Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I., Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Di Indonesia bukanlah suatu hal yang aneh di saat hari raya, baik Iduladha ataupun perayaan Idulfitri kemungkinan besar akan mengalami perbedaan, ada versi Muhammadiyah dan juga versi NU yang lebih cenderung sama dengan keputusan pemerintah. Itu semua disebabkan perbedaan metode penentuan hilal awal Dzulhijjah ataupun awal Ramadhan, antara hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan hilal), walaupun sesungguhnya Allah SWT hanya menurunkan satu hilal di muka bumi.
Fenomena tersebut menjelaskan kepada kita semua, bagaimana mungkin umat Islam bisa bersatu membela saudaranya di Palestina, apabila menentukan hari raya umat Islam saja tidak bisa bersatu. Sementara di Palestina genosida terus dilakukan secara brutal dan tidak berperikemanusiaan. Adapun bantuan bahan makanan dan obat-obatan yang datang terus di tahan dan tidak boleh masuk ke wilayah Gaza. Kelaparan pun semakin parah sehingga menambah penderitaan Muslim Gaza. Parahnya lagi, blokade itu berlangsung selama berbulan-bulan lamanya. Sungguh, itu merupakan strategi yang sangat licik dan keji. Kondisi tersebut sudah berlangsung sangat lama sejak Israel melakukan agresi.
Sayangnya persatuan umat Islam yang berjumlah hampir 2 miliar di saat moment haji, hanyalah sampai pelaksanaan ibadah haji saja, lalu mereka kembali tersekat dengan nasionalisme dan golongan. Tercerai berainya kaum Muslimin, membuat mereka makin rapuh dan mudah untuk dihancurkan.
Bahkan, setiap tahun jutaan umat Islam berkumpul di Padang Arafah. Di sana, mereka berdiri dalam barisan yang sama, menghadap Tuhan yang sama, serta melantunkan doa dan kalimat yang sama. Tidak tampak bendera nasional maupun pengawalan presiden. Di Arafah, seluruh perbedaan sirna dalam kefanaan kain ihram dan kekhusyukan ibadah. Fenomena ini menjadi simbol kuat bahwa umat Islam sejatinya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Memang, makna ibadah yang diajarkan Rasulullah SAW dengan jutaan Muslim dari berbagai bangsa berkumpul di Tanah Suci untuk berhaji, menunjukkan persatuan yang melampaui sekat bangsa, ras, dan bahasa. Persatuan umat Islam tidak didasari kesamaan budaya atau etnis, melainkan disatukan oleh akidah Islam yang menghapus segala perbedaan duniawi.
Seharusnya umat Islam yang berjumlah hampir 2 miliar akan menjadi kekuatan dunia yang disegani jika bersatu. Namun, persatuan saat Iduladha hanya sesaat. Selepas pelaksanaan ibadah umat kembali tercerai dan bahkan saling bermusuhan, melupakan penderitaan saudara seiman di berbagai penjuru dunia, termasuk warga Palestina di Gaza.
Hakikatnya, persatuan sejati hanya dapat terwujud dalam institusi politik Islam global yaitu satu kepemimpinan di dunia yang disebut Khil4fah, yang menyatukan umat dalam satu tubuh dan tujuan. Seharusnya Iduladha mengajarkan ketaatan mutlak kepada Allah, dan mendorong umat untuk patuh sepenuhnya pada syariat Islam, bukan hanya pada aspek ritual, tapi juga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[]