Banyak Dampak Negatif Terjadi Akibat Pernikahan Dini: Berani Ambil Risiko?

Salah satu dampak yang terjadi akibat pernikahan dini adalah Stunting

Salah satu dampak yang terjadi akibat pernikahan dini adalah Stunting

DEPOKPOS – Saat ini Pemerintah Indonesia sedang berusaha keras dalam menangani masalah Stunting. Lalu, sebenarnya apa sih Stunting itu? Dan benarkah kondisi Stunting ini berhubungan dengan maraknya kasus pernikahan dini?

Pengertian Stunting

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak yang disebabkan oleh kurangnya asupan nutrisi selama kehamilan, kondisi ini ditandai dengan kurangnya tinggi badan anak apabila dibandingkan dengan anak-anak seusianya.

Tidak sampai disitu, Stunting pada anak berpotensi memperlambat perkembangan otak, dengan dampak jangka panjang berupa keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan risiko serangan penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, hingga obesitas.

Pernikahan dini merupakan salah satu faktor risiko terjadinya Stunting. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan belum matangnya usia ibu saat hamil akan mendatangkan berbagai risiko kesehatan pada calon anak.

Di saat kondisi tubuh sang ibu belum matang, maka akan meningkatkan risiko kematian bayi saat ibu melahirkan, bayi lahir prematur, kekurangan gizi, serta berisiko tinggi anak mengalami stunting.

Pengertian Pernikahan Dini

Pada paragraf sebelumnya, sudah disinggung mengenai pernikahan dini, lalu apa sih sebenarnya pernikahan dini itu?

Menurut World Health Organization (WHO), pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan yang masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia dibawah usia 19 tahun.

Hal ini sesuai dengan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.

Sementara itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berkampanye soal pendewasaan usia perkawinan bahwa usia ideal menikah adalah pada saat perempuan berusia 21 tahun dan laki-laki berusia 25 tahun.

Namun, tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa nikah dini bermakna sama dengan nikah muda. Faktanya, kedua hal tersebut berbeda, lho!

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nikah dini atau perkawinan anak diartikan sebagai pernikahan yang dilakukan seseorang di bawah batas usia minimal yang telah ditentukan negara.

Sedangkan, nikah muda merupakan pernikahan yang dilaksanakan di usia muda dan sudah mencapai batas usia minimal menikah yang telah diatur oleh negara.

Dampak Negatif Pernikahan Dini bagi Kesehatan Ibu

Nyatanya, pernikahan dini tidak hanya berdampak negatif bagi perkembangan anak, tetapi juga berdampak negatif bagi kesehatan ibu itu sendiri.

Apa saja dampak yang dimaksud? Pernikahan dini menyebabkan anak perempuan jauh lebih rentan terhadap risiko kesehatan akibat kehamilan dan persalinan dini.

Seorang ibu yang hamil terlalu muda akan memiliki resiko tinggi saat persalinan karena panggulnya masih belum berkembang secara sempurna.

Hal ini akan membuat ibu tersebut mengalami kesulitan saat persalinan, mengalami perdarahan, pre-eklamsia (gangguan pada ibu hamil yang ditandai dengan tekanan darah tinggi dan kelebihan protein dalam urine) hingga resiko kematian.

Tidak hanya itu saja, pernikahan dini juga dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit kanker serviks maupun Infeksi Menular Seksual (IMS) seperti Sifilis, Human Immunodeficiency Virus (HIV), Hepatitis B, dan lain sebagainya.

Infeksi tersebut dapat terjadi karena organ reproduksi anak-anak belum matang atau disebut imaturitas.

Kesimpulannya, pernikahan dini menghadirkan sejumlah risiko dan dampak negatif yang perlu dipertimbangkan dengan serius.

Pada akhirnya, menunda pernikahan dini adalah keputusan bijaksana yang dapat memberikan peluang berharga untuk mengoptimalkan pendidikan, mengembangkan karier, dan melakukan hal positif lainnya sembari menunggu usia ideal menikah.

Jadi, apakah kalian berani mengambil risiko dari pernikahan dini, ataukah ada alternatif yang lebih baik? Yuk, dipikirkan kembali secara bijak!

Disusun oleh:
Annesya Yusvita Iskandar dan Enjelika Rakhmawati
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia