DEPOKPOS – Sarah, seorang siswi SMA, memulai hari dengan sarapan setangkup roti selai dan segelas jus jeruk karton literan yang ibunya beli di supermarket. Siangnya ia makan mie ayam ditemani es teh manis ternama dalam kemasan botol kaca.
Setelah makan malam, udara terasa pengap sehingga Sarah meminum soda berperisa rasa limun yang menyegarkan. Kehidupan Sarah yang tanpa sadar seringkali mengonsumsi minuman berpemaniss dalam kemasan (MBDK) tersebut juga menjadi kebiasaan normal yang dilakukan orang-orang lain dalam rentang umur yang berbeda-beda.
Kebiasaan yang tidak terlihat mengancam tersebut nyatanya dapat menimbulkan masalah dalam jangka panjang berupa penyakit tidak menular seperti diabetes.
Penyakit tidak menular (PTM) sendiri merupakan sekelompok penyakit kronis yang tidak secara langsung ditularkan dari satu orang ke orang lain, memiliki durasi yang lama, umumnya berkembang lambat, jarang dapat disembuhkan sepenuhnya.
PTM mampu menimbulkan beban signifikan pada individu, komunitas, dan sumber daya ekonomi (Dain K, 2018). PTM disebabkan oleh interaksi antara faktor-faktor genetik, fisiologis, lingkungan, dan perilaku. Menurut WHO (2023), terdapat dua faktor risiko PTM, yaitu faktor risiko metabolik berupa obesitas, tekanan darah tinggi, hiperglikemia (gula darah tinggi), dan hiperlipidemia.
Faktor risiko lainnya merupakan faktor risiko yang dapat diubah, seperti kurangnya aktivitas fisik, gaya hidup sedenter, diet tidak sehat, dll. Saat ini mungkin pembaca yang budiman sudah bisa menghubungkan benang merah mengenai keterkaitan MBDK dengan PTM.
Seringnya mengonsumsi MBDK berpotensi besar menyebabkan hiperglikemia dan/atau obesitas yang menjadi faktor risiko PTM.
Selain itu, konsumsi MBDK berkaitan dengan risiko berbagai penyakit tidak menular (PTM) lainnya, seperti kerusakan gigi, penyakit ginjal, defisiensi gizi mikro, kanker, stroke, gangguan psikologis (kecemasan, kurang tidur), dan gangguan perilaku pada anak-anak.
Dalam dua dekade terakhir, konsumsi MBDK di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan; dari 51 juta liter pada 1996 menjadi 780 juta liter pada tahun 2015. Indonesia menempati posisi ketiga dengan konsumsi MBDK terbanyak di Asia Tenggara pada tahun 2020 dengan jumlah konsumsi sebanyak 20,23 liter/orang/tahun.
Kondisi yang cukup mengkhawatirkan bagi dunia kesehatan yang bersangkut paut dengan PTM mengingat pada tahun 2017, BPJS Kesehatan harus membayar 14,4 triliun hanya untuk menangani kasus PTM.
Jika itu belum cukup membuat takut, studi permodelan yang dilakukan oleh Bloom, D. E., et al (2015) menunjukkan bahwa di Indonesia PTM akan mengakibatkan kerugian sekitar USD 4,47 triliun antara 2012-2030 yang disebabkan oleh penurunan pasokan dan produktivitas tenaga kerja, dan peningkatan pengeluaran untuk pengobatan pada sistem kesehatan.
Yang mana artinya di masa depan jika kita terus bersikap seperti ini akan lebih banyak masyarakat yang sakit sehingga produktivitasnya menurun dikarenakan penyakitnya dan/atau harus berobat. Bayangkan beban yang harus ditanggung oleh bidang kesehatan Indonesia, padahal kini saja kita sudah cukup keteteran.
Oleh karena itu diperlukan suatu sistem dimana terjadi pengurangan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dalam masyarakat kita. Ketersediaan yang terus meningkat, harga yang murah, dan kampanye pemasaran yang agresif, membuat konsumsi minuman berpemanis terus meningkat tajam.
Dikarenakan harga makanan dan minuman memengaruhi keputusan pembelian makanan sehari hari, pengenaan cukai dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengurangi konsumsi MBDK. Melalui penerapan cukai, pemerintah dapat menutup biaya langsung maupun tidak langsung yang timbul dari konsumsi MBDK yang berlebihan.
Pengadaan cukai pada MBDK juga direkomendasikan oleh UNICEF sebagai alat yang efektif untuk mencegah kelebihan berat badan dan PTM terkait pola makan, di samping langkah-langkah seperti pelabelan gizi pada bagian depan label kemasan (front-of-pack nutritional labels (FOPNL)) dan pembatasan pemasaran makanan yang tidak sehat.
Kira-kira produk yang dikenakan cukai dalam MBDK ini yang bagaimana? Menurut Harding, M., et al (2017) Cukai MBDK dapat dikenakan untuk a) semua produk dari jenis tertentu (yaitu semua minuman non-alkohol yang mengandung gula bebas dan pemanis buatan), atau b) berdasarkan kriteria kandungan gizi (misalnya produk yang mengandung ≥5g gula tambahan per 100ml).
Hal ini menjadikan minuman yang mengandung gula bebas seperti minuman ringan berkarbonasi maupun yang tidak berkarbonasi, jus dan minuman buah/sayuran, konsentrat cair dan bubuk, minuman beraroma, minuman energi dan olahraga, teh dan kopi instan, dan minuman susu rasa termasuk objek yang akan terkena cukai.
Tidak hanya sampai disitu, untuk menghindari substitusi ke produk minuman tanpa gula yang mengandung pemanis buatan, perlu dipertimbangkan juga memberikan cukai kepada produk-produk tersebut karena terdapat bukti bahwa minuman ini meningkatkan risiko dampak kesehatan yang merugikan (Russell, C. et al., 2021).
Meskipun mendapat banyak kecaman dari industri minuman maupun masyarakat, jika berkaca dari beberapa negara yang menjalani peraturan cukai MBDK, banyak yang berhasil menurunkan angka konsumsi MBDK maupun prevalensi PTM pada masyarakatnya. Diantaranya:
Cukai sebesar 10% pada MBDK memiliki efek positif secara keseluruhan pada penurunan penjualan, impor dan konsumsi sebesar 8-10% di beberapa negara seperti Chili, Hungaria, Meksiko, Arab SAudi, Thailand, Inggris, dsb. (Andreyeva, T., 2010; Teng, A. M., 2019)
Cukai 20% yang dikenakan terhadap MBDK telah terbukti mengurangi prevalensi kelebihan berat badan sebesar 1-3% dan prevalensi obesitas sebesar 1-4% dimana permodelan ini telah terjadi di Thailand. (Briggs, A. D. M., 2013; Phonsuk, P., 2021)
Cukai MBDK dapat secara signifikan mengurangi kasus diabetes tipe-2, penyakit jantung, stroke, dan kematian dini (Veerman, J. L., 2016)
Cukai MBDK menghasilkan peningkatan pendapatan pemerintah secara substansial seperti Hungaria (HUF 61,3 miliar, atau US$ 218 juta) dan Meksiko (USD 1,2 miliar selama tahun pertama). Dalam skenario praktik terbaik, dana ini dialokasikan untuk program kesehatan dan sosial masyarakat. Sementara itu, tidak ada bukti dampak negatif terhadap pekerjaan yang ditemukan terkait cukai MBDK yang diterapkan di Chili dan Meksiko (Carriedo, A. 2021; Kreiger, J., 2021)
Lalu kenapa hal ini masih kembali ditunda padahal Kemenkeu sudah mengkaji mekanisme cukai MBDK bersama Kementerian Kesehatan sejak tahun 2019? Terdapat beberapa alasan seperti kondisi perekonomian nasional yang belum kian pulih setelah pandemi Covid-19, hingga dianggap perlunya perundangan PP tersendiri terkait cukai MBDK sehingga peraturan tersebut bisa dilaksanakan.
Apapun alasannya, sejauh ini PTM merupakan masalah yang tidak akan terselesaikan dengan sendirinya tanpa intervensi dari pemerintah.
Penulis
Carissa Izzati Fidela dan Jauza Nawal Hadi
Universitas Indonesia