Oleh: Mustikawati Tamher, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Belakangan ini masyarakat sedang ramai membicarakan isu kenaikan PPN. Pemerintah resmi menerapkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen per 1 Januari 2025 sesuai Undang-undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Bahkan kalangan Mahasiswa melakukan aksi demo atas kebijakan ini.
Sebagaimana yang dilansir kontan.co.id (30/12/2024), sejumlah elemen masyarakat mulai turun ke jalan menolak kenaikan tarif Pajak pertambahan Nilai (PPN) 12% yang berlaku pada 1 Januari 2025. Barang apa saja yang akan dipungut PPN 12%? Lalu apa dampak PPN 12% bagi masyarakat?
Penolakan PPN 12% salah satunya dilakukan oleh mahasiswa, yakni aliansi mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (SI) menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan PPN 12% di samping Patung Arjuna Wijaya, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat, 27 Desember 202 (Kompas.com, 27/12/2024).
Reaksi tersebut menunjukkan kebijakan pemerintah sangat berat karena gagal menyejahterakan rakyat, yang ada malah menambah beban bagi rakyat. Pasalnya, dalam sistem yang diterapkan saat ini, yaitu kapitalisme, pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara. Karena itu, pajak merupakan sesuatu yang pasti akan dibebankan pada rakyat, begitu pula kenaikan dan beragam jenis pungutan pajak akan selalu terjadi dalam sistem ini.
Dalam kata lain rakyat membiayai sendiri akan berbagai layanan yang dibutuhkannya. Artinya, negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Dan dalam sistem kapitalisme negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, melayani kepentingan para pemilik modal. Rakyat biasa akan terabaikan. Rakyat pun menjadi sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat ‘wajib’ sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara.
Pungutan pajak jelas menyengsarakan, karena pungutan itu tidak memandang kondisi rakyat. Mirisnya, banyak kebijakan pajak yang memberi keringanan pada para pengusaha dengan alasan untuk meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar. Asumsinya investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaaat untuk rakyat. Padahal faktanya tidak seperti itu. Faktanya sampai saat ini rakyat masih sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Wajib pajak akan menambah beban pengeluaran rumah tangga. Kenaikan pajak tidak diimbangi dengan kenaikan upah minimum. Biaya Produksi bagi para UMKM akan menjadi lebih tinggi, dan harga jual pun otomatis akan naik. Daya beli masyarakat pun akan sangat berkurang. Masyarakat tentu akan mendahulukan penghasilannya untuk kebutuhan pokok, yang mana terkadang penghasilannya pun tidak bisa memenuhi segala kebutuhan. Artinya hal tersebut akan memengaruhi perputaran ekonomi di negara ini.
Padahal dalam Islam pemerintah berperan sebagai pengurus rakyat. Tak hanya itu, penguasa juga harus memiliki sifat amanah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surah an-Nisa ayat 58 yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menunaikan amanat kepada pemiliknya. Dan Dia menyuruh kalian, apabila kalian memutuskan perkara di antara manusia dalam semua urusan mereka, maka putuskanlah perkara mereka dengan adil, jangan memihak atau zalim dalam memutuskan. Sesungguhnya Allah mengingatkan dan memberi bimbingan yang sebaik-baiknya ke arahnya (menjaga amanat) dalam setiap kondisi kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar ucapan-ucapan kalian dan Maha Melihat perbuatan-perbuatan kalian.
Sebenarnya, persolan PPN ini sangat berkaitan dengan sistem ekonomi. Dalam sistem ekonomi Islam ada asas kepemilikan negara. Kepemilikan negara, yaitu harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim. Pengaturan distribusi dari harta kekayaan diserahkan kepada kepala negara. Yang termasuk kepemilikan negara yaitu zakat, pajak dari kafir dzimmi (jizyah), pajak dari tanah taklukan (kharaz), ghanimah, harta orang-orang murtad, serta harta orang orang yang tidak memiliki ahli waris. Dari sini sangat jelas bahwa dalam islam tidak ada pungutan wajib pajak kepada rakyat.
Islam memandang pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, itu pun hanya dalam kondisi tertentu, dan hanya pada kalangan tertentu. Islam memiliki sumber pendapatan yang banyak dan beragam. Dan dengan pengaturan sistem politik dan ekonomi Islam, khilafah akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu.
Islam adalah metode kehidupan yang sempurna. Islam bukan saja agama yang mengurusi urusan ruhiah, namun juga masalah politik. Politik Islam bermakna pengaturan urusan umat dengan aturan-aturan Islam. Politik adalah unsur terpenting dalam Islam. Peduli dan sibuk terhadap kepentingan umat merupakan kewajiban terbesar kaum Muslim.
Dalam ekonomi Islam juga ada kepemilikan umum, yaitu benda-benda yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti barang tambang dan hasil hutan. Sebagaimana yang diterangkan dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Kaum Muslim bersekutu dalam hal: yaitu air,padang rumput dan api (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah).
Dalam kepemilikan umum ini, negara boleh mengelola dan mengatur pemanfaatannya. Hasil pengelolaan ini harus dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk fasilitas umum seperti pembangunan jalan raya, pembiayaan sekolah dan rumah sakit.
Hal ini akan terwujud dalam naungan Khilafah yang akan menerapkan sistem Islam. Dengan demikian kebutuhan rakyat akan sangat terjamin, dan tidak akan terbebankan dengan berbagai pungutan. Karena Islam juga menetapkan penguasa sebagai ra’iin dan junnah, dan mengharamkan penguasa untuk menyentuh harta rakyat. Penguasa yang adil dan amanah akan memberikan pelayanan terbaik yang akan memudahkan hidup rakyat. []