Amnesia Budaya sebagai Gejala Krisis dalam Kebudayaan Indonesia Masa Kini

Amnesia Budaya sebagai Gejala Krisis dalam Kebudayaan Indonesia Masa Kini

Amnesia Budaya

Amnesia merupakan istilah yang diambil dari bidang kedokteran. Secara singkatnya amnesia berarti kehilangan memori, baik ke belakang (retrograde) maupun menghubungkan masa depan dengan masa lalu (anterograde). Apabila amnesia itu dialami oleh perseorangan, dampaknya hanya akan terjadi pada diri orang itu. Akan tetapi apabila amnesia dialami oleh suatu masyarakat, maka masyarakat itu berarti melupakan ingatan masa lalu atau sejarah dan akibatnya juga akan kehilangan kemampuan untuk melihat masa depan yang mestinya harus didasari oleh pengetahuan tentang masa lalu. Maka dari itu amnesia tidak sekedar hanya melupakan atau hilang ingatan, melainkan tidak memahami makna sesuatu yang ada di luar dirinya atau memahami secara beraneka ragam. Ini merupakan gejala “semiosis khaotis” (chaotic semiosis). Amnesia budaya dapat juga disebut sebagai “krisis semiosis”. Apabila disertai dengan krisis di bidang kehidupan lainnya, amnesia budaya merupakan salah satu gejala dalam krisis budaya.

Krisis budaya berarti terjadinya perubahan yang cepat dalam aspek kehidupan sosial budaya yang berpotensi akan membahayakan masa depan masyarakat. Dalam konteks ini gejala krisis yang terjadi adalah “mulai terlupakannya berbagai peristiwa sejarah dan kearifan lokal yang telah membuat negara dan bangsa Indonesia bereksistensi dan dihormati oleh dunia luar. Dalam situasi ini perkembangan konsumerisme simbolis dan hedonisme, makin terlihat adanya gejala amnesia budaya.

Masyarakat Indonesia dalam Sejarah merupakan bagian masyarakat budaya Nusantara. Budaya Nusantara merupakan kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional Nusantara dan sebagai perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa. Mudahnya ini merupakan budaya yang tumbuh dan berkembang sejak zaman dahulu dan masih menjadi warisan bagi generasi muda sekarang.

BACA JUGA:  Bullying Mengubah Kepribadian Seseorang

Sejak abad keempat (masuknya Hindu, Budha, Islam, dan Kristen kita sudah mengalami gejala yang sekarang disebut “globalisasi”. Pada abad ke-20 dan ke-21, arus globalisasi berlangsung dengan kecepatan yang sangat tinggi dan memberikan dampak pengaruh yang lebih luas dan lebih dalam pada kehidupan Masyarakat kita. Globalisasi ekonomi yang kemudian diikuti dengan globalisasi budaya telah membawa kita pada kehidupan pasca modern yang ditandai oleh dominasi media dan konsumerisme (cf Baudrillard 1988. Namun globalisasi tidak dapat dibendung, jadi bagaimana sikap kita dalam globalisasi dengan menyaring dan menerapkan hal-hal yang baik. Kita harus bisa membedakan mana yang baik dan buruk karena akan berdampak kedepannya. Terutama budaya, jangan sampai warisan budaya kita tergerus dan menghilang atau kita tidak dapat melihat masa depan karena kita saja tidak memiliki pengetahuan tentang masa lalu.

Bangsa Indonesia tidak hanya mampu menyerap, melainkan sekaligus mengolah arus kebudayaan sehingga menjadi milik sendiri tanpa kehilangan akarnya. Seakan kita sudah memiliki epitisme, yakni “toleransi” dan “kemampuan beradaptasi”. Dewasa ini, warisan budaya yang sangat berharga itu cenderung dilupakan. Istilah toleransi sering sekali diucapkan, tetapi makin kurang dipahami maknanya dan bahkan praktik sosial sejauh ini memperlihatkan berbagai tindakan yang justru tidak toleran. Tawuran antar kaum, baik yang berlatar suku bangsa, agama, dan kelompok kepentingan yang lain (termasuk mahasiswa dan pelajar) makin sering terjadi. Kericuhan yang cenderung tidak menghargai esensi demokrasi antar elit politik juga sedang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. “adaptasi” sering masih pada tahap meniru.

Maka dari itu sangat penting bagi bangsa kita untuk tidak mengalami amnesia budaya, yakni lupa akan warisan budaya kita Indonesia. Sayangnya amnesia budaya sudah terjadi dan karenanya perlu “diobati”. Upaya mengobati amnesia dengan “mengelola arus globalisasi dengan arif dan cendekia”. Dalam upaya ini kita perlu mengenali dan memahami kearifan lokal yang tersimpan dalam lubuk budaya kita. Hal ini seharusnya menjadi bagian dari strategi kebudayaan kita.

BACA JUGA:  Pohon Centella Tanaman Multiguna

Masyarakat saat ini seakan lupa atau tidak tahu bahwa kehidupan masa kini itu dibangun di atas endapan budaya masa lalu. Ini merupakan perjalanan sejarah yang panjang dan tidak selalu mulus, dengan banyak pengorbanan dari mereka yang terlibat yang kini menjadi sejarah. Kita bisa menelusuri sejarah sejak sebelum kedatangan Hindu, Islam, dan Kristen ke Nusantara, di mana dasar toleransi dan keterbukaan terhadap budaya lain sudah ada sejak abad keempat. Agama-agama besar tersebut menyatu dengan sistem kepercayaan lokal, menciptakan budaya baru yang lebih maju. Keragaman budaya telah menjadi kenyataan hidup selama berabad-abad.

Tonggak Budaya

Pemahaman tentang berbagai tonggak budaya yang menghubungkan kita dengan masa lalu terlihat semakin melemah, sehingga generasi sekarang saat ini sulit menempatkan dirinya dalam konteks Sejarah yang pada kaitannya berhubungan dengan masa lalu. Hal ini mencerminkan amnesia retrograde dan anterograde. Dalam keadaan tersebut, generasi baru mencari simbol-simbol baru dengan mengacu pada tokoh-tokoh budaya kontemporer seperti Lady Gaga, Taylor Swift J.Lo, Obama, Osama, dan K-Pop. Upaya ini dilakukan tanpa memanfaatkan warisan budaya masa lalu sebagai pegangan untuk melangkah ke depan, sehingga berpotensi menghambat perjalanan bangsa menuju kehidupan yang bermartabat. Kita perlu menyadari bahwa keragaman budaya yang telah ada sejak lama merupakan landasan penting untuk membangun identitas dan arah masa depan yang lebih baik.

Amnesia budaya merupakan gejala (me)lupa(kan) Sejarah sehingga generasi baru kita lupa bahwa bangsa ini dibangun oleh para pendahulu kita dari Masyarakat yang berserakan menjadi bangsa yang mempunyai negara, bendera, lagu kebangsaan dan undang-undang dasar. Kemerdekaan Indonesia ini tercipta dalam Sejarah yang teramat panjang, dengan pengorbanan yang tak terlukiskan dan perjuangan para pahlawan yang pantang menyerah walaupun berlumuran dara. Rentetan peristiwa dan tragedy masa-masa penjajahan adalah sebuah kenangan pahit namun dengan begitu, telah melahirkan pejuang dan pahlawan yang rela berkorban. Amnesia budaya merupakan gejala kehilangan “lanjutan ingatan kolektif” dan sekaligus mengalami “kekacauan makna” dalam kehidupan sosial budaya bangsa kita.

BACA JUGA:  Kota Pancasila Mewujudkan Cita-cita Bangsa di Bumi Flores

Berbagai tonggak budaya yang terdapat di negeri kita Indonesia tercinta ini menjadi kehilangan makna. Kehilangan makna ini merupakan gejala amnesia budaya yang dapat “membahayakan bangsa”. Warga kehilangan “koordinat” dalam meneruskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, hukum alam menentukan bahwa pemimpin dan elit politik yang sekarang akan digantikan oleh generasi penerusnya. Secara logis dan nalar, mereka akan digantikan oleh kelas menengah usia muda masa kini. Dewasa ini krisis makna itu sudah dapat dirasakan dan sudah waktunya elit politik melupakan perseteruan mereka untuk melakukan Upaya anchorage agar amnesia budaya tidak berkepanjangan.

Kalau tidak melakukan sesuatu, generasi penerus kita akan menjadi generasi yang tidak akan memiliki koordinat untuk meneruskan kehidupan bangs aini. Namun perlu dicatat bahwa upaya anchorage bukan indoktrinasi. Anchorage merupakan Upaya “mengingatkan”akan eksistensi dan makna dari berbagai tonggak budaya. Seperti pada peristiwa atau apabila kita berbicara mengenai Pancasila, Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan 1945, para pahlawan, Bahasa Indonesia dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa tonggak-tonggak budaya yang lain tidak penting.

Zahra Julyana Putri Prabowo
D3 Komunikasi Terapan
Universitas Sebelas Maret

Ingin produk, bisnis atau agenda Anda diliput dan tayang di DepokPos? Silahkan kontak melalui email [email protected]

Pos terkait