Munculnya globalisasi serta kemudahan akses dalam Informasi dan Teknologi berakibat pada berlimpahnya informasi-informasi yang dapat diakses, terutama dari Internet. Banyaknya pandangan yang ditawarkan masing-masing pihak dalam internet melalui berbagai macam platform tentang suatu informasi yang sedang dibicarakan atau hangat dan relevan.
Dalam data tahunan BPS tentang Statistik Telekomunikasi Indonesia tahun 2022, terdapat 66,48% pengguna akses internet di Indonesia yang merupakan peningkatan dari tahun 2021 berjumlah 62,10%. Banyaknya pengguna internet yang aktif membuat masyarakat Indonesia mudah terpapar informasi yang bebas melalui internet.
Banyaknya pengguna internet juga berakibat pada menjamurnya media-media online yang menyediakan informasi, seperti melalui outlet-outlet berita, website-website blogging, dan yang paling sering digunakan adalah melalui sosial media untuk menyebarkan informasi.
Tidak semua informasi yang disebarkan merupakan informasi berdasarkan fakta. Walupun begitu, informasi tersebut bisa saja dipercaya oleh para pengguna internet dikarenakan kurangnya kesadaran akan memverifikasi informasi yang diterima. Hal tersebut dibuktikan dengan survei yang dilakukan oleh Databoks terhadap 10.000 responden, tentang presentase pengecekan informasi yang diterima oleh pengguna internet dimana menunjukan hanya sebesar 48% akan mengecek pada tiap gambar, video, berita, situs, dan post di sosial media.
Ditambah juga pada data dari Databoks yang mengemukakan presentase kemampuan mendeteksi hoaks dimana responden merespons hanya sekitar 25% saja yang yakin dan 7% sangat yakin dengan kemampuan mereka dalam mendeteksi hoaks, sisanya yaitu 45% antara yakin dan tidak yakin, 20% tidak yakin, serta 3% sangat tidak yakin.
Disinformasi dan Hoax merupakan hal yang berbeda tetapi saling berkaitan. Sebagian besar disinformasi muncul dikarenakan adanya suatu bentuk karya tulis seperti artikel, berita, penelitian, dan jurnal yang kurang berkualitas dan terdapat “error” dalam pembuatannya, seperti contohnya, penelitian yang buruk, jurnalisme yang setengah-setengah, dan mensensasionalkan atau melebih-lebihkan sesuatu untuk menedorong suatu naratif dan menambahkan “efek”.
Sedangkan hoaks merupakan suatu yang ditujukan untuk menipu, berita palsu atau bohong. Hoaks dapat dikorelasikan dengan disinformasi karena mempunyai hubungan kausalitas, dengan adanya disinformasi terjadilah ketidakpastian, kesalahpahaman, dan kebingungan yang muncul tentang informasi yang diterima sehingga menyebabkan timbulnya hoaks diantara ketidaktepatan tersebut, dikarenakan individu-individu yang mengakses informasi mulai mengiterpretasikan informasi tersebut berdasarkan pandangannya masing-masing dan menyebarkannya kepada publik luas tanpa memikirkan kebenarannya.
Hal tersebut dikarenakan rendahnya tingkat melek hukum masyarakat Indonesia, dengan ditunjukan realitas bahwa banyaknya masyarakat yang tidak mengatahui bahwa disinformasi dan hoaks merupakan kejahatan, sampai-sampai dianggap sebagai hal yang umum.
Tidak sedikit kejadian-kejadian besar terjadi akibat dari efek domino disinformasi dan hoaks yang menyebar luas serta membesar. Contoh dari fenomena tersebut ialah, yang paling terkenal dan besar akhir-akhir ini yaitu hoaks kemenangan pasangan calon presiden Prabowo Subianto terhadap calon presiden Joko Widodo pada pilpres tahun 2019 yang mengakibatkan demonstrasi besar-besaran dan kericuhan dimana-mana terutama di pulau jawa untuk menolak hasil pilpres tahun 2019 dan menganggapnya sebagai “kecurangan”.
Selanjutnya, tidak kalah besarnya yaitu, hoaks tentang pandemi COVID-19 yang menyatakan bahwa pandemi tersebut merupakan rekayasa dan hanya bagian dari alat konspirasi elit global, dari situ bermunculan juga hoaks-hoaks lain yang berkaaitan dengan Kesehatan dan penanganan pandemi COVID-19.
Masih banyak lagi contoh-contoh yang dapat dipaparkan, namun dengan hanya mencontohkan dua kasus tersebut sudah bisa memberi gambaran tentang betapa signifikannya efek dari disinformasi dan hoaks yang dapat diakibatkan, terutama pada abad 21 ini yang mana peneliti sosial mengemukakan sebutan baru terkait fenomena yang sangat marak terjadi pada abad 21 ini yaitu “The Golden Age of Conspiracy”.
Secara umum, salah satu solusi yang efektif yaitu penegakkan hukum yang baik dan tepat akan memecahkan masalah seperti ini. Mengingat teknologi internet sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia yang bebas mengaksesnya kapan saja menjadi konsiderasi penting untuk penegakan hukum dalam internet.
Namun sayangnya, penegakkan hukum yang ditetapkan masih kurang efektif dan kurang tegas, dibuktikan dengan masih maraknya penyebaran disinformasi dan hoaks yang tersebar di Internet melalui berbagai macam platform. Tidak lupa juga sistem penyaringan hoaks di Indonesia masih lemah, ditambah sifat disinformasi dan hoax yang kompleks susah dicari akarnya, serta menyebar dengan cepat.
Terdapat alternatif yang cukup efektif dalam penanggulangan keduanya disinformasi dan hoaks secara berkepanjangan yaitu dengan edukasi literasi digital yang diterapkan dalam dunia pendidikan. Menurut UNESCO-UNEVOC, literasi digital adalah kemampuan untuk mengakses, mengelola, memahami, mengintegrasikan, mengkomunikasikan, mengevaluasi dan menciptakan informasi dengan aman dan tepat melalui teknologi digital untuk ketenagakerjaan, pekerjaan yang layak dan kewirausahaan.
Ini mencakup kompetensi yang disebut sebagai literasi komputer, literasi TIK, literasi informasi, dan literasi media. Dengan edukasi literasi, pengguna internet yang sebagian besar merupakan anak-anak muda produktif penerus bangsa, akan mengerti mengenai bagaimana memilah-memilah informasi yang didapat dan menerima informasi yang tepat.
Banyak penelitian yang menyarankan tentang kapan edukasi literasi digital dilakukan dalam pendidikan, salah satu contohnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Alicia Peñalva Vélez dan Itziar Irazabal Zuazua, 2016, berjudul “Digital literacy and cyberconvivencia in primary education” yang menganjurkan untuk melakukan edukasi literasi digital terhadap anak-anak sekolah dasar kelas 5 dan 6 karena dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa anak-anak kelas 5 dan 6 sekolah dasar telah terpapar oleh akses teknologi informasi dan komunikasi berserta dampak-dampak, juga dalam kenyamanan penggunaannya.
Selanjutnya terdapat penelitian yang menyatakan betapa pentingnya literasi digital bagi sekolah pada umumnya khususnya fokus pada kompetensi murid-muridnya, penelitian tersebut dilakukan oleh Erez Porat dkk, 2018, berjudul “Measuring Digital Literacies: Perceived Versus Actual Competencies of Junior High-School Students” menyatakan hasil dari penelitiannya setelah melakukan survei kepada sekolah menengah atas yang menghasilkan kesimpulan bahwa, temuan-temuan ini memerlukan pengambil keputusan pada bidang pendidikan untuk mengambil tindakan dan mendorong pelatihan yang bertujuan untuk mengembangkan literasi digital siswa sekolah.
Hal ini penting bagi sekolah secara umum, dan khususnya untuk guru, dalam mengambil tanggung jawab dalam membina literasi digital siswa, dan merancang kegiatan pembelajaran dan evaluasi yang mengembangkan kompetensi.
Disinformasi dan hoaks dapat diatasi dan atau ditanggulangi dengan jangka panjang dan berkelanjutan oleh peningkatan literasi digital para pengguna akses internet yang mana sebagian besar yaitu adalah usia produktif, dimana literasi digital lebih baik jika dimulai sejak dini, yaitu bisa dilakukan pada murid sekolah dasar kelas 5 dan 6.
Dengan adanya literasi digital seperti apa yang telah dijelaskan diatas mempunyai kapabilitas yang tinggi dalam mengatasi disinformasi dan hoaks. Hal ini semoga menjadi sugesti yang kuat bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap pendidikan di Indonesia demi berusaha untuk mengatasi disinformasi dan hoaks.
Wisnu Bimantoro Aji
Mahasiswa Sarjana Terapan Politeknik Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara – Lembaga Administrasi Negara Jakarta