Ketika Para Seniman Masuk dalam Panggung Politik

Ketika Para Seniman Masuk dalam Panggung Politik

Oleh Lalik Kongkar, Pemerhati Sosial

Perubahan, kekal dan seringkali menuai kontroversi. Namun tanpa perubahan, manusia sepertinya tidak akan berkembang dan tetap berjalan mengikuti jejak-jejak mati. Bukannya tak mungkin umat manusia nantinya hanya berkutat pada hari yang begitu-begitu saja dengan hal yang sama terus-menerus.

Bacaan Lainnya

Dari sebagian anggapan seniman yang memasuki kawasan politik adalah hal yang tidak sepantasnya, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka tidak mendapat celah sedikitpun untuk menjadi bagian partai politik. Sah-sah saja seorang seniman masuk kedalam ranah politik, pasalnya seniman memang sangat dekat dengan politik.

Setiap insan memerlukan perubahan dalam hidupnya, bahkan yang paling kreatif sekalipun. Di dunia ini, sebut saja orang-orang kreatif itu sebagai seniman. Biasanya, apa yang dilakukan para seniman itu luar biasa. Menggaet banyak ‘pengikut’ melalui karya-karyanya yang hampir semuanya spektakuler. Selalu saja ada hal baru yang dibuat oleh mereka dan menjadi tontonan orang banyak. Selain berperan sebagai tokoh, seniman juga acapkali disebut-sebut sebagai pengamat sosial yang mengkritik kejadian-kejadian tak normal di sekitarnya dengan membuat sebuah atau beberapa karya yang memengaruhi orang-orang untuk ikut melihat dan menilai keadaan. Hebatnya lagi, para pakar kreatif ini selalu menghasilkan karya yang bersifat membela rakyat dan atau menyadarkan banyak orang untuk selalu berpikir jernih.

Banyak cara yang diusahakan para seniman untuk memperjuangkan teriakannya agar setidaknya didengar dan direalisasikan, namun seringkali gagal dan hanya ditanggapi sebatas angin lalu. Saban hari, karya saja tidak cukup. Saban tahun, perubahan pun muncul. Merasa bosan karyanya kurang diperhatikan, maka kini seniman pun memulai aksinya ke tingkat yang lebih tinggi. Dari yang sebagai seniman asal rakyat biasa, menuju seniman berwujud pejabat pemegang kekuasaan. Mungkin terdengar sedikit menyeramkan. Pemegang kekuasaan. Dua kata tersebut selama ini mendefinisikan kehidupan politik Indonesia yang kotor.

Siapapun yang menjalaninya akan menjadi kotor. Kotor dalam artian banyak hal tentunya, dan kata orang, sudah pasti tidak baik. Imajinasi semu seperti itulah yang kerap diterima masyarakat sehingga muncul paradigma bahwa lebih baik tidak berurusan dengan hal-hal yang berbau politik. Namun jika tidak ada yang mau berurusan dengan politik, negara Indonesia hanya akan berjalan di tempat. Maka, mereka yang berkemampuan dan berani menanggung harapan orang banyaklah yang harus maju mengisi kursi-kursi kosong di atas, tidak terkecuali para seniman.

Sudah hal yang biasa pada zaman modern ini, seniman menginjakkan kakinya pada panggung politik. Dari yang selama ini hanya berjalan di tanah kehidupan, mengaiskepercayaan orang dari sebuah karya, kini memberanikan diri menyodorkan harapan besar untuk orang banyak melalui tingkatan yang lebih tinggi yang entah itu tanpa melupakan identitasnya sebagai seniman atau sebaliknya. Trend seniman menjadi bagian dari partai politik ini jelas menuai banyak pendapat, kritik, dan kontroversi. Masih banyak yang berseru; para seniman tidak cocok berada dalam kawasan politik karena hanya bersifat semu. Banyak partai yang meminang seniman layaknya artis top untuk menggaet popularitas dan meningkatkan elektoral partainya.

Sah saja kalau mampu, kalau tidak, hanya akan jadi badut politik. Ada juga kabar burung yang mengatakan seniman yang berpolitik sudah bukan seorang seniman yang berkualitas lagi karena akan susah menggunakan jiwa seni nya dalam berpolitik. Bayangkan, dari awalnya ingin membela rakyat dengan membangkitkan rasa berbudaya dan kesenian, ujung-ujungnya jadi capek sendiri dan kalah dalam persaingan antar individu saat berpolitik.

Pos terkait