Mengungkap Risiko Penyakit di Balik Diet Ketogenik

Pada tahun 1911, sepasang dokter Gulep dan Marie menemukan sebuah metode berpuasa untuk mengobati pasien epilepsi. Pada perkembangannya ditemukan bahwa aseton dan asam beta-hidroksida muncul dalam subjek normal dengan kondisi kelaparan atau diet dengan proporsi karbohidrat terlalu rendah dan proporsi lemak yang terlalu tinggi. Untuk itu dikemukakan oleh Dr. Wilder bahwa manfaat berpuasa untuk mengobati epilepsi bisa diperoleh dengan cara lain yakni jika proses ketonemia dalam tubuh terjadia, yakni dengan melakukan diet ketogenik.

Selanjutnya diet ini dikembangkan sebagai tanggapan terhadap pengamatan bahwa puasa memiliki sifat antiseizure. Selama puasa, tubuh memetabolisme simpanan lemak melalui lipolisis dan kemudian asam lemak mengalami beta-oksidasi menjadi asetoasetat, β-hidroksibutirat, dan aseton — badan keton yang kemudian dapat digunakan sel sebagai bahan awal untuk menghasilkan adenosin trifosfat (ATP). Diet ketogenik, yang sangat tinggi lemak dan rendah karbohidrat ini, akan mensimulasikan tubuh dengan efek metabolisme kelaparan, yakni dengan memaksa tubuh untuk menggunakan lemak terutama sebagai sumber bahan bakar.

Kini, metode diet ketogenik digunakan dalam berbagai pengobatan penyakit neurologis seperti alzheimer, parkinson, autisme, dan lain-lain. Selain itu, penyakit metabolik seperti kekurangan piruvat dehidrogenase (PDH) dan transporter glukosa tipe 1 (GLUT-1) serta beberapa penyakit seperti kanker prostat, kanker astrositoma, kanker lambung, serta iskemia jantung juga dapat menggunakan metode diet ketogenik sebagai terapi untuk penyakit-penyakit tersebut.

Selain sebagai pengobatan berbagai penyakit, nyatanya tren penggunaan diet ketogenik ini semakin meningkat seiring dengan meningkat pulanya angka obesitas juga berat badan berlebih. Angka obesitas di negara maju maupun negara berkembang masih tergolong tinggi. Obesitas menjadi salah satu penyakit tidak menular yang menyebabkan berbagai penyakit kronis.

Berbagai metode yang diaplikasikan untuk mengurangi berat badan menggunakan pengurangan kalori dan lemak yang dikombinasikan dengan olahraga gagal menunjukkan efek jangka panjang yang berkelanjutan Beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa diet ketogenik cukup efektif dalam mereduksi berat badan dan faktor risiko dari berbagai penyakit kronis. Untuk itu, metode diet ketogenik cukup berkembang di berbagai negara, terutama negara dengan angka obesitas tinggi.

Diet ketogenik memberikan efek yang cukup signifikan dalam mereduksi berat badan dalam waktu singkat. Hal tersebut menyebabkan metode diet ini juga dikenal masyarakat sebagai cara untuk mendapatkan berat badan yang ideal dan sangat berkembang di tengah-tengah masyarakat. Penerapan diet ini masih menimbulkan pro dan kontra karena beberapa penelitian menyatakan bahwa diet ketogenik tidak memberikan efek apapun dan sebagian lainnya menyatakan terdapat risiko kesehatan yang diberikan bersifat jangka panjang bagi orang yang menjalankan metode diet ketogenik dengan alasan untuk mendapatkan berat badan yang ideal. Namun, nyatanya risiko kesehatan yang ditimbulkan belum diketahui oleh masyarakat luas.

Diet ini sendiri berfokus pada asupan makanan tinggi lemak namun rendah karbohidrat, dengan kandungan lemaknya mencapai 70-90 % atau 3 sampai 4 kali lebih besar dari kandungan karbohidrat dan protein (Escott-Stump 2012). Berbeda dengan jenis diet lain yang umumnya menganjurkan pembatasan konsumsi lemak, diet ketogenik menganjurkan konsumsi makanan tinggi lemak namun rendah atau bahkan tanpa karbohidrat, hingga tubuh mencapai kondisi ketosis.

Ketosis merupakan keadaan dimana tubuh memproduksi badan keton untuk digunakan sebagai bahan bakar energi yang akan digunakan oleh tubuh saat tubuh tak lagi mampu menggunakan karbohidrat. Ketosis ini umumnya terjadi jika tubuh dalam kondisi kelaparan (starvation). Dalam kondisi normal, tubuh menggunakan karbohidrat (glukosa) sebagai sumber energi utama, sedangkan pada kondisi kelaparan sumber glukosa di dalam tubuh tidak tersedia sehingga tubuh akan memecah lemak sebagai pengganti energi dan membentuk badan keton (Campos 2017, Paoli et al. 2013).

Di Indonesia sendiri, diet ketogenik kini menjadi salah satu pilihan utama pelaku untuk menurunkan berat badan, dan seringkali dilakukan tanpa pengawasan yang ketat dan dilakukan dalam waktu jangka panjang. Padahal, sebenarnya diet ketogenik ini pertama kali diakui oleh American Medical Association pada tahun 1920-an sebagai terapi diet yang digunakan untuk mengontrol kejang-kejang pada penderita epilepsi terutama pada anak-anak (Nelms et al. 2010) sehingga dapat membahayakan kondisi tubuh seseorang apabila dilakukan secara berkepanjangan dan tanpa tujuan dan perencanaan yang tepat.

Contohnya, total lemak yang jadi asupan dalam diet keto harus terdiri dari 80 persen asam lemak tak jenuh ganda, sisanya adalah lemak jenuh. Asam lemak tak jenuh terbagi dua, yakni asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated Fatty Acid/ MUFA) dan asam lemak tak jenuh ganda (Polyunsaturated Fatty Acid/ PUFA). Contoh MUFA adalah minyak zaitun, kacang tanah, kedelai, jagung unggas, kacang kenari, butter kacang tanah dan alpukat.

Sedangkan asam lemak tak jenuh ganda alias PUFA bisa didapat dari ikan laut, minyak ikan dan minyak kedelai. Namun, apa yang diterapkan di Indonesia belum tentu tepat. Banyak di antara pelaku diet keto keliru memilih lemak, mereka justru lebih banyak menyantap daging-daging berlemak yang termasuk dalam lemak jenuh.

Berdasarkan penelitian, diet keto sebaiknya hanya dilakukan selama tiga hingga enam bulan. Di bawah tiga bulan adalah waktu yang paling ideal. Berikut adalah beberapa dampak yang ditimbulkan ketika melakukan diet ketogenic dalam jangka panjang. Dampak pertama adalah gangguan keseimbangan hormon. Perubahan pada jumlah asupan karbohidrat sangat berpengaruh pada keseimbangan hormon, salah satunya yaitu hormon kortisol. Saat tubuh sangat sedikit mengkonsumsi karbohidrat, maka kadar kortisol akan meningkat.

Hormon kortisol sendiri berhubungan erat dengan stres. Kadar kortisol yang tinggi di dalam tubuh juga dapat mengacaukan sistem hormon lainnya, terutama pada perempuan yaitu hormon estrogen. Hal ini akan menimbulkan berbagai masalah serius seperti gangguan menstruasi, infertilitas, menopause dini, menurunkan mood, serta dapat pula menyebabkan peningkatan berat badan tanpa diketahui mekanismenya.

Dampak kedua adalah gangguan metabolisme tubuh. Disadari atau tidak, banyak pelaku diet ketogenik yang sebenarnya tidak melakukan metode diet ini dengan benar. Tingginya jumlah asupan lemak yang harus dikonsumsi kadang membuat mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Yang terjadi mereka malah melupakan inti dari diet ini yaitu tinggi lemak, sedangkan yang dikonsumsi hanyalah rendah karbohidrat, protein sedang dan lemak sedang. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme tubuh yang berujung pada gangguan fungsi hormon juga. Itulah sebabnya, pelaku metode diet ini harus benar-benar serius dan teliti saat melakukan pemilihan makanan.

Menurut Paoli et al (2014) dalam jurnalnya, diet ketogenik dapat mengendalikan rasa lapar dan meningkatkan metabolisme oksidatif sehingga dapat menurunkan berat badan orang orang dengan kondisi obesitas dan dapat menjadi diet yang tepat jika ditangani oleh dokter.

Hal ini sejalan dengan Ballaban-Gil, et al, (1998) yang menyatakan bahwa diet ketogenik adalah diet yang refraktori pada masa kanak-kanak berguna dan efektif untuk dikenakan dalam manajemen epilepsi ak, namun dalam penelitian yang dilakukannya menunjukan fakta bahwa terjadi komplikasi terhadap 5 anak yang diberlakukan diet ketogenik. Empat dari lima mengalami komplikasi dalam kurun waktu 1 bulan setelah diet ketogenik dilakukan dan 1 anak mengalami komplikasi setelah 7 bulan menjalani diet ketogenik

Dalam jurnal Johnston et al (2006) diet ketogenik biasanya dikaitkan dengan efek metabolisme dan emosional yang merugikan sehingga diet ketogenik untuk penurunan berat badan tidak dibenarkan. Terdapat banyak jurnal yang menjelaskan dampak negatif yang dialami seorang yang melakukan diet keto, salah satunya seperti yang dibahas Dhamija et al dalam jurnalnya tahun 2013 yaitu Diet ketogenik memiliki efek samping yang bersifat akut atau langsung terlihat, seperti mual, muntah, hipoglikemia berlebihan, ketosis, asidosis dan kelesuan. sedangkan untuk komplikasi kronis antara lain terjadinya sembelit dan batu ginjal, keterbelakangan pertumbuhan, penurunan berat badan hingga anoreksia, kadar kolesterol tinggi dan terjadi komplikasi berupa kadar albumin dan karnitin rendah terutama jika dikombinasikan dengan valproate, defisiensi vitamin dan mineral terutama selenium, dan pankreatitis seperti yang dinyatakan.

Dari hasil temuan penulis dalam jurnal jurnal mengenai diet ketogenik, terlihat bahwa tidak ada jurnal yang benar benar mengatakan bahwa diet ketogenik aman untuk dilakukan dengan tujuan menurunkan berat badan kecuali dengan kondisi khusus seperti obesitas atau untuk menangani pasien epilepsi. Sedangkan, di sisi lain terdapat banyak dampak yang mengancam di balik diet ketogenik. oleh karena itu penulis sepakat bahwa diet ketogenik lebih banyak berdampak pada komplikasi dibanding dengan tujuan menurunkan berat badan.

Alfida Nadira; Edwina Bernita S; Ika Noviana S; Jihan Nadira; Mustika Marwah
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia