Anemia Gizi Besi: Faktor Risiko, Dampak, dan Manajemen
- PENDAHULUAN
Zat besi sangatlah dibutuhkan dalam pembuatan heme, zat prostetik pada hemoglobin (Miller 2013). Kekurangan zat besi dapat mengganggu sintesis hemoglobin dan proses eritropoiesis sehingga konsentrasinya berkurang (Richard and Verdier 2020). Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah hemoglobin dan penurunan jumlah sel darah merah sehingga pemenuhan oksigen jaringan terganggu (Chaparo dan Suchdev 2019). Anemia yang disebabkan oleh defisiensi zat besi disebut anemia gizi besi (AGB). Adapun defisiensi zat besi merupakan penyebab paling umum dari kejadian anemia. Sebesar 60% dari kejadian anemia di dunia tercatat sebagai anemia gizi besi (AGB) (Murray et al. 2012). Penelitian yang dilakukan di Asia Selatan dan Asia Tenggara menemukan bahwa lebih dari setengah populasi wanita usia subur mengalami AGB (Sunuwar et al. 2020).
Gejala yang dirasakan oleh pasien AGB merupakan manifestasi dari terganggunya proses pengangkutan oksigen yang diekspresikan dalam bentuk kelemahan, kelelahan, kesulitan berkonsentrasi, dan penurunan produktivitas kerja (Kassebaum et al. 2014). Hal ini akan berdampak pada kehidupan sehari-hari yang dapat diamati melalui status kesehatan, produktivitas, dan kualitas hidup. Wanita usia subur yang mengalami AGB akan memiliki resiko kesehatan yang lebih besar, terutama pada saat hamil. Ibu hamil yang menderita AGB akan mengalami gangguan dalam proses distribusi nutrisi dan oksigen ke janin sehingga perkembangan janin terganggu (Myles 2009). Hal ini mengindikasikan bahwa AGB pada WUS tidak hanya akan memengaruhi individu namun akan memiliki dampak antargenerasi.
- PEMBAHASAN
- Faktor Resiko
Penyebab utama dari AGB dapat diklasifikasikan menjadi defisiensi zat gizi, penyakit menular, dan kelainan genetik yang berkaitan dengan hemoglobin (Sunuwar et al. 2020). Perlu diketahui bahwa “Penyebab” memiliki makna yang berbeda dari “Faktor risiko”. Dalam istilah epidemiologi, kata “faktor risiko” digunakan untuk variabel-variabel yang memiliki asosiasi terhadap peningkatan risiko suatu penyakit. Meski begitu, faktor risiko belum tentu menjadi penyebab terjadinya suatu penyakit. Secara umum, 3 faktor risiko utama yang berkontribusi terhadap AGB adalah adalah umur, jenis kelamin, dan kehamilan (Manikam 2021). Selain itu, kondisi medis juga berkontribusi secara signifikan terhadap kejadian AGB. Faktor-faktor tersebut akan dijelaskan di bawah ini.
- Jenis kelamin
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sharif et al. (2023) wanita memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami anemia gizi besi. AGB tercatat berkontribusi terhadap 120.000 kematian pada tahun 2010. Sebanyak ⅔ dari angka tersebut adalah perempuan (Lim et al. 2012). Wanita memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk menderita AGB karena mengalami menstruasi, kehamilan, dan persalinan. Kebutuhan zat besi meningkat selama kehamilan untuk memenuhi kebutuhan fetoplasenta, meningkatkan produksi eritrosit, dan mengkompensasi hilangnya zat besi pada saat persalinan (Simone et al. 2020). Pada masa kehamilan jumlah darah di tubuh akan meningkat hingga 30% sehingga kebutuhan zat besi untuk mensintesis hemoglobin ikut bertambah (Kondi et al. 2017). Ibu hamil juga membutuhkan zat besi untuk perkembangan dan pertumbuhan janin. Selain itu, zat besi hilang bersama dengan keluarnya darah dari tubuh saat menstruasi dan persalinan, sehingga potensi terjadinya AGB bertambah besar.
- Umur
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Busti et al. (2014), prevalensi AGB meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Penelitian tersebut selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Ma et al. (2017) di China, penelitian ini menemukan bahwa wanita dengan umur 45-49 tahun memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami AGB dibandingkan dengan wanita yang lebih muda. Penelitian lain yang dilakukan di Myanmar dan India juga menemukan bahwa perempuan dengan usia lebih dari 40 tahun memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap anemia (Ismail et al. 2016) (Ko dan Win 2018). Penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak memiliki penemuan yang sedikit berbeda, anak-anak dengan umur 6-11 bulan 4.71 kali lebih rentan terhadap AGB jika dibandingkan dengan anak-anak usia lebih dari 60 bulan (Ismail et al. 2016). Maka dari itu, dapat diketahui bahwa pada anak-anak, usia yang lebih muda memiliki faktor risiko yang lebih besar terhadap AGB. Hal ini sejalan dengan penelitian Manikam (2021) yang mengemukakan bahwa masa bayi (0-12 bulan) lebih rentan terhadap AGB.
- Paritas dan Kehamilan
Ibu hamil membutuhkan peningkatan asupan zat besi dikarenakan jumlah darah yang meningkat sebesar 20-30% (Kondi et al. 2017). Selain itu, peningkatan kebutuhan zat besi terjadi karena ibu hamil perlu menyediakan zat besi untuk janin. Seringkali kebutuhan ini tidak terpenuhi sehingga prevalensi anemia pada ibu hamil masih sangat tinggi.
Prevalensi AGB lebih tinggi pada keadaan multipara dibandingkan dengan nulipara (Imai 2020). Nulipara mengacu pada wanita yang belum pernah melahirkan, sedangkan multipara mengacu pada wanita yang berhasil melahirkan bayi hidup lebih dari satu kali. Anemia pada ibu hamil multipara berkaitan dengan pendarahan saat proses persalinan atau keguguran. Hilangnya sel darah merah akan mengurangi jumlah hemoglobin dalam tubuh dan mengakibatkan terjadinya AGB. Penelitian menunjukkan bahwa wanita yang melahirkan lebih dari satu kali memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalami AGB sebesar 58% (Opitasari dan Andayasari 2015). Dilaporkan bahwa wanita dengan lebih dari tiga anak memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami AGB (Khedir et al. 2013). Jarak antara kehamilan juga perlu diperhatikan karena jarak kehamilan kurang dari 2 tahun menyumbang risiko tinggi untuk menimbulkan pendarahan abnormal pada saat persalinan yang diakibatkan oleh ketidaksiapan organ reproduksi (Novianti et al. 2022).
- Pendidikan
Hubungan pendidikan dan AGB terjalin secara dua arah. Pendidikan yang rendah terbukti memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian AGB, sebaliknya AGB dapat menurunkan potensi akademik. Penelitian yang dilakukan di Ethiopia menemukan bahwa AGB lebih rentan terjadi pada wanita yang memiliki pendidikan rendah (Teshome et al. 2022). Hal ini dibuktikan oleh Kondi et al. (2007) yang mengemukakan bahwa prevalensi anemia lebih tinggi pada tingkat pendidikan SD dan SMP dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Secara umum, wanita dengan pendidikan yang rendah memiliki pengetahuan yang lebih sedikit terkait anemia (Hardianti 2012). Pengetahuan menentukan sikap dan perilaku seseorang (Pakpahan 2017). Pengetahuan yang kurang mengenai anemia membuat individu tersebut bersikap tidak acuh, sehingga tidak ada upaya pencegahan maupun penanggulangan yang dilakukan. Selain itu, pendidikan memengaruhi pola makan seseorang. Individu dengan pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan pemilihan dan pengolahan bahan pangan yang dikonsumsi demi memenuhi kebutuhan gizi terutama pada masa kehamilan (Kondi et al. 2007).
