Oleh: Dr. Andri Yudhi Supriadi, Warga Depok, Pemerhati Sosial Ekonomi
Inflasi sering kali direduksi menjadi sekadar angka yang muncul tiap bulan dalam laporan Badan Pusat Statistik. Padahal, di balik angka itu, tersembunyi dinamika sosial-ekonomi yang jauh lebih kompleks. Inflasi adalah soal bagaimana warga belanja, sektor apa yang paling terdampak, dan siapa yang paling merasakan perubahannya.
Kota Depok mencatatkan inflasi tahunan sebesar 1,87 persen per April 2025—sedikit di bawah inflasi nasional yang berada di angka 1,95 persen. Meski perbedaan ini tampak kecil, ia membuka ruang penting untuk bertanya: apakah Depok benar-benar berhasil menjaga stabilitas harga, atau ada hal-hal mendasar yang belum tersentuh oleh data statistik?
Konsumsi Bergeser: Tekanan Tidak Lagi pada Pangan
Yang menarik dari data inflasi Depok bukan hanya angkanya yang rendah, tapi komposisinya. Kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya menjadi penyumbang terbesar, dengan inflasi mencapai 13,85 persen dan menyumbang 0,65 persen terhadap total inflasi kota. Kelompok makanan, yang biasanya menjadi momok utama inflasi, justru hanya menyumbang 0,52 persen.
Ini menunjukkan pola konsumsi masyarakat Depok mulai bergeser. Gaya hidup dan jasa kini menjadi sektor yang paling terdampak tekanan harga. Apakah ini pertanda meningkatnya pendapatan? Belum tentu. Bisa jadi, ini justru sinyal meningkatnya beban hidup di sektor-sektor yang sebelumnya tidak mendapat perhatian besar dalam kebijakan pengendalian harga.
Inflasi Bulanan: Risiko Jangka Pendek yang Tak Boleh Diabaikan
Meski secara tahunan inflasi di Depok tergolong jinak, tekanan jangka pendek tetap nyata. Salah satu pemicunya adalah kenaikan harga listrik, yang menjadi penyumbang terbesar inflasi bulanan (month-to-month) dengan andil 1,10 persen—bahkan lebih tinggi dari kontribusinya secara nasional.
Kondisi ini menjadi alarm. Ketika kebijakan subsidi atau insentif dicabut, daya beli masyarakat langsung tergerus. Ini membuktikan bahwa stabilitas harga di Depok sangat bergantung pada kebijakan pusat, dan belum sepenuhnya berdiri di atas kekuatan ekonomi lokal.
Ketimpangan Konsumsi: Tantangan yang Masih Tersembunyi
Data juga menunjukkan adanya ketimpangan kontribusi antar kelompok pengeluaran. Ketika harga barang gaya hidup naik pesat dan pangan relatif stabil, itu bisa berarti dua hal: sebagian masyarakat punya ruang konsumsi lebih luas, sementara sebagian lainnya tetap berkutat di kebutuhan pokok.
Hal ini menjadi catatan penting bagi pemerintah daerah. Menjaga inflasi rendah tidak cukup jika manfaatnya hanya dirasakan oleh segmen tertentu. Kebijakan pengendalian harga perlu ditujukan secara merata—terutama bagi kelompok rentan yang tidak memiliki daya adaptasi tinggi terhadap perubahan harga.
Inflasi Harus Dimaknai Lebih Dalam
Inflasi yang rendah memang baik, tapi bukan tujuan akhir. Ia harus dibaca sebagai indikator, bukan hasil akhir dari pembangunan ekonomi. Yang lebih penting adalah bagaimana inflasi (atau deflasi) itu dirasakan oleh masyarakat sehari-hari—apakah mereka merasa penghasilan cukup, harga stabil, dan kebutuhan dasar terpenuhi.
Dalam konteks ini, Depok punya peluang besar menjadi model kota yang mampu mengelola inflasi secara lebih adil dan inklusif. Namun syaratnya jelas: kebijakan harus berbasis data, kolaboratif lintas sektor, dan berorientasi pada kesejahteraan nyata.
Inflasi Adalah Cermin Keseimbangan
Inflasi bukan semata urusan statistik atau kinerja birokrasi. Ia adalah cermin dari bagaimana ekonomi bekerja untuk masyarakat. Jika inflasi rendah tapi ketimpangan tetap tinggi, maka ada yang belum selesai dalam pekerjaan rumah kita.
Depok sudah berada di jalur yang relatif baik. Tapi agar bisa benar-benar menjadi kota yang tangguh secara ekonomi, pengelolaan inflasi harus dibarengi dengan upaya serius untuk menjaga keseimbangan dan keadilan ekonomi bagi semua.
Dr. Andri Yudhi Supriadi
Warga Depok, pemerhati sosial ekonomi
Alumnus Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia