Teman Curhat Bantu Bebaskan Depresi pada Remaja

Oleh: Varla Nur Afifah, Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

 

Ilustrasi. (Istimewa)

WHO memprediksikan penyebab utama masalah kesehatan terbesar ke-2 di dunia pada tahun 2020 adalah Depresi, 1 di antara 6 penderitanya adalah remaja.” (World Health Organization, 2001)

Bacaan Lainnya

Seorang remaja berumur 20 tahun sebut saja X, telah menderita depresi 3 tahun belakangan ini. Hal ini terjadi karena dia merasa beban hidup dan cobaan yang menimpa hidupnya sangatlah berat sehingga ia tak mampu untuk menanggungnya. Tak terhitung berapa malam yang ia habiskan untuk melawan monster yang ada merasuki pikirannya untuk mengakhiri segalanya. Tak terhitung berapa lama waktu yang ia habiskan untuk menjauhi semua benda tajam yang ia dapat temui agar tak ia iriskan ketubuhnya. Tak terhitung berapa puluh butir obat anti depresi yang ia telan untuk mengatasi pikirannya. Namun, malam itu, pertahananya runtuh. Semua benteng yang ia bangun, semua kekuatan yang ia punya hilang. Dia, malam ini, menjadi salah satu angka penambah dalam jumlah kasus bunuh diri di dunia. Ini pengalaman saya sebagai pendamping seorang yang sedang mengalami depresi.

Permasalahan kesehatan mental merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terus berkembang. Secara global, kesehatan mental telah menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya beban penyakit di dunia. Menurut studi Global Burden of Disease tahun 2013, masalah kesehatan mental yang dominan di seluruh dunia adalah depresi, diikuti oleh kecemasan, skizofrenia, dan gangguan bipolar. Pada 2013, depresi menjadi penyebab utama kedua seseorang hidup dengan kecacatan di seluruh dunia, setelah nyeri pungggung bawah. Di 26 negara, depresi menjadi penyebab utama kecacatan.

BACA JUGA:  Menatap Masa Depan Anak Betawi (1): Orang Gede!

Depresi adalah gangguan mental umum yang muncul dengan perasaan kehilangan minat atau kesenangan, penurunan energi, perasaan bersalah atau rendah diri, siklus tidur atau nafsu makan terganggu, dan konsentrasi yang buruk. Depresi kerap kali tidak disadari oleh penderitanya karena minimnya pengetahuan mengenai gejala depresi serta tidak adanya perubahan fisik yang terjadi sehingga membuat depresi sering kali diabaikan. Selain itu orang dengan depresi biasanya memiliki gejala: kehilangan energi, perubahan selera makan, tidur lebih banyak atau lebih sedikit, kecemasan, konsentrasi berkurang, ketidaktegasan, gelisah, timbulnya perasaan tidak berharga, rasa bersalah, atau keputusasaan.

Di Indonesia, terdapat sekitar 40 juta remaja dan sekitar 3,4 juta remaja usia 10-19 mengalami gangguan mental di tahun 2013, dengan depresi sebagai gangguan yang paling umum. Pada tahun 2005 hingga 2015, angka prevalensi depresi meningkat sebanyak 18%. Untuk angka prevalensi depresi di Indonesia usia 15 tahun ke atas di tahun 2018 sebanyak 6,1%. Meningkatnya angka prevalensi depresi mengindikasikan adanya peningkatan jumlah penderita depresi di masa yang akan datang, khususnya bagi remaja. Maraknya media sosial menjadi wadah bagi remaja untuk saling mem-bully dan menjadi target bully. Remaja yang menjadi korban bullying berpeluang 1,5 kali lebih besar mengalami depresi dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami bullying. Depresi dapat diawali karena stress berlebih yang diakibatkan ketidakmampuan seseorang dalam menghadapi hidupnya yang dirasa terlalu banyak permasalahan. Diawali rasa stress yang berlebih kemudian menyebabkan terjadinya depresi dan tidak sedikit yang berujung pada keputusan untuk bunuh diri.

BACA JUGA:  Menatap Masa Depan Anak Betawi (1): Orang Gede!

Orang-orang yang merasa ingin bunuh diri diliputi oleh emosi yang menyakitkan dan melihat kematian sebagai satu-satunya jalan keluar, mengabaikan fakta bahwa bunuh diri adalah “solusi” permanen untuk keadaan sementara. Berdasarkan data WHO pada tahun 2016, lebih dari 300 juta orang mengalami depresi yang mengakibatkan 800.000 jiwa per tahun mengakhiri hidupnya. Namun, angka ini masih belum sepenuhnya akurat karena kemungkinan masih banyak masyarakat yang belum tercacat namun mempunyai pikiran untuk bunuh diri serta banyak faktor yang mendukung untuk memperburuk masalah ini seperti sarana untuk bunuh diri lebih mudah tersedia.

Pada peringatan hari kesehatan dunia tahun 2017 berfokus pada ‘depresi’ karena secara global depresi dapat mempengaruhi orang-orang dari segala usia di semua lapisan masyarakat di seluruh negara. Penderitaan yang dirasakan dari depresi ini menyebabkan kesedihan dan dampak mental pada kemampuan seseorang untuk melakukan tugas yang paling sederhana hingga menurunkan produktivitas selama hidupnya dengan dampak terburuk dapat mendorong seseorang untuk bunuh diri. Depresi telah menjadi penyebab utama kematian kedua pada anak usia 15-29 tahun, masa remaja.

Depresi dapat dicegah dan diobati. Pemahaman yang lebih baik tentang apa itu depresi serta bagaimana cara mencegah dan mengobatinya akan membantu mengurangi stigma dan meningkatnya jumlah penderita depresi yang mencari bantuan. Salah satu solusi yang ditawarkan melalui sebuah campaign WHO yang disebut “Let’s Talk”. Inti dari kampanye “Let’s Talk” adalah pentingnya berbicara sebagai langkah utama dari pemulihan karena stigma seputar penyakit mental termasuk depresi, menjadi penghalang bagi orang yang mencari bantuan. Berbicara bisa sesederhana dengan keluarga, teman, professional medis, atau kelompok yang lebih besar seperti sekolah, tempat kerja, bisa juga melalui domain publik seperti media sosial, blog, berita yang dapat membantu mengurangi stigma dan akhirnya mendorong lebih banyak orang mencari bantuan. Jadi secara keseluruhan tujuannya agar lebih banyak orang dengan depresi diseluruh negara mencari dan mendapatkan bantuan.

BACA JUGA:  Menatap Masa Depan Anak Betawi (1): Orang Gede!

Di Indonesia sendiri mulai bermunculan organisasi atau hanya sebatas komunitas yang perduli mengenai ganguan kesehatan mental khususnya depresi. Organisasi tersebut biasanya membuat sebuah kanal untuk seseorang bisa berbicara secara bebas dan terbuka dengan tetap mementingkan privasi seseorang, ini bisa menjadi tindak pencegahan dini hingga masalah serius yang sudah menuju kearah bunuh diri. Salah satu contohnya adalah aplikasi curhat online bernama ‘Riliv’. Melalui aplikasi ini seseorang bisa melakukan konseling atau hanya sekedar ‘curhat’ dengan seorang psikolog tanpa takut ‘di-bully’. Komunitas lain yang mewarkan hal sejenis adalah Into The Light Indonesia dengan kampanyenya “Hapus Stigma, Peduli Sesama, Sayangi Jiwa”, Sejak tahun 2013, komunitas ini telah bekerjasama dengan berbagai pihak untuk melaksanakan banyak program yang menyentuh ribuan masyarakat di seluruh Indonesia terutama di area Jabodetabek. Program yang dilakukan seperti pelatihan, lokakarya, seminar, atau bincang-bincang, serta beragam kampanye multisektor.

Melalui komunitas atau organisasi yang bergerak di bidang kesehatan mental seperti Into The Light dan aplikasi Riliv, ini bisa menjadi langkah untuk menghapus stigma tentang penyakit akibat gangguan kesehatan mental dan tindak pencegahan sebelum berhujung kepada bunuh diri.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *