Oleh: TB. Kusai Murroh, S.Pd., S.H., M.H.
Akademisi dan Penasehat Hukum LPPH-BPPKB Banten
Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Bekasi Kota telah menangkap 30 tersangka kasus tawuran terhitung sejak Februari 2024 sampai Mei 2024. Dari total tersangka, 15 di antaranya berusia di bawah 17 tahun. Dari puluhan orang yang ditangkap tersebut, polisi turut menyita 15 senjata tajam, antara lain delapan bilah celurit, tiga bilah corbek, satu bilah pedang, satu bilah mandau, dan dua bilah golok (Radar Bekasi, 17/7/2024).
Tawuran antarpelajar memang menjadi fenomena kenakalan remaja (juvenile delinquency) yang cukup mengkhawatirkan belakangan ini. Aksi tersebut merupakan tindakan melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan, baik terhadap remaja yang terlibat tawuran maupun orang lain. Banyak pihak menilai bahwa aksi tawuran dan bentuk kenakalan remaja lainnya menjadi bukti kegagalan lembaga pendidikan dalam menanamkan karakter pada peserta didik.
Ditinjau dari sisi kriminologi tawuran merupakan perbuatan yang masuk dalam kategori melanggar hukum. Hal tersebut bisa dilihat dari niatan tawuran yang bertujuan untuk mempersekusi pihak lawan, baik verbal maupun lisan, baik fisik maupun psikis. Selain itu, tawuran dapat menimbulkan kemacetan lalu lintas, kerusakan sarana umum, bahkan bisa mengakibatkan kerugian pihak lain (Ivana dan Warka, 2023).
Berbagai kenakalan remaja mesti menjadi perhatian bersama karena hal itu merupakan ancaman degradasi moral bagi generasi muda yang sudah jelas di depan kita. Kita lihat bagaimana saat ini akhlak generasi penerus bangsa sungguh sangat memprihatinkan. Berbagai tindakan kriminal, asusila, dan kurangnya kepedulian sosial di kalangan generas muda semakin nyata.
Tentu, banyak faktor yang menyebabkan generasi muda terlibat dalam aksi tawuran, seperti persaingan suporter, balap liar dan berebut pacar. Bahkan, belakangan ini motif tawuran antarpelajar karena saling ejek di media sosial. Media sosial yang semestinya dijadikan sebagai media untuk bertukar gagasan dan mengembangkan kreativitas agar lebih berprestasi justru digunakan oleh sebagian remaja untuk mempersekusi pengguna lain.
Fenomena kenakalan remaja akhir-akhir ini sudah berada pada tahap yang sangat mengkhawatirkan. Padahal sebagai generasi penerus bangsa, para pelajar merupakan kelompok yang memiliki potensi dan vitalitas untuk membawa bangsa ini menjadi lebih maju. Sayangnya, berbagai aksi kenakalan remaja seakan menjadi potret buram generasi bangsa saat ini.
Penguatan Pendidikan Karakter
Kenakalan remaja merupakan persoalan klasik yang belum terselesaikan dan selalu menjadi pemberitaan di berbagai media sosial. Parahnya lagi, kenakalan remaja sudah menjadi perbuatan kriminal, seperti tawuran yang sering kali menimbulkan korban jiwa. Karenanya, masalah ini perlu dicarikan solusi agar tidak terus terjadi dan remaja sebagai calon pemimpin bangsa dapat berkontribusi bagi pembangunan bangsa ke depan.
Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir kenakalan remaja adalah dengan penguatan pendidikan karakter. Pendidikan karakter perlu ditanamkan sejak dini agar kelak anak-anak kita tumbuh menjadi generasi yang berakhlak mulia. Penanaman karakter atau akhlak ini menjadi misi utama diutusnya Nabi Muhammad Saw sebagaimana dalam sebuah hadits: Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak (HR. Bukhari).
Penguatan pendidikan karakter sangat penting terutama di era kemajuan teknologi yang memiliki berbagai dampak buruk bagi moral generasi bangsa. Saat ini masalah moral sudah menjadi penyakit kronis yang akan selalu menyertai perjalanan hidup ini. Karenanya, pembangunan karakter bangsa menjadi sebuah keharusan yang tidak boleh ditawar-tawar.
Menurut Firdaus (2016) ada tiga alasan membangun karakter bangsa menjadi penting. Pertama, bangsa Indonesia telah mengalami babak perkembangan yang dipengaruhi oleh kehidupan global dan dikenal dengan era disrupsi yang sangat berpengaruh pada tatanan kehidupan masyarakat. Kedua, dari sisi mentalitas, bangsa Indonesia masih perlu membenahi diri. Ketiga, secara bersamaan, bangsa ini memasuki era informasi sekaligus era reformasi. Era ini membawa perubahan yang sangat drastis pada atmosfer politik bangsa dengan kebebasan berpendapat yang jauh berbeda dengan era sebelumnya.
Melalui pendidikan karakter diharapkan generasi muda mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Penguatan pendidikkan karakter ini perlu melibatkan berbagai pihak. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat harus bergandengan tangan dalam upaya menanamkan karakter. Tanpa kerja sama yang solid sangat mustahil penanaman karakter itu akan berhasil. Di tingkat pemerintah perlu didesain kebijakan di sektor pendidikan tidak sekadar mementingkan aspek kognitif, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah pengembangan aspek afektif siswa. Dengan begitu, lembaga pendidikan akan mempu mencetak generasi bangsa yang cerdas secara intelektual sekaligus memiliki akhlak mulia. Dalam konteks ini, pihak sekolah harus menyeleksi secara ketat agar terpilih guru yang benar-benar menjadi pendidik bukan hanya pengajar.
“Al-ummu madrasatul ula, wal abu mudiruha”—ibu adalah sekolah pertama bagi anak dan ayah adalah kepala sekolahnya. Ini menunjukkan bahwa peran orang tua sangat penting dalam tumbuh kembang anak. Orang tua memiliki kewajiban mendidik anak dengan akhlak mulia. Pendidikan semacam ini bisa melalui pengajaran agama, nilai-nilai moral, dan selalu memberikan perhatian kepada anak.
Terakhir, tokoh masyarakat juga perlu dilibatkan dalam penguatan pendidikan karakter. Tokoh-tokoh agama jangan hanya bisa berdakwah—mengajak manusia beribadah, tetapi harus ikut membentuk moral masyarakat, terutama generasi muda. Selain itu, aparat penegak hukum harus bersikap tegas dalam menangani berbagai tindakan anarkis yang melibatkan pelajar. Para pelajar yang jelas-jelas terlibat dalam aksi kekerasan perlu dibina dan diberikan sanksi sesuai aturan yang berlaku.
Akhirnya, pendidikan karakter atau nilai ini perlu dibarengi keteladanan dari seluruh komponen bangsa. Corak pendidikan nilai yang oleh Louis O. Kattsaff terdiri dari nilai intrinsik dan instrumental. Nilai intrinsik berasal dari ad-din, budaya, kepatuhan-kepatuhan yang hidup dan berkembang di masyarakat yang akhirnya terpilih sebagai nilai dasar. Maka dari itu, perlu revitalisasi pendidikan nilai dengan memperkuat pilihan nilai intrinsik ke dasar dan instrumental ke praksis yang dapat menghubungkan peradaban lokal ke peradaban modern serta penguatan perilaku positif yang didasarkan pada Pancasila di kalangan pelajar Indonesia.