- Pekerjaan dan Pendapatan
Prevalensi AGB lebih tinggi pada populasi dengan pendapatan yang rendah. Pendapatan berpengaruh secara signifikan terhadap pola makan individu. Nominal pendapatan berpengaruh terhadap purchasing power. Populasi dengan pendapatan rendah cenderung bergantung pada makanan tinggi energi dibanding makanan tinggi nutrisi, sehingga gagal untuk memenuhi kebutuhan nutrisi termasuk zat besi (Ranjit et al. 2020). Pendapatan rumah tangga di bawah GDP (Gross Domestic Bruto) memiliki resiko lebih besar untuk mengakibatkan AGB karena kurangnya akses terhadap makanan sehat (French et al. 2019).
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa terdapat pekerjaan-pekerjaan tertentu yang meningkatkan resiko terjadinya AGB. Pekerjaan dalam bidang pertanian meningkatkan resiko terjadinya AGB akibat infeksi cacing tambang yang dapat merusak sel darah merah (Wijaya et al. 2016). Pekerjaan dalam sektor industri juga rentan terhadap AGB. Hal ini terjadi akibat paparan terhadap bahan kimia seperti kadmium dan merkuri (Wiwanitkit 2006). Meski begitu, penelitian yang dilakukan di Nigeria mengemukakan bahwa wanita yang berstatus ibu rumah tangga memiliki kecenderungan yang tinggi untuk mengalami AGB. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki pendapatan untuk dapat bebas memilih makanan yang penuh nutrisi (Imoru et al. 2016).
- Wilayah
Distribusi prevalensi AGB dipengaruhi oleh faktor politik, sosial, ekologi, dan biologi (McLean et al. 2009). Penelitian di Ethiopia menemukan bahwa populasi yang tinggal di wilayah urban memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami anemia dibandingkan dengan populasi yang tinggal di wilayah pedesaan (Teshome et al. 2022). Penelitian di Myanmar menunjukan bahwa wilayah pesisir memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami AGB dibandingkan wilayah dataran tinggi (Win dan Ko 2018). Penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan situasi di Indonesia yang mana prevalensi ADB di daerah dataran tinggi jauh lebih rendah daripada wilayah pesisir (Sinatra et al. 2009). Prevalensi AGB lebih tinggi pada wilayah pesisir dikarenakan wilayah tersebut lebih rentan terhadap bencana alam yang dapat menyebabkan terganggunya ketahanan pangan.
- Dampak
Kekurangan zat besi memiliki dampak yang signifikan bagi tubuh. Terhambatnya proses pengangkutan oksigen menciptakan gangguan-gangguan pada fungsi organ. Hal ini dapat mengakibatkan kelelahan yang berlebihan, penurunan energi, penurunan tingkat konsentrasi, penurunan kognitif, dan penurunan daya tahan tubuh. Gejala yang lebih parah meliputi gagal jantung, gagal ginjal, komplikasi kehamilan, dan terhambatnya pertumbuhan. Oleh karena itu, pemahaman yang baik mengenai dampak AGB bagi tubuh sangatlah diperlukan.
- Dampak pada kesehatan Reproduksi Wanita
Salah satu manifestasi gejala AGB pada wanita usia subur adalah terganggunya siklus menstruasi. Defisiensi besi mengganggu proses pembentukan hemoglobin menyebabkan rendahnya kadar Hb pada wanita usia subur. Hb berperan untuk mengantar oksigen ke seluruh tubuh, termasuk otak. Kadar Hb yang rendah mengakibatkan berkurangnya pasokan oksigen ke otak yang dapat memengaruhi kerja otak. Regulasi dari siklus menstruasi dikendalikan oleh hormon estrogen dan progesteron yang diproduksi di hipotalamus. Kadar Hb yang rendah akan memengaruhi fungsi otak dan membuat kerja hipotalamus terganggu sehingga menyebabkan produksi hormon estrogen dan progesteron terhambat (Chandra et al. 2017). Hal ini mengakibatkan terjadinya oligomenorea, yaitu siklus menstruasi yang lebih lama dari normal (Chandra et al. 2017). Penelitian yang dilakukan oleh Panat (2013) menunjukkan bahwa WUS dengan ADB memiliki siklus menstruasi yang lebih lama (>7 hari). Ketidakteraturan menstruasi berdampak pada fertilitas. Penderita oligomenorea dapat dikatakan lebih rentan terhadap infertilitas. Penelitian yang dilakukan oleh He et al. (2020) menemukan bahwa infertilitas memiliki prevalensi yang lebih tinggi pada WUS dengan oligomenorea.
