Meminimalisir Problematika Keluarga dengan Menunda Pernikahan Dini

Meminimalisir Problematika Keluarga dengan Menunda Pernikahan Dini

DEPOKPOS – Pernikahan merupakan suatu hal yang sakral bagi sebagian besar orang. Hal ini dikarenakan pernikahan dianggap sebagai jenjang paling awal untuk memasuki dunia keluarga yang bertanggung jawab dan komitmen. Pada masyarakat Indonesia, pernikahan sudah dianggap bagian dari budaya dan ritual keagamaan, sehingga menjadi hal yang wajib bagi semua kalangan masyarakat.

Hal ini tercermin dalam budaya lokal yang bisa dilihat pada budaya di Tana Toraja, yang percaya bahwa anak laki-laki yang sudah bekerja dan anak perempuan yang sudah menstruasi bisa dianggap sebagai orang dewasa, sehingga baik perempuan dan laki-laki bisa menikah di usia berapa pun (Thaha dan Abdullah, dalam Bawono dkk. 2022).

Bacaan Lainnya

Selain budaya lokal, terdapat pula penerapan hukum agama Islam yang dijadikan sebagai budaya masyarakat di Madura, sehingga masyarakat Madura meyakini bahwa pernikahan merupakan hak dan kewajiban bagi seseorang yang sudah memenuhi syarat menikah menurut agama Islam (Rachmad, dalam Bawono dkk. 2022). Oleh karena itu, terlepas usia berapapun suatu pasangan dapat menikah, selama mereka dapat memenuhi syarat pernikahan dari suatu budaya, maka mereka dapat menikah, termasuk di usia dini sekalipun (di bawah 19 tahun).

Akan tetapi, terdapat sebagian orang yang berusaha untuk menunda pernikahan meskipun mereka sudah memasuki usia nikah dan juga terus ditekan untuk menikah baik oleh keluarganya maupun budaya masyarakat. Alasan menunda pernikahan pun berbagai macam, mulai dari ingin meningkatkan tingkat pendidikan, ingin meningkatkan karir pekerjaan, ingin meningkatkan keadaan finansial, ingin menjaga orang tua, mengetahui resiko jika tidak siap secara fisik dan mental, dan lain sebagainya (Karsten dkk. 2017; Mappigau dkk. 2017).

Dalam sudut pandang budaya masyarakat Indonesia, sayangnya alasan-alasan seperti ini bukan menjadi halangan bagi orang-orang untuk menunda pernikahan. Bahkan pengucilan atau perkataan buruk sering kali muncul dari masyarakat karena perilaku menunda menikah tidak sesuai dengan budaya masyarakat. Hal ini pun membuat pernikahan menjadi rentan dilakukan pada pasangan dengan usia dini (di bawah 19 tahun) di kalangan masyarakat Indonesia (Bawono dkk. 2022).

Hal yang menjadi permasalahannya adalah, jika pernikahan yang tidak siap terjadi (yang terjadi di usia dini), maka akan muncul permasalahan dalam keluarga pasca menikah baik antara suami-istri, orang tua ke anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), atau lainnya. Oleh karena itu, meskipun perbuatan menunda pernikahan bertentangan dengan budaya masyarakat, penulis percaya bahwa perbuatan tersebut dapat meminimalisir seseorang dari problematika-problematika yang akan muncul di keluarga ketika seseorang sudah berkeluarga, seperti kekerasan rumah tangga, pola asuh orang tua yang buruk terhadap anak, ketidakpuasan dalam menikah, dan lainnya.

BACA JUGA:  Social Humaniora: Perspektif Ilmiah tentang Interaksi Sosial dan Kemanusiaan

Jika dibandingkan antara sebuah keluarga yang menikah secara dini atau nikah muda (di bawah 19 tahun), dengan sebuah keluarga yang menikah di usia matang atau dewasa atau ideal (di atas 20 tahun), terdapat perbedaan yang sangat jelas bahwa keluarga yang menikah di usia matang dapat meminimalisir problematika yang terjadi dalam keluarga, diantaranya seperti:

Pola asuh

Pola asuh ini terdiri dari 3: demokratis, yaitu pola asuh yang paling baik dan orang tuanya berperilaku dengan sifat komunikatif, memberikan dukungan, menghukum anak jika berbuat pelanggaran, memberikan pujian atau hadiah jika anak berbuat baik, dan hal-hal baik lainnya; permisif, yaitu pola asuh yang orang tuanya memberikan apapun yang diinginkan oleh anak, dan orang tua jarang mengontrol perilaku anak; otoritatif, yaitu orang tua mengontrol anak dengan ketat seperti anak harus patuh dan jika melanggar maka orang tua akan mudah menghukum anak.

