Oleh: Ismi Balza Azizatul Hasanah, Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta
Tiktok Shop resmi ditutup dan tak bisa lagi diakses per Rabu (4/10), pukul 17.00 WIB. Alhasil konsumen sudah tidak bisa lagi berbelanja di Tiktok Shop. Penutupan Tiktok Shop tersebut imbas aturan pemerintah yang melarang social commerce atau media sosial yang merangkap sebagai e-commerce. Aturan ini diatur dalam Permendag No.31 tahun 2023.
Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan meminta para penjual yang aktif di Tiktok Shop untuk tidak perlu khawatir, ia bahkan menghimbau untuk para reseller unutk pindah ke platform e-commerce. Namun para penjual dan affiliator di Tiktok justru mendapatkan fakta yang tidak menyenangkan, karena sebagian dari mereka yang menyatakan bahwa jika Tiktok Shop resmi ditutup mereka harus kembali lagi menjadi pengangguran karena tidak lagi berjualan. Tentunya hal itu memberikan tanda tanya besar, tepatkah kebijakan ini?
Pemerintah mengklaim bahwa larangan Tiktok Shop akan melindungi UMKM dan pedagang, serta dapat menciptakan kerangka kerja yang adil dan aman untuk perdagangan elektronik di Indonesia.Pada faktanya banyak hal yang berpengaruh pada aktivitas pedagang hari ini, diantaranya adalah pedangan bermodal besar yang menguasai pasar.Sementara itu kehadiran Tiktok Shop memang dapat mengganggu mekanisme pasar yang sehat, karena marketplace ini biasa menjual barang-barang dibawah harga normal bahkan dibawah biaya produksi.
Dalam Islam kondisi ini disebut ghabn fahisy, yaitu bentuk penipuan yang akan mematikan pesaingnya di pasaran. Marketplace akan mengeluarkan subsidi yang besar untuk menurunkan harga pasar dengan tujuan agar pedagang lain gulung tikar. Persoalan pasar digital semakin kompleks dengan pengaturan pajak yang berbasis pada perusahaan secara fisik. Semua ini bermuara pada sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan hari ini karena bertumpu pada pajak dan utang.
Berbeda dengan perdagangan yang diatur dengan syariat Islam. Islam memiliki sistem ekonomi yang menjadi keadilan dalam aktivitas ekonomi bagi seluruh rakyat. Perdagangan yang adil telah diperintahkan oleh syariat berdasarkan QS an-Nisa ayat 29, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.”
Negara dalam Islam berfungsi sebagai pelayan rakyat seperti salah satu hadits yang berbunyi “Imam adalah penggembala (pengurus rakyat) dan ia akan bertanggung jawab atas gembalaannya (rakyat yang diurusnya)” (HR.Bukhari dan Ahmad).
Menurut hadits terebut, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab negara (khilafah). Islam telah melakukan penataan perdagangan melalui peran negara termasuk qadhi muhtasib. Negara berperan dalam melakukan pelarangan tas’ir (pematokan harga atas dan bawah), operasi pasar, dan pungutan pajak.
Sedangkan peran qadhi muhtasib yaitu mengontrol penjual dan pembeli, dan khilafah menetapkan seluruh aktivitas jual beli yang terjadi berjalan sesuai syariat Islam. Negara akan mengontrol penjual dengan melarang riba, menutupi kecacatan barang, dan dilarang mengiklankan barang yang penuh dengan kebohongan.Negara juga mengontrol pembeli dengan melarang menimbun harta, mengelabuhi penjual, kikir, berfoya-foya dan lain-lain.
Pada dasarnya marketplace di dalam Islam diperbolehkan, karena dihukumi sebagai pasar penyedia lapak. Hanya saja marketplace berfungsi sebagai pasar virtual atau digital, bukan pasar fisik. Jika marketplace meyediakan tempat untuk berjualan, maka harus berlaku akad ijarah, akad sewa lapak karena perannya hanya menyediakan tempat, bukan memasarkan barang.
Demikianlah aturan Islam dalam menciptakan pasar yang sehat, yang akan menguntungkan pedagang maupun konsumen. Seluruh aturan tersebut hanya bisa terwujud dalam khilafah Islam. []