Oleh
Dedy Helsyanto
Untuk memulai tulisan ini, terlebih dahulu saya ingin mengajak sidang pembaca melihat pandangan tokoh dan figur terhadap mahkluk yang bernama perempuan. Diantaranya pandangan dari junjungan besar umat Islam, Nabi Muhammad SAW, lalu Bapak Proklamator serta Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno atau Bung Karno dan kemudian Bapak Koperasi Indonesia atau Wakil Presiden Pertama, Mohammad Hatta atau Bung Hatta.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa “Perempuan itu tiang negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, rusaklah negeri”. Dan Bung Karno dalam Kitab Sarinah nya juga mengatakan “Bahwa soal masyarakat dan negara adalah soal laki-laki dan perempuan. Soal perempuan dan laki-laki. Dan soal perempuan adalah soal masyarakat dan negara”. Pun Bung Hatta melengkapinya dengan pernyataan “Siapa yang mendidik satu laki-laki berarti telah mendidik satu manusia, sedangkan siapa yang mendidik satu perempuan berarti sedang mendidik satu generasi.”
Ketiga tokoh panutan dan pemimpin banyak manusia tersebut terbukti sangat menghormati dan menghargai kaum perempuan. Perempuan diposisikan beliau laksana jantung yang menghidupi kehidupan berbangsa dan bernegara, atau turunannya sampai pada pemerintahan daerah sebagai satu sistem yang terintegrasi didalamnya. Dari sini penulis ingin dulu membandingkan apa yang dikatakan ketiga tokoh tersebut terhadap fakta kehidupan kaum perempuan dan anak di kota Depok.
Ironisnya sangat jauh berbeda, bagai punduk merindukan bulan. Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polresta Depok mengaku menerima 113 kasus laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2013. Sementara sampai awal Desember 2014, PPA mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini meningkat hampir dua kali lipatnya, yakni 204 kasus. Dari 204 kasus itu, komposisinya 108 kasus adalah kekerasan pada anak, dan 96 kasus kekerasan pada perempuan. Sedangkan untuk 2015 ini, mulai dari Januari hingga April, PPA memaparkan ada 71 kasus kekerasan seksual terjadi pada anak dan perempuan.
Dari apa yang dikatakan oleh ketiga tokoh dan fakta kasus kekerasan pada perempuan dan anak di atas, telah membuktikan bahwa Wali Kota Depok yang notabenenya laki-laki, Nur Mahmudi Ismail dengan didampingi Wakil Wali Kota yang pada dua periode kekuasaannya juga laki-laki, dapat dinilai telah gagal membangun Depok sebagai kota yang ramah terhadap perempuan dan anak, atau gagal merepresentasikan kepentingan perempuan dan anak di kota Depok. Jadi sangat naif kalau kita menutup mata terhadap dampak yang diterima perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan dengan terus membela rezim penguasa ini.
Lalu apa kaitannya fakta ini dengan pilkada Depok pada Desember 2015 mendatang?
Cawalkot Perempuan
Kaitan diantara keduanya adalah dalam bentuk perwakilan dan pencalonan. Maksudnya ialah untuk membela nasib kaum perempuan dan anak di kota Depok, perempuan harus memiliki wakilnya dalam eksekutif atau pemerintah kota Depok. Jadi tidak cukup hanya keterwakilan perempuan dengan kuota 30% di legislatif atau DPRD Depok seperti belakangan.
Phillips dalam The Politics of Presence (1995) menyatakan perubahan dalam jumlah perempuan dalam politik akan menghasilkan perubahan bukan hanya pada dalam hasil perwakilan tapi prosesnya. Atau menurut Dahlerup melalui From a small to a large minority: women in Scandinavian politics mengatakan kehadiran perempuan dalam politik dapat mempengaruhi bahasa politik yang berarti wacana politik yang mencerminkan perhatian terhadap perempuan telah dijadikan bahasa politik yang bersifat umum.
Pandangan kedua tokoh diatas bila diterjemahkan kedalam konteks pilkada Depok 2015, secara lugas dapat diartikan bahwa warga Depok, khususnya pemilih perempuan membutuhkan representasinya dalam pilkada. Hal ini terlepas dari posisi perwakilan perempuan Depok di eksekutif itu nantinya, apakah akan berada sebagai Wali Kota atau Wakil Wali Kota. Karena yang terpenting apabila perempuan Depok mempunyai Wali Kota atau Wakil Wali Kota perempuan saja, ini sesuai dengan yang dikatakan John Stuart Mill dalam bukunya yang berjudul The Subjekction of Woman bahwa “Mempunyai hak buat memilih orang-orang yang memerintah, itu adalah satu cara pembelaan diri yang menjadi hak tiap-tiap orang”. Yang berarti harapan perempuan Depok dengan terpilihnya Wali Kota atau Wakil Wali Kota perempuan pada pilkada Depok 2015, dimaksudkan untuk tidak melanjutkan trend kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak seperti sekarang.
Namun yang perlu diingat oleh pemilih perempuan pada pilkada Depok nanti ialah musti dilihat juga sejauh mana calon Wali Kota atau Wakil Wali Kota Depok yang perempuan yang diusung oleh partai atau gabungan partai dapat mewakili kepentingan perempuan. Untuk mengukur calon Wali Kota Depok yang perempuan yang dapat merepresentasikan kepentingan perempuan Depok, hendaknya kita mengingat apa kata Bung Karno yang membagi gerakan perempuan dan tokoh perempuan kedalam tiga kategori.
Tingkat kesatu pergerakan perempuan yang menyempurnakan keperempuanannya saja, yakni yang lapangan usahanya ialah misalnya memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dan sebagainya. Pergerakan dan tokoh perempuan yang lahir dari sini hanya diikuti kaum perempuan atasan saja atau borjuis dan tidak diikuti kaum perempuan rakyat jelata. Tingkat kedua adalah pergerakan perempuan yang wujudnya memperjuangkan persamaan hak dan kaum laki-laki. Program yang terpenting ialah hak untuk melakukan pekerjaan dan pemilihan. Caranya dengan melawan laki-laki. Terakhir atau tingkat ketiga, adalah pergerakan dan tokoh perempuan dimana mereka bersama laki-laki berjuang bahu-membahu untuk sama-sama sejahtera dan sama-sama merdeka. Dan dari tingkat yang ketiga inilah, tingkat tertinggi dari pergerakan kaum perempuan Indonesia untuk mengejar nasibnya yang lebih layak. Dan dari sini juga kata Bung Karno, perempuan akan melihat bahwa laki-laki tidak lagi akan duduk disamping kaki perempuan sebagai penyembah asmara, tetapi dengan berbesar hati membahagiakan hak-hak perikemanusiaan yang abadi itu sama rata dengan perempuan, berjalan dengan perempuan setindak dan selangkah, serta berjabat tangan.
Dengan begitu perempuan yang musti dicalonkan dan dipilih pada pilkada Depok ialah perempuan yang merupakan representasi tingkat ketiga. Ini semata-mata demi terwujudnya kepentingan perempuan Depok melalui wali kota atau calon wali kota, yang tahu kepentingan perempuan dan anak, lalu tahu posisinya ketika berhadapan dengan laki-laki dan kemudian berpihak kepada perempuan tingkat bawah bukan hanya pada tingkatan atas atau menengah.
Depok Kota Layak Anak
Dari Wali Kota Depok yang perempuan dan mengetahui kepentingan perempuan serta dapat bekerjasama dengan laki-laki inilah diharapkan Depok sebagai kota layak anak segera terwujud. Harapan ini bukanlah hal yang muluk atau mengawang, mengingat sifat emosional dari seorang perempuan yang menjadi ibu dari anak-anak mereka, dan dorongan publik atau Warga Depok yang menginginkan kehidupan anak di Kota Depok tak menjadi objek kekerasan sistem atau pembangunan di Kota Depok.
Sebagaimana dicatat Paula Barker (1984: 624) bahwa rumah merupakan basis bagi tindakan politik. Rumah menurut Barker merupakan tempat kaum perempuan menggabungkan kegiatan politik, rumah tangga dan pemikiran republikan melalui keibuan. Atau diluar politik formal bertindak sebagai ibu sangatlah menentukan, yakni dengan membesarkan anak yang baik, mereka (kaum ibu) menjamin keberlangsungan republik.
Dengan masalah objektif dan solusi pemikiran masalah perempuan dan anak di Kota Depok yang dijelaskan diatas, sulit rasanya Warga Depok khususnya Kaum Perempuan Depok menghindari kebutuhan lahirnya Wali Kota atau Wakil Wali Kota Perempuan. Atau kalau pun gagasan ini mau dikesampingkan, itu hanya lebih kepada kalkulasi politis yang sifatnya ego dari elit-elit maskulin yang ada di Depok yang punya kepentingan sempit dalam Pilkada Depok.
Jadi tidak bisa tidak partai politik atau gabungan partai politik beserta para bakal calon wali kota Depok yang perempuan sudah mulai tampil memperkenalkan diri dan memaparkan gagasan khususnya untuk Depok yang humanis terhadap perempuan dan anak. Apabila tidak mereka musti mengingat kembali kata Bung Karno yang berbunyi “Teori tak disertai perbuatan, tiada tujuan. Perbuatan tidak pakai teori, tiada berarah tujuan.”
Dedy Helsyanto
(Koordinator Umum Pemuda Depok Anti Status Quo (Pedas) Depok)