DEPOKPOS – Pers dan kebebasan ibarat satu tarikan nafas. Kita tahu bahwasannya pers merupakan salah satu pilar penjaga demokrasi, kontribusi kebebasan pers dalam menjamin keberlangsungan demokrasi begitu sangat penting.
Sebagai sebuah media, pers tidak hanya sebagai media informasi, namun juga pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Fungsi strategis pers memang layak untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945.
Melihat polemik yang datang dari meja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), yang mana diam-diam merevisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi hal yang patut dicurigai. Pasalnya hal tersebut dianggap menghilangkan hak-hak kebebasan pers.
Walaupun hal tersebut ditepis oleh Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid, beliau mengatakan, “Tidak ada dan tidak pernah ada semangat ataupun niatan dari Komisi I DPR untuk mengecilkan peran pers” (Yozami, 2024). Dia mempertegas bahwa keberlangsungan media yang sehat adalah penting. Namun ucapan itu datang dari seorang politisi yang layak untuk dipertanyakan dan dipertimbangkan ulang, apakah revisi UU Penyiaran tidak membelenggu kebebasan pers, atau justru sebaliknya, yang akan mengacam kebebasan pers.
Melihat kondisi tersebut, mengingatkan saya tentang Totalitarianlisme. Menurut kamus Merriam Webster, Totalitarianisme ialah konsep politik dimana warga negara harus tunduk secara total kepada otoritas kekuasaan negara yang absolut (Asshiddiqie, 2022). Yang mana pemerintah memiliki kekuasaan penuh, sedangkan warga negara tidak memiliki kekausaan, kontrol ataupun kebebasan.
Menurut Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, terdapat tiga strategi yang biasa diterapkan oleh pemimpin otoriter yang dihasilkan oleh Pemilihan Umum untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dalam membunuh demokrasi, yaitu: menangkap para wasit, menyingkirkan para pemain kunci di pihak lawan dan mengubah aturan main agar bekerja untuk kepentingan otokrat.
Jika kita lihat yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini mengarah kepada tiga konsep tersebut. Yang pertema, terkait menangkap wasit, kita tahu bahwasannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang bermasalah sampai Ketua MK pada saat itu, Anwar Usman dicopot karena terbukti melanggar kode etik yang diputuskan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) merupakan sebuah fakta yang tidak terbantahkan.
Yang kedua, terkait dengan menyingkirkan para pemain kunci di pihak lawan, hal ini yang sedang dialami oleh insan pers saat ini dengan Merevisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Beberapa pasal yang dipertanyakan ialah terkait dengan larangan penayangan eksklusif jurnalisme investigasi, lebih dari itu revisi UU Penyiaran juga sangat berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Dewan Pers soal sengketa jurnalistik.
Misalnya Pasal 8A huruf (q) Revisi UU Penyiaran, yang mana menyebutkan bahwa, “Menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.” Artinya KPI mempunyai tugas dan wewenang dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik dibidang penyiaran. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan salah satu fungsi Dewan Pers adalah: “memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.” Tentu dengan adanya aturan baru dalam UU Penyiaran tersebut akan mengakibatkan masalah baru dalam penyelesaian sengketa pers.
Yang ketiga, mengubah aturan main agar bekerja untuk kepentingan otokrat, hal tersebut dapat kita lihat dalam Pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Dari sini terlihat bahwa upaya pemerintah dalam mengesahkan UU yang sebelumnya sudah dinyatakan inkonstitusional yang tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat, namun pada akhirnya pemerintah berhasil mengesahkan juga dengan berbagai cara.
Memang pada faktanya UU tersebut semakin menyengsarakan buruh, jika kita lihat dalam peraturan yang lama, UU Ketenagakerjaan Pasal 88 Ayat (3) terdiri dari 11 poin tentang pengupahan terhadap buruh. Namun dalam UU Cipta Kerja Pasal 88 Ayat (3) cuman menjadi 7 poin tentang pengupahan terhadap buruh. Poin-poin yang dihapus ialah: upah tidak masuk kerja karena berhalangan; upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; denda dan potongan upah; dan upah untuk pembayaran pesangon.
Hingga yang terbaru ialah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), yang semakin menyengsarakan masyarakat sebab setiap bulan masyarakat terkena potongan 2,5%, padahal kondisi daya beli masyarakat saat ini sedang lesu.
Proses perpindahan demokrasi ke arah apa yang dimaksud dengan totalitarianisme berlansung memang tidak dalam waktu yang singkat. Proses terjadinya memang secara sistematis, tersruktur dan senyap. Oleh sebab itu kita sebagai masyarakat harus sadar akan hal tersebut dan terus mengawasi pergerakan pemerintah.
Sebab jika apa yang ditakutkan insan pers saat ini terwujud dengan disahkannya Revisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Maka secara langsung hal tersebut akan melanggar hak masyarakat untuk memperoleh informasi dari berbagai sumber alternatif juga pelanggaran hak dalam menyatakan pendapat.
Jika kita melihat sejarah, konsep Totalitarianisme juga berusaha di impelementasikan di Amerika, dimana ketika Donald Trump terpilih menjadi Presiden ia justru membatasi akses Jurnalis saat berusaha meliput di Gedung Putih (BCC News Indonesia, 2018). Padahal sebelumnya Trump terkenal melalui media dengan sering mengkritik kebijakan pemerintah Amerika, namun sikap tersebut berbeda saat ia dilantik menjadi Presiden.
Juga yang terjadi di Jerman, dimana Hitler dengan partai Nazi yang terpilih dari sebuah sistem demokrasi, dalam pemilu parlemen pada Juli 1932, Nazi memenangkan 37 persen suara, yang adalah lebih banyak daripada yang diterima partai lain (Ensiklopedia Holocaust, 2023). Pada akhirnya Hitler dan para pemimpin Nazi lainnya menggunakan undang-undang yang ada untuk menghancurkan demokrasi Jerman dan menciptakan kediktatoran.
Hal tersebut yang seharusnya patut kita waspadai, Pemilihan Umum yang dikatakan paling demokratis namun ternyata dapat menciptakan diktator yang sangat kejam. Jika penjaga gerbang gagal dalam hal ini pers salah satunya, maka yang timbul ialah malapetaka sebagai akibatnya dikemudian hari, yang mana terjadi ketidakseimbangan antara apa yang diinginkan penguasa dan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
Oleh: M. Ikbar Nariswara