Oleh Retnaning Putri, S.S, Aktivis Muslimah
Pendidikan kerap didengungkan sebagai kunci kemajuan bangsa. Namun realitas di lapangan berbicara sebaliknya. Bagi banyak keluarga, pendidikan justru menjadi perjuangan berat yang terhalang tembok tebal bernama kemiskinan. Data dari Tirto.id menunjukkan, kesulitan ekonomi menjadi faktor terbesar penyebab anak tak bersekolah di Indonesia. Biaya pendidikan yang meliputi seragam, buku, transportasi, hingga kebutuhan pokok, memaksa sebagian anak membantu orang tua mencari nafkah. Meski konstitusi mengakui pendidikan sebagai hak setiap warga, nyatanya banyak anak tetap tersingkir dari bangku sekolah hanya karena faktor ekonomi.
Pemerintah memang meluncurkan berbagai program intervensi, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) maupun Kartu Indonesia Pintar (KIP). Namun program-program ini sekadar menjadi penopang sementara yang tak menyentuh akar persoalan. Biaya pendidikan tetap mahal, ketimpangan tetap menganga. Bahkan, pendidikan terus diperlakukan sebagai komoditas, bukan sebagai hak dasar.Laporan detikNews (25 Mei 2025) mengungkap kisah memilukan yang dialami Rustini, seorang ibu penyandang disabilitas yang menghidupi tiga anak dengan penghasilan Rp50 ribu per hari. Rumahnya berukuran 2×3 meter, tanpa fasilitas dasar yang layak. Anak sulungnya, Rizky (17), terpaksa putus sekolah sebelum lulus SMP karena tekanan ekonomi. Potret ini menggambarkan nyata bagaimana banyak keluarga miskin kehilangan akses pendidikan di tengah himpitan hidup.
Kini, pemerintah memperkenalkan program Sekolah Rakyat, yang diklaim sebagai terobosan pemutus rantai kemiskinan. Namun, pendekatan seperti ini justru berpotensi menciptakan segregasi sosial: sekolah khusus bagi yang miskin, sementara sekolah berkualitas tetap menjadi milik kalangan yang mampu. Solusi parsial ini ibarat tambal sulam yang menutupi luka dalam sistem pendidikan yang memang sejak awal cacat desain.
Islam memandang pendidikan sebagai hak dasar syar’i yang wajib dipenuhi negara. Rasulullah SAW bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah). Allah SWT juga berfirman: “…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11). Pendidikan dalam Islam tidak sekadar upaya peningkatan ekonomi, tetapi bagian dari pembentukan kepribadian Islam dan peradaban mulia.
Negara, dalam sistem Islam, bertanggung jawab penuh menyediakan pendidikan bermutu, gratis, dan setara bagi seluruh rakyatnya. Dana untuk pendidikan bersumber dari Baitul Maal — yang berasal dari zakat, kharaj, jizyah, serta pengelolaan sumber daya umum — bukan dari utang atau pungutan rakyat. Sistem ini menghapus dikotomi sekolah kaya-miskin, kota-desa, dan menyediakan kualitas pendidikan yang sama untuk semua.
Lebih dari sekadar transfer ilmu, pendidikan dalam Islam diarahkan untuk mencetak generasi bersyakhshiyah Islam: berilmu, berakidah kokoh, berakhlak mulia, menguasai ilmu agama dan sains secara seimbang, serta siap memimpin peradaban dunia. Sebaliknya, sistem pendidikan hari ini cenderung berorientasi pasar: mencetak tenaga kerja, menaikkan mobilitas individu, atau sekadar menekan angka statistik kemiskinan. Akar persoalannya bukan sekadar keterbatasan anggaran, melainkan kegagalan ideologi kapitalisme sekuler yang melahirkan ketimpangan struktural sejak hulu.
Islam menawarkan solusi mendasar: perubahan sistemik menyeluruh. Hanya dengan kembali pada sistem Islam secara kaffah, pendidikan sebagai hak dasar rakyat dapat diwujudkan secara utuh. Bukan sekadar “Sekolah Rakyat” untuk kaum miskin atau “Sekolah Unggul” untuk kaum kaya, melainkan pendidikan berkualitas setara bagi seluruh rakyat. Inilah visi pendidikan sejati yang hanya dapat terwujud dalam naungan syariat Islam.