DEPOKPOS – Usia 20-an sering kali digambarkan sebagai masa emas: penuh semangat bebas mencoba banyak hal, dan saat yang tepat untuk “menata hidup”. Namun di balik Gambaran ideal itu, banyak orang di usia ini justru marasa cemas, bingung , bahkan tertekan oleh harapan-harapan, baik dari luar maupun dari dalam diri sendiri.
Tekanan itu datang dalam berbagai bentuk. Mulai dari tuntunan untuk memiliki karier yang mapan, pasangan yang tepat, hingga pencapaian yang bisa dibanggakan di media sosial. Tanpa sadar, kita membandingkan perjalanan hidup kita dengan orang lain, padahal latar belakang dan tujuan kita sangat berbeda.
Kebahagiaan modern pun jadi terasa seperti target yang harus dicapai, bukan sesuatu yang bisa dirasakan dalam keseharian. Kita merasa selalu produktif, selalu tumbuh, dan selalu berhasil. Akibatnya, kita jadi sulit menikmati proses. Bahkan saat sedang istirahat pun, rasa bersalah sering kali muncul karena merasa “tidak melakukan apa-apa”.
Padahal. Kebahagiaan bukan hanya soal pencapaian besar. Kadang, ia hadir dalam bentuk sederhana: bisa tidur nyenyak, punya teman yang bisa diajak bicara, atau merasa damai walau sedang belum tahu arah hidup.
Mungkin sudah saatnya kita mendefinisikan ulang makna bahagia di usia 20-an. Bahwa tidak apa-apa jika kita belum tahu akan jadi apa. Tidak apa-apa jika karier belum stabil atau belum belum menemukan pasangan hidup. Tidak semua orang harus “sukses” di usia muda. Kita punya waktu dan hak untuk meraba-raba jalan, bahkan tersesat sejenak.
Usia 20-an bukan tentang menjadi sempurna. Ini tentang belajar mengenali diri sendiri dengan segala pencapaian dan ketidakpastian yang menyertainya.
GHINA CAHYA AURA SAPUTRA