Perokok laki-laki di Indonesia adalah yang terbanyak di dunia
DEPOKPOS – Pada masa sekarang status Quo perokok berdasarkan hasil survei Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang diluncurkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), perokok laki-laki di Indonesia adalah yang terbanyak di dunia. Jumlah perokok dewasa di Indonesia juga mengalami peningkatan dalam sepuluh tahun terakhir.
Dalam temuannya, selama kurun waktu 10 tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada tahun 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada tahun 2021. Industri tembakau menjadi kekuatan yang sulit dikendalikan dan peredaran produk tembakau masih menjadi masalah yang belum terselesaikan.
Dalam survei GATS 2021 juga menunjukkan adanya kenaikan prevalensi perokok elektronik hingga 10 kali lipat, dari 0.3% (2011) menjadi 3% (2021). Data GATS 2021 mencatat jumlah bulanan rata-rata untuk pengeluaran rokok adalah Rp382.091,72. Lebih lagi, mayoritas negara mengalami penurunan jumlah perokok dalam sepuluh tahun ke depan, kecuali Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemerintah dalam mengatasi masalah merokok di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Perlu adanya upaya yang lebih serius dan komprehensif dari berbagai pihak untuk mengatasi masalah merokok di Indonesia.
Penggunaan tembakau, termasuk perokok pasif, dapat meningkatkan risiko serius terhadap penyakit-penyakit seperti kanker, serangan jantung, penyakit kardiovaskular, dan stroke. Kesenjangan kesehatan juga menunjukkan bahwa perokok dengan status sosial ekonomi rendah seringkali mengalami stres yang menghambat mereka dalam upaya berhenti merokok.
Baru-baru ini, penelitian telah menunjukkan bahwa meningkatkan kesadaran terhadap risiko tersebut dapat memperbaiki peluang keberhasilan berhenti merokok dengan mengurangi stres selama proses berhenti. Merokok merupakan penyebab utama kematian di kalangan orang dewasa di Amerika Serikat dan juga penyebab utama penyakit kardiovaskular (Departemen Kesehatan dan Layanan Manusia AS, 2014).
Penelitian eksperimental juga menunjukkan bahwa merokok dan penggunaan nikotin secara umum memiliki dampak langsung pada fungsi jantung dan pembuluh darah dengan meningkatkan aktivitas cabang simpatis dari sistem saraf otonom.
Selain itu respon fisiologis yang tidak teratur terhadap stres dapat menandakan adanya respon yang tumpul dan pemulihan yang buruk, yang mungkin menjadi penanda masalah kesehatan jangka panjang. Misalnya, penelitian pada sampel yang tidak dipilih menunjukkan bahwa penurunan pemulihan detak jantung dapat terkait dengan peningkatan risiko kardiovaskular di masa depan dan peluang kematian yang lebih tinggi.
Seperti yang kita ketahui gabungan antara stres dan kebiasaan merokok dapat mengurangi variabilitas detak jantung (HRV), mengindikasikan pengaruh pada cabang parasimpatis dan simpatis dari sistem saraf otonom. Temuan ini memiliki efektivitas klinis penting karena terdapat hubungan antara tingkat stres dan kebiasaan merokok. Penelitian juga menunjukkan bahwa penurunan respons stres dapat berdampak negatif pada perilaku merokok.
Misalnya, reaktivitas kardiovaskular yang berkurang terkait dengan stres dapat menjadi prediktor waktu yang lebih singkat untuk kembali merokok setelah berhenti dan memberikan kepuasan yang lebih besar. Hal ini juga berkaitan dengan keinginan untuk berhenti merokok selama percobaan berhenti merokok dan waktu yang lebih singkat untuk berhasil berhenti merokok.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa respon stres yang tidak teratur pada perokok tidak hanya meningkatkan risiko masalah kesehatan jangka panjang, tetapi juga mempertahankan kebiasaan merokok dalam jangka pendek.
Realitas Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan penting dalam reaktivitas stres dan pemulihan pada perokok, dan perbedaan dalam reaktivitas mungkin dapat memprediksi kesembuhan. Nampaknya perokok dewasa yang menunjukkan reaktivitas lebih besar pada satu area menunjukkan respons yang lebih besar terhadap stres pada area lain yang diikuti dengan tingkat pemulihan yang lebih cepat.
Hubungan yang diamati ini mungkin penting untuk memahami proses yang mempertahankan atau berkontribusi pada berhenti merokok, dan penelitian tambahan diperlukan untuk menguji apakah perbedaan individu dalam reaktivitas stres dan pemulihan secara prospektif dapat memprediksi waktu berhenti merokok atau perubahan dalam motif merokok.
Penelitian di masa depan juga harus mengkaji peran kognisi dan pengaruh dalam respons terhadap stres dan perilaku merokok untuk mengidentifikasi potensi mekanisme perubahan yang dapat ditargetkan dalam intervensi biobehavioral untuk berhenti merokok.
Gianina Afiqah Putri, Resky Dwi Deswita
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia