DEPOK POS – Data Studi Status Gizi Balita di Indonesia pada 2019 menyatakan bahwa 1 dari 3 anak Indonesia mengalami stunting. Ditambah lagi, kondisi COVID-19 memperparah situasi stunting di Indonesia.
Peringatan Hari Anak Sedunia pada 20 November menjadi peringatan bagi kita untuk lebih memperhatikan tumbuh kembang anak sebagai calon generasi penerus bangsa. Namun, hingga saat ini permasalahan gizi anak masih menjadi masalah serius di Indonesia. Terlebih lagi, pandemi COVID-19 saat ini menjadi sebuah ancaman bagi masa depan mereka. UNICEF memperkirakan Indonesia mengalami peningkatan angka stunting sebesar 15% apabila tidak ada penanganan serius dari pemerintah terhadap pemenuhan gizi anak pada masa pandemi COVID-19. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara dengan kasus stunting yang tinggi di berbagai daerah harus waspada dengan ancaman tersebut.
Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang harus memberikan perhatian lebih terkait peningkatan risiko stunting pada masa pandemi COVID-19 mengingat prevalensi stunting mencapai 43,82%. Mirisnya, angka tersebut masih jauh dari standar WHO, yaitu 20%. Di samping kasus stunting yang tinggi, NTT juga mengalami penurunan pendapatan per kapita sebesar 34,09% pada tahun 2020 akibat pandemi COVID-19.3 Kondisi ini tentunya sangat mengkhawatirkan, terlebih lagi stunting memberikan dampak jangka pendek dan panjang, mulai dari peningkatan kejadian kesakitan dan kematian, penurunan kemampuan kognitif, peningkatan beban biaya kesehatan hingga penurunan produktivitas serta kapasitas kerja generasi bangsa. Oleh karena itu, upaya pencegahan stunting perlu dilakukan, baik dalam lingkup keluarga maupun pemerintah. Salah satu strategi kunci untuk mencegah terjadinya stunting adalah dengan memberikan kemudahan akses terhadap makanan bergizi melalui pemanfaatan pangan lokal bergizi tinggi, salah satunya tanaman kelor.
Kelor (Moringa oleifera Lam) merupakan salah satu jenis tanaman perdu yang memiliki kandungan nutrisi cukup tinggi dan diperlukan untuk mencegah stunting. Kelor yang dinobatkan sebagai ‘The Miracle Tree’ oleh WHO ini memiliki kandungan nutrisi yang sangat tinggi. Setiap gram daun kelor setara dengan 4 kali vitamin A pada wortel, 4 kali kalsium pada susu, 2 kali protein pada yogurt susu, dan 3 kali potasium pada pisang. Dalam bentuk kering, nutrisi setiap gram daun kelor diketahui lebih tinggi yakni setara dengan 10 kali vitamin A pada wortel, 17 kali kalsium pada susu, 9 kali protein pada yogurt susu, 15 kali potasium pada pisang, dan 25 kali zat besi pada bayam. Temuan ini membuat tanaman kelor dipropagandakan oleh WHO untuk dibudidayakan secara lokal sebagai upaya untuk mengatasi masalah stunting.
Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu provinsi dengan prevalensi stunting yang tinggi ternyata sudah memanfaatkan tanaman kelor sebagai pangan lokal untuk menangani masalah stunting. Terlebih lagi, topografi NTT cocok untuk pertumbuhan tanaman kelor yang dapat tumbuh subur di dataran rendah hingga dataran dengan ketinggian 700 mdpl pada segala jenis tanah dan tahan terhadap musim kering hingga 6 bulan. Potensi tanaman kelor khususnya bagian daun juga didukung dengan kelebihan bahwa pengolahan daun kelor sangat mudah, yakni dapat dikonsumsi secara langsung (mentah), dimasak, maupun disimpan dalam bentuk bubuk tanpa mengurangi kandungan nutrisi di dalamnya. Pengolahan tanaman kelor yang mudah harus disertai dengan pengolahan yang kreatif dan inovatif agar lebih digemari. Dengan demikian, tanaman kelor dapat dikonsumsi secara berkelanjutan.
Untuk mencegah stunting, daun kelor dapat diolah menjadi berbagai pangan yang lezat dan menyehatkan untuk ibu hamil dan menyusui serta sebagai makanan pendamping ASI (MPASI) bagi anak. Untuk menjadi MPASI, daun kelor dapat diolah menjadi bubur kelor. Bubur kelor dibuat dari campuran beras, ikan, bumbu-bumbu, dan bubuk kelor. Bubuk kelor dibuat dari daun kelor yang dikeringkan lalu diblender. Selanjutnya, masak 50 gram beras dan air dengan perbandingan 1:8, lalu tambahkan 75 gram ikan tuna. Setelah itu, masukkan 100 gram bubuk daun kelor yang telah dibuat. Aduk dan tambahkan 2,5 gram garam. Setelah matang, bubur diblender hingga setengah halus dan bubur siap disajikan untuk Si Kecil.
Selain bubur kelor, daun kelor juga dapat dijadikan pangan yang inovatif dan mudah dibuat, salah satu contohnya adalah stik kelor. Stik kelor merupakan camilan yang populer di kalangan masyarakat NTT dan ini dapat menjadi pilihan makanan cerdas untuk meningkatkan gizi anak, ditambah lagi olahan berupa stik biasanya sangat digemari anak-anak. Untuk membuat stik kelor, Anda hanya membutuhkan daun kelor, bawang merah, tepung terigu, tepung maizena, mentega, air, dan garam.
Untuk mencegah stunting, perlu juga upaya peningkatan gizi pada ibu hamil dan ibu menyusui. Ibu menyusui memerlukan makanan yang dapat memperlancar ASI atau disebut juga ‘ASI Booster’. Makanan ‘ASI Booster’ ini perlu enak dan menyehatkan supaya digemari oleh ibu. Salah satu pangan modern yang dapat menjadi ‘ASI Booster’ adalah brownies kelor. Hanya dengan satu jam, Anda sudah bisa menghasilkan brownies kelor. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat brownies kelor sama dengan membuat kue biasanya, diantaranya daun kelor, gula, telur, coklat, susu kental manis, garam, tepung terigu, dan minyak. Semua bahan itu dicampur lalu dipanggang atau dikukus. Setelah matang, Anda bisa mengkreasikan brownies ini dengan taburan keju, meses, dan lainnya agar semakin menarik.
Selain itu, daun kelor juga dapat diolah menjadi mie kelor. Mie kelor dapat menjadi pilihan cerdas untuk memenuhi nutrisi ibu hamil dan menyusui terutama kebutuhan zat besi, protein, dan vitamin. Untuk membuat mie kelor yang menyehatkan dan lezat ini prosesnya cukup mudah. Anda hanya membutuhkan sedikit bahan, yaitu daun kelor, telur, tepung terigu, minyak, tepung tapioka, air, dan garam.
Melihat potensi gizi tanaman kelor dalam mencegah stunting, Pemerintah Daerah NTT mendukung hal tersebut melalui kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam Rencana Strategi Dinas Kesehatan Provinsi NTT 2019-2023. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi penelitian terhadap keamanan konsumsi kelor bagi ibu hamil dan mendukung industri pengolahan bahan pangan kelor. Implementasi dari kegiatan tersebut, di antaranya upaya menggalakkan penanaman anakan kelor dan pelibatan kegiatan UMKM dan Kelompok Wanita Tani.
Dengan demikian, Pemerintah Daerah di Indonesia perlu memikirkan upaya yang kreatif untuk lebih memanfaatkan potensi tanaman kelor. Contohnya, pengembangan Kampung Konservasi Kelor oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Blora yang berfokus pada pengolahan tanah, pembibitan, perawatan, pemanenan, pengolahan, distribusi pemanfaatannya dan pemasarannya. Manfaat lain dari upaya tersebut adalah meningkatkan ekonomi masyarakat melalui pelibatan kegiatan usaha masyarakat dan ekspor produksi olahan kelor ke daerah lain maupun luar negeri. Meningkatnya perekonomian masyarakat dapat mempermudah akses pangan bergizi lainnya sehingga permasalahan stunting secara perlahan dapat teratasi.
Dampak stunting yang bersifat jangka panjang perlu solusi yang bersifat jangka panjang pula. Potensi tanaman kelor yang dimanfaatkan sangat baik di NTT perlu dimanfaatkan oleh masyarakat daerah lainnya di Indonesia. Konsumsi daun kelor dapat memberikan harapan positif bagi Indonesia dalam pemenuhan gizi dan kemudahan akses pangan pada masa pandemi COVID-19. Dengan demikian, Indonesia tidak perlu khawatir dengan ancaman stunting terhadap kualitas calon generasi penerus bangsa di masa pandemi COVID-19.
Oleh: Alfitra Firizkia, Faradisa Mulya, Wisda Trisnawati (FKM UI)