DEPOKPOS – Anak kecil hanyalah seonggok daging sampai ia belajar mengungkapkan perasaan dan kebutuhannya melalui tangisan, tentangan, atau senyuman. Segera setelah ia berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, terbentuklah perlahan-lahan apa yang kita sebut kepribadian. Bagaimana menafsirkan pesan yang disampaikan orang lain dan bagaimana ia menyampaikan perasaannya kepada orang lain, menentukan kepribadiannya (Jalaludin Rakhmat, 2012).
Kepribadian setiap orang pastinya berbeda, karena itulah sudah tak heran lagi jika terjadi adanya perselisihan satu sama lain. Jika perselihan kecil mungkin bisa diselesaikan dengan cepat, namun ada pula perselisihan yang meninggalkan bekas pada psikologis seseorang. Dari sinilah dimulai perubahan dalam berkomunikasi.
Psikologis adalah bagian dari manusia yang memengaruhi emosi, pikiran, hingga cara kerja otak (Anugerah Ayu Sendari, 2020). Keadaan psikologis seseorang sangat penting apalagi dalam hal komunikasi, kasus-kasus seperti trust issue, trauma emosional, kecemasan sosial, trauma pribadi, persepsi diri yang rendah, dan kasus-kasus lain yang disebabkan oleh psikologis akan sangat berpengaruh dalam berkomunikasi. Hal ini sering terjadi pada remaja rentang usia 13-20 tahun, dan penyebabnya sendiri biasanya berasal dari orang terdekat seperti keluarga dan teman.
Terdapat beberapa contoh yang sering ditemui di sekitar, mungkin ada yang memiliki teman atau bahkan diri sendiri yang tanpa sadar melakukan ini. Pertama, ketika seseorang pernah memiliki kasus dalam hal ”kesalahpahaman” maka orang itu cenderung akan berbicara lebih banyak bahkan sampai membahas yang tidak perlu, jawaban yang seharusnya bisa diselesaikan dalam beberapa kalimat saja justru menjadi sangat panjang. Alasannya karena tidak ingin kejadian kesalahpahaman yang lalu terulang lagi. Kedua, menjadi pasif dan tidak tertarik untuk berbicara lagi ketika perkataannya sering dipotong. Orang tersebut pasti merasa perkatannya akan dipotong lagi di kesempatan berikutnya dan merasa perkataannya tidak penting. Ketiga, selalu meminta maaf bahkan sampai berlebihan karena pernah memiliki masalah dengan hubungan sebelumnya yang selalu menyalahkan hingga tanpa sadar jadi reflek meminta maaf dengan harapan orang yang dituju tidak marah ataupun menjauhinya. Dan yang keempat, ketika seseorang berada dalam lingkungan di mana selalu tidak diizinkan berpendapat maka dia akan terus terbawa oleh kejadian itu hingga ke lingkungan baru. Sampai akhirnya berdampak pada komunikasinya, dia akan cenderung ragu untuk mengeluarkan pendapat karena takut apa yang disampaikannya salah atau bahkan lebih parahnya tidak mengeluarkan pendapat lagi.
Contoh di atas hanyalah beberapa kasus saja, masih banyak kasus lainnya yang lebih parah lagi. Psikologis memang seberpengaruh itu dalam berkomunikasi, bahkan pernah ada yang mengatakan saat kepala banyak pikiran dan tubuh sakit maka obati masalah pikiran di kepala lebih dulu dibandingkan mengobati tubuh, karena sakit yang tidak terlihat justru yang berbahaya dan akan mempengaruhi segalanya. Sama saja dengan psikologis dan komunikasi, sebelum mengatasi masalah komunikasi atasi lebih dulu masalah psikologis yang menjadi penyebabnya.
Jika bertemu orang yang memiliki permasalahan dalam komunikasi diperlukan kesabaran yang besar karena orang itu pasti sedang berusaha keras melawan dirinya sendiri jadi sebagai lawan bicara juga harus memahami dan membantu secara perlahan. Menyembuhkan psikologis tidaklah mudah, butuh waktu yang lama bahkan bisa sampai bertahun-tahun. Jadi sebagai orang terdekat harus terus menemani hingga masalah itu bisa teratasi. Jika sudah menyelesaikan masalah barulah mulai memperbaiki dalam hal komunikasi sesuai dengan permasalahannya masing-masing.
Jadi, jika ingin memperbaiki komunikasi maka atasi lebih dulu masalah psikologis diri, kalau memperbaiki komunikasi dalam keadaan psikologis yang masih belum sembuh maka percuma saja karena hal itu hanya akan sia-sia. Hadapi bukan hindari.
Thyas Auralia