Tingkat Perceraian di Indonesia berdasarkan data 2023
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika (BPS) dan pengadilan Agama, kitab bisa melihat gambaran lengkap tentang factor-faktor yang berkontribusi terhadap kehancuran perrnikahan di Indonesia.
Pada tahun 2023, jumlah kasus perceraian mencapai 463.654 kasus, mengalami penurunnan sebesar 10,2% dibandingkan sebelumnya yang mencapai 516.344 kasus. Penurunan ini merupakan yang pertama sejak pandemi Covid-19. Jawa Barat menjadi provinsi dengan tingkat perceraian tertinggi, mencatat 102.280 kasus, disusul oleh Jawa Timur (88.213 kasus) dan Jawa Tengah (76.367 kasus).
Mayoritas perceraian diajukan oleh pihak istri (cerai gugat) sebanyak 76% dari total perceraian, dengan 352.403 kasus, sedangkan cerai talak (diajukan oleh suami) sebanyak 111.251 kasus. Berdasarkan data BPS dan survey nssional, alasan utama perceraian pada tahun 2023 adalah perselisihan dan pertengkaran berkepanjangan, dengan 251.800 kasus.
Hal ini menunjukan bahwa ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif menjadi pemicu terbesar dari perceraian. Masalah Ekonomi menempati posisi kedua, dengan 108.400 kasus, mencereminkan tekanan finansial yang dihadapi banyak pasangan. Alasan lain termasuk : meninggalkan pasangan (34.300 kasus), Kekerassan dalam rumah tangga (5.100 kasus), Masalah lain, seperti mabuk,judi, dan perselingkuhan.
Peran Pengadilan Agama dalam Perceraian
Pengadilan Agama berperan besar dalam menyelesaikan kasus perceraian di Indonesia, khususnya bagi pasangan muslim. Proses perceraian di pengadilan biasanya dimulai dengan mediasi, meskipun dalam banyak kasus, mediasi gagal dan perceraian tetap diputuskan. Cerai gugat yang lebih banyak diajukan oleh istri, mendominasi perceraian di Indonesia.
Tingkat Perceraian Berdasarkan Pendidikan
Data menunjukkan bahwa pasangan dengan Pendidikan rendah (SD dan SMP) cenderung lebih rentan bercerai. Tingkat perceraian menurun pada pasangan yang memiliki Pendidikan lebih tinggi (SMA dan Perguruan Tinggi), meskipun faktor lain seperti karier dan komunikasi tetap berperan dalam pemecahan pernikahan. Pasangan dengan Pendidikan tinggi biasanya lebih mampu menghadapi tekanan ekonomi dan sosial.
Faktor Usia dalam Perceraian
Usia menikah juga memengaruhi kelanggengan pernikahan. Pasangan yang menikah di bawah usia 20 tahun memiliki resiko perceraian yang jauh lebih tinggi, sering kali karena ketidakmatangan emosional dan ketidakstabilan finansial. Kelompok usia 20-30 tahunn dalah yang paling sering mengalami perceraian, sementara pasangan yang menikah di atas usia 40 tahun biasanya bercerai karena ketidakcocokkan atau masalah yang baru muncul.
Peran Fikih Prioritas (Hajat jangka Panjang yang pasti sebelum hajat saat ini yang tidak pasti)
Memprioritaskan kebutuhan jangka panjang yang sudah pasti lebih baik daripada memprioritaskan kebutuhan saat ini yang belum pasti dan terbatas.
Maksudnya adalah jika ada beberapa pilihan kepentingan (kebutuhan) yang salah satunya merupakan kebutuhan (maslahat) jangka panjang yang pasti, sedangkan lainnya adalah kebutuhan jangka pendek yang tidak pasti, prioritasnya adalah kebutuhan jangka panjang yang terlebih dahulu ditunaikan.
Kepentingan (kebutuhan) tersebut belaku umum, baik dalam ruang lingkup individu, keluarga. Pasti atau tidak pasti mengenai kebutuhan tersebut dapat diketahui dari data, informasi, serta pengalaman. Kepentingan tersebut berbasis data, informasi, dan pengalaman yang menyimpulkan bahwa kepentingan yang dimaksud bersifat pasti sedangkan pilihan lain tidak berdasarkan data atau informasi yang tidak valid.
Jika ada beberapa pilihan kepentingan (kebutuhan) yang memiliki maslahat jangka panjang dan maslahat jangka pendek, prioritasnya adalah maslahat jangka panjang.
Contohnya yaitu ketika seseorang sudah di fase ingin menikah, alangkah baiknya dia sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk memasuki jenjang pernikahan. Misalnya dari segi finansial agar nantinya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan ketika sudah menikah, seperti tidak bisa menafkahi istri dan anak-anaknya kelak.
Pastinya untuk menghindari hal tersebut seseorang hendaknya belajar memahami tentang finansial sebelum dia memasuki fase pernikahan. Sudah mulai belajar untuk berinvestasi dan menabung sejak dini (di fase remaja), dan memilah hal yang menjadi hajat jangka panjang (prioritas) untuk kedepannya, agar nantinya ketika sudah menikah dia sudah siap secara materi dan finansial.
Farhan Syardhi, STEI SEBI