Stigmatisasi dan Edukasi Kesehatan Mental

 

Stigmatisasi merupakan suatu proses sosial ketika individu yang terpinggirkan telah dilabeli sebagai individu yang abnormal. Di era pandemi saat ini, masyarakat tengah dirundung isu stigmatisasi terhadap kesehatan mental. Tak ayal, banyak masyarakat yang enggan untuk melakukan pencarian pertolongan formal demi memulihkan kejiwaan mereka.

Bacaan Lainnya

Bagaimana tidak, isu dan labelisasi terhadap pasien dengan gejala gangguan mental sering dikaitkan dengan hal-hal yang berkonotasi negatif. Apalagi di masa pandemi saat ini, di mana gejala gangguan mental dan psikologis jelas akan muncul di tengah-tengah masyarakat. Sebuah hasil survei yang dilakukan oleh Into The Light Indonesia pada 25 Mei – 16 Juni 2021 terhadap 5.211 partisipan menunjukkan fakta yang sungguh mengejutkan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa proporsi total partisipan yang mengalami kesepian (loneliness) sebesar 98 %.

Selain itu, proporsi total partisipan yang memiliki pemikiran untuk menyakiti diri sendiri (self injury) adalah sebesar 39,3 %. Jika dipetakan berdasarkan kelompok usia, maka proporsi kelompok orang yang memiliki pemikiran untuk menyakiti diri sendiri pada kisaran usia 18-24 tahun, yaitu sebesar 50,4 %. Temuan-temuan tersebut menyiratkan bahwa sebenarnya masyarakat sangat rentan mengalami gangguan kesehatan mental sehingga sangat diperlukan perhatian yang cukup tinggi terlebih di masa pandemi ini.

BACA JUGA:  THE RAIN Ajak Pendengar Kembali Ke Nuansa 80-an Lewat Lagu “Halaman Berbeda”

Selalu merasa kesepian (loneliness) kerap kali disandingkan dengan masalah gangguan psikologis. Kesepian dapat diartikan sebagai seseorang yang merasa terasingkan atau terisolasi dengan dunia luar sebagai suatu bentuk perilaku atau persepsi terhadap periode kehidupan. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara perasaan kesepian dengan kejadian depresi. Kesepian berkaitan dengan seberapa banyak interaksi sosial yang seseorang miliki dan seberapa baik kualitas interaksi tersebut. Kesepian terjadi ketika jaringan sosial mulai menyusut atau kurang memberikan kepuasan dari yang biasa orang harapkan.

Keinginan untuk menyakiti diri sendiri (self injury) juga sering dikaitkan dengan gangguan perilaku yang terkait dengan sejumlah masalah kejiwaan. Self injury merupakan perilaku dengan maksud melukai diri sendiri dengan sengaja tanpa adanya tujuan untuk bunuh diri. Perilaku ini meliputi memukul diri sendiri, menyayat diri sendiri dengan menggunakan pisau atau silet, memotong bagian tubuh tertentu, menarik rambut dengan keras, dan membakar bagian tubuh tertentu.

BACA JUGA:  THE RAIN Ajak Pendengar Kembali Ke Nuansa 80-an Lewat Lagu “Halaman Berbeda”

Menurut penelitian, mengemukakan bahwa terdapat empat pertimbangan utama seseorang ingin melakukan self injury yaitu : 1) untuk meredakan ketegangan ; 2) untuk merasakan sesuatu, seperti rasa sakit; 3) untuk berkomunikasi dengan orang lain dengan cara menunjukkan bahwa mereka sedang menderita; 4) membuat orang lain berhenti untuk mengganggu mereka.

Pandemi Covid-19 benar-benar mampu menggoncang berbagai sektor kehidupan manusia. Terlebih jika ditinjau dari kacamata kesehatan mental, pandemi Covid-19 mampu memunculkan masalah baru. Gejala sosial mulai nampak di permukaan. Stigmatisasi terhadap kesehatan mental mulai terang benderang muncul di tengah-tengah masyarakat.

Stigma yang tinggi hingga persepsi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan mengenai kesehatan mental adalah dampak dari tingkat literasi kesehatan mental yang rendah. Ditambah lagi dengan gejala gangguan mental yang seringkali tak tampak dan sulit dikenali oleh sebagian besar orang.

Stigma sosial yang sangat tajam mengenai gangguan kesehatan mental membuat seseorang enggan untuk mengunjungi pelayanan kesehatan mental karena takut untuk dilabeli dengan asumsi negatif. Secara spesifik, stigma timbul karena adanya ketidakpedulian seseorang akan suatu hal, kemudian berlanjut menjadi prasangka dan pada akhirnya berubah menjadi diskriminasi.

Pokok permasalahan dalam wacana ini adalah mengenai rendahnya pengetahuan kesehatan mental itu sendiri. Rendahnya tingkat pengetahuan mengenai masalah kesehatan mental sangat berhubungan erat dengan rendahnya kemampuan seseorang dalam mengenali gejala gangguan kesehatan mental.

BACA JUGA:  THE RAIN Ajak Pendengar Kembali Ke Nuansa 80-an Lewat Lagu “Halaman Berbeda”

Hal ini lantas akan berimbas pada keengganan untuk mencari bantuan profesional. Oleh karena itu, diperlukan peran andil yang signifikan terkait masalah stigmatisasi ini. Mengingat dampak yang ditimbulkan sangat vital dan sangat berdampak luas. Peran dari lapisan elemen terkait sangat dibutuhkan terutama di masa pandemi ini.

Edukasi merupakan hal yang sangat didambakan guna menggerus stigmatisasi kesehatan mental di tengah-tengah masyarakat. Pun upaya promotif secara komunitas dan non komunitas juga perlu ditingkatkan. Menerapkan strategi kooperatif dengan menggandeng sejumlah institusi terkait demi mengubah persepsi negatif juga patut untuk diimplementasikan.

Di sisi lain, pemanfaatan teknologi informasi juga perlu ditingkatkan terutama pada daerah terpencil yang kurang bisa dijangkau. Dengan adanya kolaborasi dan sinergi di antara lapisan elemen terkait maka fungsi dan peran edukasi dan sosialisasi kesehatan mental guna melawan stigma negatif masyarakat akan semakin efektif. [Abdur Rohman Wachid]

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui WhatsApp di 081281731818

Pos terkait