Penelitian dari Rahmi & Yenita (2018), menyatakan kalau dari 73 ibu yang menikah di usia dewasa terdapat 40 ibu yang menerapkan pola asuh demokrasi, 32 ibu yang menerapkan pola asuh permisif, dan 1 ibu yang menerapkan pola asuh otoriter. Sebaliknya, dari 73 ibu yang menikah di usia dini terdapat 18 ibu yang menerapkan pola asuh demokrasi, 53 ibu yang menerapkan pola asuh permisif, dan 2 ibu yang menerapkan pola asuh otoriter.

Ini menyimpulkan bahwa problematika keluarga dalam bentuk pola asuh kontrol yang ketat (otoriter) dan bentuk pola asuh yang jarang mengontrol perilaku anak (permisif), lebih banyak mungkin terjadi selama orang tua tersebut melakukan pernikahan pada usia dini.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Ini disebabkan karena usia di bawah 19 tahun merupakan usia dengan kestabilan emosi dan kemandirian yang masih kurang. Seseorang yang dapat menjalankan perannya sebagai orang tua dan mengasuh anak merupakan seseorang yang memiliki kematangan dalam usia, sehingga memengaruhi kematangan secara psikologis.

Menurut Eddy (dalam Rami & Yenita, 2018), ibu yang menikah pada usia dini secara psikologis belum siap untuk berkomitmen dan memiliki peran menjadi ibu yang menjaga anak serta menjadi pasangan seks suami, sehingga kesejahteraan dan perkembangan psikologis dan kepribadiannya menjadi terkena dampak negatif, bahkan memengaruhi pola asuh mereka kepada anak-anaknya.

Selain kematangan psikologis, pasangan yang putus sekolah akibat pernikahan usia dini dan pendidikan orang tua pasangan yang rendah bisa memengaruhi kurangnya pengetahuan pasangan yang menikah usia dini. Oleh karena pengetahuan yang kurang tersebut membuat orang tua yang menikah di usia dini melakukan pola asuh yang buruk terhadap anaknya, baik secara pengabaian maupun secara pengetatan (Lubis & Nurwati, 2020; Rahayu & Yunianti, 2023).

BACA JUGA:  Cara Merawat Lovebird yang Bikin Si Kecil Happy dan Sehat

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Terdapat penelitian yang dilakuakan Kidman (2017) pada 34 negara, yang menyatakan sekitar 26% perempuan yang menikah dini mengalami kekerasan fisik oleh pasangannya dibandingkan perempuan yang menikah di usia dewasa yang hanya 18% mengalami kekerasan fisik, dan sekitar 19% mengalami kekerasan seksual oleh pasangannya dibandingkan perempuan yang menikah di usia dewasa yang hanya 6%.

Menurut Hong Le dkk. (2014), berdasarkan 10.044 responden yang pernah menikah usia dini, dengan 6.508 responden yang menikah di bawah 18 tahun dan 1.468 responden yang menikah di atas 18 tahun, istri yang menikah sebelum usia 18 tahun memiliki risiko dua kali lipat mengalami KDRT sepanjang hidupnya dibandingkan dengan mereka yang menikah berusia di atas 18 tahun.

Melalui dua penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa kasus KDRT lebih banyak terjadi pada perempuan yang menikah usia dini dibandingkan perempuan yang menikah usia dewasa. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, seperti: tidak adanya kesiapan secara mental terkait apa yang akan terjadi jika mereka memiliki masalah dalam keluarga, wanita yang menikah di usia dini tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk mengenal kepribadian pasangannya sehingga mereka akan mengalami kesulitan dalam memecahkan permasalahan dalam keluarga, ketidakmatangan secara emosional memudahkan munculnya masalah baru dan kesulitan dalam mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masalah, kebutuhan finansial yang kurang mencukupi yang bisa berujung pada penelantaran, dan faktor pendidikan yang kurang terpenuhi sehingga memengaruhi pasangan dalam mengenal dan meningkatkan potensi dirinya (Wijayati, Bekti, Saputri, dalam Mantiri, 2014; Afrilia & Melaniani 2015).

Sedangkan pada wanita yang menikah pada usia dewasa memiliki banyak waktu dalam mengenal pasangannya sehingga bisa menjadi bekal dalam menyelesaikan masalah secara bersama-sama dengan menghormati kepribadian baik dari wanita hingga pasangannya, dan kematangan emosional menciptakan kecerdasan emosional yang dapat memudahkan wanita tersebut bisa menyelesaikan masalah dengan baik, sehingga bisa menyelamatkan wanita tersebut dari ancaman KDRT (Saputri dalam Mantiri, 2014).

Kepuasan dalam menikah

Gambaran terkait kepuasan dalam menikah juga perlu diperhatikan, karena kepuasan pernikahan menggambarkan bagaimana kesan individu dalam melihat hubungan keluarganya, terutama ketika mengalami problematika dalam keluarga.

Jika penulis bandingkan dalam hal kepuasan menikah antara pasangan yang menikah pada usia ideal dengan pasangan yang menikah pada usia dini, penulis menemukan bahwa pasangan yang menikah pada usia ideal cenderung memiliki kepuasan yang sangat tinggi dibandingkan dengan pasangan yang menikah pada usia dini.

Hal ini dapat dilihat melalui penelitian yang dilakukan Permatasari (2014), menyatakan dari 40 istri yang menikah pada usia dewasa terdapat 24 istri yang puas dalam menikah, sedangkan hanya 17 istri saja dari 40 istri yang puas ketika menikah pada usia remaja.

BACA JUGA:  Kelebihan dan Kekurangan Kayu Jati untuk Penyajian Restaurant

Menurut Papalia dkk. (dalam Permatasari, 2014), mengatakan kalau usia dewasa merupakan usia yang memiliki penghasilan sendiri tanpa bergantung dengan orang tua, matang secara emosi sehingga bisa menempatkan situasi emosi yang tepat dalam keadaan tertentu seperti ketika melakukan pekerjaannya dan mengelola rumah tangga, dan penempatan peran yang tepat ketika menjadi orang tua, suami-istri, ayah-ibu, dan pekerja.

Oleh karena itu, usia dewasa merupakan periode yang sangat ideal untuk berkeluarga, karena usia ini sudah siap untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan sudah terpenuhinya kebutuhan pribadi. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sari & Sunarti (2013), yang mengatakan bahwa seorang laki-laki jika mereka memiliki kesiapan dalam finansial, maka mereka memiliki kesiapan untuk menikah. Sedangkan perempuan, akan memiliki kesiapan dalam menikah jika mereka memiliki kesiapan dalam emosinya.

Mengapa kepuasan pada pasangan menikah di usia dini sangat rendah? Ada banyak alasannya, seperti: kondisi fisik dan psikis yang belum matang sehingga pasangan sulit untuk mengontrol emosi dan menopang ekonomi serta sosial, ini biasa terjadi pada istri; alasan menikah yang kurang baik; tidak sesuai ekpektasi sehingga kecewa dan mengalami penyesalan; lemahnya kondisi keuangan atau penghasilan yang kurang; kekerasan yang diterima oleh pasangan; dijodohkan orang tua; kurang menghabiskan waktu dengan pasangan; tidak menjalankan peran dalam rumah tangga, terutama suami yang belum mendapatkan pekerjaan; masih ada rasa ketergantungan dengan orang tua; dan memiliki masalah dengan keluarga pasangan (Mukhtiqal & Khairani, 2023; Nailaufar & Kristiana, 2018; Sudarto, 2014).

Melalui penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa permasalahan-permasalahan yang muncul dalam keluarga bisa dihindarkan atau diminimalisir jika sebuah pasangan dapat menunda pernikahannya hingga pada keadaan yang sudah siap untuk menikah, terutama pada usia yang ideal dalam menikah.

Hal ini dikarenakan individu pada usia dini memiliki usia yang belum stabil secara psikologis dan secara emosional, kemandirian yang masih kurang dan masih memiliki ketergantungan dengan orang tua, dan belum siap secara mental untuk komitmen memiliki peran yang besar seperti sebagai istri dan ibu serta menghadapi masalah dalam keluarga.

Sedangkan pada usia dewasa, individu telah melewati hal-hal atau permasalahan yang terjadi pada usia dini, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk dapat meminimalisir problematika yang akan atau sedang terjadi pada keluarganya. Oleh karena itulah, sangat penting bagi individu untuk menikah pada usia dan kondisi yang tepat sehingga dapat menciptakan keluarga yang minim dengan masalah.

Muhammad Yudhistira
Mahasiswa PMM 3 Inbound Universitas Andalas

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait