Sudah hampir lima tahun POPM filariasis di Indonesia berjalan. Program POPM (Pemberian Obat Pencegahan Massal) filariasis adalah pemberian obat untuk mematikan mikrofilia filariasis secara serentak kepada semua penduduk sasaran di wilayah endemis Filariasis. Peraturan yang mendasari pelaksanaan POPM di Indonesia adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 94 tahun 2014 tentang penanggulangan filariasis. POPM filariasis ini telah dilaksanakan di Indonesia sejak Oktober 2015. POPM filariasis dilaksanakan melalui BELKAGA (Bulan Eliminasi Penyakit Kaki Gajah) selama lima tahun berturut-turut yang dilaksanakan setiap bulan Oktober tiap tahunnya.
Obat yang dipakai dalam pelaksanaan POPM filariasis adalah DEC (Diethylcarbamazine Citrate) 6 mg/kg BB dan dikombinasikan dengan Albendazole 400 mg. Pelaksanaan POPM bertujuan untuk menurunkan angka microfilaria rate menjadi <1%, dan memutuskan rantai penularan filariasis. Sasaran POPM filariasis ini adalah penduduk usia 2 hingga 70 tahun yang tinggal di daerah endemis filariasis. Dosis dari pemberian POPM filariasis ini adalah untuk usia dua tahun hingga lima tahun diberikan sebanyak satu tablet Albendazole dan satu tablet DEC, usia enam hingga 14 tahun diberikan sebanyak 2 tablet DEC dan satu tablet Albendazole, sedangkan usia diatas 14 tahun diberikan sebanyak tiga tablet DEC dan satu tablet Albendazole.
POPM filariasis tidak dilakukan atau ditunda pelaksanaannya pada beberapa populasi, seperti ibu hamil, penderita gangguan fungsi ginjal, penderita gangguan fungsi hati, penderita epilepsy, penderita kanker, spenderita penyakit jantung dan pembuluh darah, penduduk yang sedang sakit berat, dan anak dengan marasmus atau kwashiorkor.
Efek samping yang ditimbulkan akibat penggunaan POPM adalah terasa mual, demam, nyeri sendi/otot, sakit kepala, dan terasa mengantuk apabila diminum pada malam hari, tetapi hal tersebut adalah hal yang wajar dan hanya bersifat sementara, nanti juga akan hilang dengan sendirinya. Efek samping tersebut biasanya terjadi diatas 2 jam setelah minum obat dan hanya muncul pada orang yang baru pertama kali meminum obat kaki gajah.
Berdasarkan data Profil Kesehatan pada tahun 2017 juga disebutkan bahwa prevalensi malaria mengalami penurunan dari tahun 2016 13.009 kasus menjadi 12.677 kasus pada tahun 2017. Hal tersebut membuktikan bahwa pelaksanaan POPM mulai berjalan dengan baik walapun belum sepenuhnya efektif. Berdasarkan hasil pemetaan daerah endemis filariasis di Indonesia, diperoleh sebanyak 236 kabupaten/kota merupakan daerah endemis filariasis yang ada di 28 Provinsi. Terdapat beberapa kabupaten yang sudah melakukan POPM filariasis, terutama daerah-daerah yang termasuk daerah endemis filariasis, seperti Papua Barat, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, dan Gorontalo.
Walaupun pelaksanaan POPM filariasis sudah terbilang baik, tetapi terdapat beberapa kabupaten/kota yang tergolong daerah endemis yang belum menjalankan POPM filariasis dengan baik, seperti Jambi (20%), Sumatera Selatan (22,2%), dan Gorontalo (33,3%). Selain itu, angka tersebut juga masih terbilang jauh dari target pelaksanaan POPM di wilayah endemis filariasis yang sebelumnya telah ditetapkan, yaitu 65%. Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya beberapa kendala, seperti rendahnya partisipasi masyarakat untuk mengikuti pelaksanaan POPM, belum akuratnya database penduduk pada kegiatan POPM, belum optimalnya kerja sama antar lintas sektor dan lintas program dalam pelaksanaan program POPM filariasis, dan pada saat sosialisasi dilakukan penduduk tidak ada ditempat atau berada di tempat yang sulit terjangkau. Penyebab terjadinya kendala tersebut adalah adanya stigma pada masyarakat sehingga penderita filariasis malu untuk berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan setempat atau mengikuti sosialisasi yang sedang dilakukan, masih kurangnya informasi atau sosialisasi terkait POPM, masyarakat juga takut akan efek samping penggunanaan obat POPM filariasis, dan kerjasama antar lintas sektor masih rendah dalam mendata masyarakat yang terjangkit filariasis.
Oleh karena itu, untuk mengatasi kendala-kendala tersebut diperlukan solusi, seperti dilakukannya sosialisasi yang dapat lebih menggerakkan masyarakat betapa pentingnya mengkonsumsi obat POPM filariasis, dilakukan monitoring dan evaluasi setiap tahunnya oleh pemerintah daerah, meningkatkan dedikasi tenaga kesehatan, dan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah dengan dukungan dari beberapa pihak agar program POPM filariasis dapat berjalan sesuai dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya.
Oleh: Diva Azizah Nitisara
Mahasiswa Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia