Memainkan Peran sebagai Jurnalis Kritis

Memainkan Peran sebagai Jurnalis Kritis

Oleh: M Iksan, Ketua Forum Wartawan Jaya Indonesia Korwil Depok

Jurnalis bukanlah juru ketik. Dalam tugasnya, ada rangkaian substansial yang harus dilalui oleh jurnalis, step by step. Jurnalis dituntut untuk mampu melewati tahapan tersebut dalam waktu yang cenderung sangat terbatas.

Bacaan Lainnya

Mengetik berita adalah proses paling akhir, setelah melewati proses perencanaan, riset permasalahan, hingga eksekusi peliputan, menjadi bagian esensial yang harus dilalui para jurnalis.

Pun dalam proses wawancara, jurnalis harus bisa memberikan pertanyaan kritis atau merespons dengan umpan balik yang tajam. Bukannya menjadi pasif karena kurang menguasai materi.

Kondisi pasif para jurnalis ini, sayangnya sangat sering terjadi di lapangan sehingga akhirnya hanya menelan informasi dari narasumber mentah-mentah tanpa “mempertanyakannya” kembali.

BACA JUGA:  Jawa Barat Darurat Kejahatan Seksual

Jurnalis tidak bisa dan tidak boleh menerima informasi dari narasumber untuk dijadikan berita dengan sudut pandang “apa-adanya” sehingga memberikan kesan bahwa jurnalis seolah hanya penyambung lidah pemerintah.

Yang seharusnya terjadi, jurnalis harus memainkan perannya sebagai watchdog atau anjing penjaga, bukan sebagai anjing peliharaan.

Untuk melihat masalah ini secara proporsional, pernah saya mempertanyakan hal ini kepada salah seorang kawan yang isi pemberitaan medianya cenderung menjadi corong atau penyambung lidah Pemkot Depok.

Alasannya sederhana; Jurnalis juga manusia, perlu makan dan harus ada yang dibawa pulang untuk anak istri. Perlu bensin untuk kendaraan dan lainnya. Intinya, jurnalis perlu pemasukan dan cara termudah adalah dengan “memuji” pemerintah dalam hal ini Pemkot Depok.

Apalagi, masih alasannya, media tempatnya bernaung rutin mendapatkan “rilis” dan “advertorial” dari Pemkot Depok. Mungkin sebagai timbal balik atas “puji-pujinya” selama itu.

BACA JUGA:  Alun-Alun di Depok Bakal Punya Ruang Publik Khusus Lansia

Karena alasan itulah dirinya menyajikan berita yang “apa adanya seperti itu”.

Alasan kedua adalah kondisi internal media. Yang ini lebih kasuistik. Ada media yang memilih tidak terlalu kritis pada isu-isu tertentu. Bisa terkait dengan sikap suatu media, atau terkait dengan kepentingan politik media tersebut.

Kembali pada argumen kedua kawan saya tadi menyebut bahwa media tempatnya bekerja tidak terlalu tajam dalam mengkritisi berita-berita skandal pemerintahan yang banyak terjadi.

Pertanyaannya, apakah ini ada kaitannya antara pemilik media yang juga adalah politisi atau didanai politisi dan menjadi subordinasi pemerintah?

Dua argumen kawan saya di atas tentunya bisa belum mewakili alasan keseluruhan mengapa jurnalis memilih sudut pandang “apa adanya” dalam menulis berita. Namun paling tidak kita bisa melihat faktor penting yang mematikan daya kritis para jurnalis.

Mungkin bagi mereka, sikap kritis adalah mengkritisi pengkritik pemerintah, dalam hal ini Pemkot Depok.

BACA JUGA:  Motor Terbakar Usai Isi Bensin di Citayam

Mari tengok kembali rumus Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach-Tom Rosenstiel, kita akan diingatkan bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah memihak pada kebenaran. Prinsipnya, kebenaran yang simpel saja yang berdasar pada fakta.

Jadi, misalnya ada kebijakan Pemkot Depok yang layak dipertanyakan, maka pengelola media harus menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat luas dengan memberi ruang pada jurnalisnya untuk menulis kritik atas kebijakan tersebut. Sebab loyalitas pertama jurnalisme adalah pada masyarakat.

Jurnalis harus memiliki kebebasan finansial dari sumber yang diliput dan mampu mengemban tugas pemantau dan penyeimbang terhadap pemerintah yang bebas terhadap kekuasaan.

Dan yang paling penting, jurnalis diberi kewenangan untuk mengikuti kebenaran dan hati nuraninya.

SALAM SATU PENA!

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait