dewasa. Kedua tokoh ini sama-sama memiliki prinsip dan moral yang baik, yakni memuliakan ibu dan mensejahterakan keluarganya.
Dibalik sifat-sifat baik tokoh utama itu, ketika dihadapkan oleh pilihan untuk menikah, keduanya sama sekali tak berpikir kritis. Di Indonesia, pepatah bahwa “menikah membuka pintu rezeki” melekat di pikiran sebagian besar masyarakat Indonesia. Pepatah yang ditelan mentah-mentah oleh Asrul dan Zenna ini memberi gambaran lain bahwa kedua tokoh tersebut tidak berpikir panjang sebelum mulai berumah tangga. Secara finansial, mereka pun belum siap padahal menikah membutuhkan persiapan yang matang secara mental dan finansial supaya tidak berimbas ke anak-anak serta generasi selanjutnya.
Novel “Dompet Ayah Sepatu Ibu” juga menyajikan cerita yang sangat dekat dengan realitas masyarakat Indonesia. Dalam narasinya, novel ini menggambarkan situasi saat keluarga yang hidup dalam kemiskinan seringkali memilih untuk menikahkan anaknya dengan keluarga yang lebih berkecukupan. Dalam cerita ini, penulis memberikan potret kehidupan yang penuh dengan dinamika sosial, seringkali pertimbangan ekonomi menjadi faktor penentu utama dalam pengambilan keputusan tentang pernikahan. Penceritaan tentang tokoh utama, khususnya Zenna, memberikan sudut pandang mendalam tentang kenyataan pahit yang sering dihadapi oleh perempuan pada masyarakat kurang mampu.
Secara keseluruhan, novel ini mampu membawa pembaca melewati dinamika kehidupan yang penuh lika-liku dan membangun sebuah kisah yang inspiratif. Bagaimana privilege digambarkan, yang mungkin awalnya tidak ada, dapat diwujudkan melalui perjalanan hidup yang penuh perjuangan. Kisah ini memberi pesan mendalam kepada pembaca bahwa keluar dari lingkaran kemiskinan struktural bukanlah hal yang mustahil, melainkan suatu perjalanan yang membutuhkan langkah nyata dan keberanian untuk mengubah nasib.
Di benak pembaca, kini tertanam perspektif bahwa “dompet ayah” dan “sepatu ibu” bukan lagi sekadar dompet dan sepatu biasa, melainkan saksi perjalanan kehidupan kedua tokoh utama, Zenna dan Asrul, untuk keluar dari kemiskinan.
Resensi ditulis oleh Anggun Lia Rifani dan Sarah Khansa Alexandra
Mahasiswi Program Studi Belanda Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.