Oleh: Maya Puspitasari, Pemerhati Pendidikan
Entah ada apa di dunia pendidikan saat ini, khususnya di Jawa Barat. Sebelumnya marak diberitakan tawuran antar sekolah yang mengakibatkan Gubernur Dedi Mulyadi menerapkan pengiriman ‘anak nakal’ ke barak militer yang diikuti oleh beberapa Walikota dan Bupati di bawahnya. Belum lagi kasus perundungan yang tak jarang sampai berujung kematian. Beberapa hari lalu, dunia pendidikan kembali tercoreng dengan terungkapnya kasus pelecehan yang dilakukan oknum guru di SMP Negeri 3 Depok. Tak tanggung-tanggung, ternyata oknum guru ini telah melakukannya selama beberapa tahun.
Kasus ini menambah rentetan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pelaku yang ‘notabene’ orang berpendidikan. Menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) yang dikeluarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Republik Indonesia, sejak Januari 2025 hingga Mei 2025 sudah ada lebih dari 10 ribu kasus kejahatan seksual yang dilaporkan. Di Jawa Barat sendiri, ada 1151 kasus terlapor di tahun 2025 ini. Angka ini tentu saja bisa lebih banyak di lapangan jika diungkap semuanya.
Hanya saja, para korban kekerasan ataupun pelecehan seksual biasanya enggan untuk melapor karena takut akan sosok pelaku atau khawatir laporannya akan menyebabkan masa depannya hancur. Ini diperparah dengan instansi tempat terjadinya kasus tersebut terkadang enggan untuk menindaklanjuti dikarenakan pemangku jabatan yakin bukan hanya pelaku yang akan terseret, tapi juga nama baik institusi yang akan tercoreng. Sehingga, orang-orang sekitar yang mengetahui atau bahkan menyaksikan kejadian tersebut bisa jadi membiarkan dan bahkan bisa bertahun-tahun kejadian itu berlangsung dan baru terungkap setelah sekian lama terjadi.
Ini bisa menjadi indikasi sudah lemahnya kontrol masyarakat yang seharusnya memiliki semangat amar ma’ruf nahi munkar. Pembiaran yang dilakukan tentu membuat pelaku bisa bebas melakukan tindakan bejatnya tanpa merasa takut dan berdosa. Lemahnya hukum yang berlaku juga tidak membuat pelaku jera.
Dengan iming-iming uang yang tidak seberapa atau nilai yang menjadi penentu kelulusan, pelaku bisa dengan mudah melampiaskan nafsu bejatnya. Kalaupun ketahuan, ia hanya habiskan beberapa tahun di balik jeruji besi. Yang tersisa adalah trauma yang dialami oleh korban yang bisa menghantuinya seumur hidup. Jika ini terus dibiarkan, angka kejahatan seksual akan terus meningkat tanpa ada tindakan preventif atau solusi yang menyelesaikan secara komprehensif.
Kondisi ini diperburuk dengan tersebar luasnya media yang mengumbar pornografi dan pornoaksi. Meski pemerintah mengklaim sudah mencoba memblokir situs-situs porno, nyatanya masyarakat masih bisa dengan mudah mengakses konten pemicu perbuatan asusila. Akibatnya, individu yang sekalipun berilmu tetapi tidak disertai iman dan akhlak, ia tidak bisa menahan nafsu jika terus terpapar oleh media.
Oleh karenanya, dibutuhkan sistem pendidikan yang mampu mengajarkan peserta didik yang bertakwa. Ia akan menjadi pribadi yang terbuka, tidak merasa takut pada yang berbuat salah hingga ia berani untuk mengungkap kebenaran. Ilmu seharusnya bukan hanya sekedar alat untuk meraih materi di masa depan berupa ijazah ataupun gelar.
Namun ia juga harus menjadi sarana dalam mendekatkan diri pada Allaah SWT. Sehingga nilai-nilai yang diajarkan akan menjadi pemahaman dan menjadikannya sebagai individu yang senantiasa mengetahui bahwa tindak-tanduknya diawasi oleh Sang Pencipta. Sekolah seharusnya bukan dijadikan ajang untuk berlomba meraih nilai tertinggi dengan menghalalkan segala cara namun tempat menuntut ilmu yang bisa bermanfaat bagi sesama.[]