AGB pada wanita usia subur akan berlanjut saat wanita tersebut hamil. AGB yang berkelanjutan tersebut akan meningkatkan resiko kesehatan bagi ibu dan bayi. Ibu dengan AGB lebih rentan untuk mengalami infeksi puerperium, ketuban pecah dini, dan pendarahan antepartum (Manuaba 1998). Penelitian yang dilakukan oleh Maria et al. (2017) menemukan bahwa AGB berkontribusi hingga 70% terhadap kematian ibu dan bayi. Data tersebut didukung oleh publikasi yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2010 bahwa 40% dari kematian ibu di negara berkembang diakibatkan oleh anemia. Penelitian yang dilakukan oleh Maria et al. (2017) menunjukkan bahwa ibu hamil dengan AGB 3.6 kali lebih rentan untuk mengalami kematian selama persalinan.
Selain berdampak pada sang ibu, bayi yang dikandung ibu hamil dengan AGB memiliki resiko kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan bayi yang dikandung ibu non-AGB. Kejadian kelahiran prematur dan kelahiran berat bayi lahir rendah lebih tinggi pada ibu yang mengalami AGB (Destarina 2018). Selain itu, produksi ASI pada ibu hamil dengan AGB cenderung lebih sedikit (Prawirohardjo 2014). Oleh karena itu, anak dari ibu yang menderita AGB memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami keterlambatan pertumbuhan dan gangguan kognitif (Nambiema et al. 2019).
- Dampak Pada Potensi Akademik
AGB terbukti memiliki asosiasi terhadap kemampuan konsentrasi, kecerdasan, dan daya ingat (Samson et al. 2022). Penelitian terdahulu sepakat bahwa defisiensi zat besi hanya dapat mengganggu fungsi otak ketika otak masih dalam masa perkembangan (Beard 1995). Meski begitu, penelitian terbaru menemukan bahwa AGB dapat mengganggu fungsi kognitif melalui proses metabolisme, sehingga dapat terjadi pada setiap tahap dalam siklus kehidupan (Beard dan Connor 2003). Defisiensi zat besi mengganggu homeostasis Neurotransmiter Glutamate dan Gamma-Aminobutyric Acid (GABA). Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan pada kemampuan belajar, daya ingat, dan perilaku (Kim et al. 2014). Anemia juga dapat menurunkan daya imun yang mengakibatkan penurunan produktivitas siswa, sehingga berdampak pada meningkatnya status absensi karena sakit.
Anemia defisiensi besi terbukti dapat mempengaruhi IQ. Penelitian yang dilakukan oleh More et al. (2013) menganalisa kemampuan kognitif siswa dengan anemia menggunakan skor IQ. Ditemukan perbedaan yang signifikan pada skor siswa dengan AGB dan siswa non-AGB. Siswa dengan AGB memiliki skor IQ lebih rendah dibandingkan dengan siswa non-AGB. Hal ini sejalan dengan temuan bahwa AGB dapat menurunkan IQ hingga sekitar 5-10% (Ernawati dan Saidin 2008).
Suplementasi zat besi dipercaya dapat memperbaiki dampak yang ditimbulkan dari AGB. Penelitian yang dilakukan oleh mengemukakan bahwa suplementasi zat besi dapat meningkatkan daya konsentrasi dan kecerdasan (Falkingham et al. 2010). Suplementasi zat besi pada penderita AGB terbukti dapat meningkatkan skor IQ hingga 2.5 poin (Falkingham et al. 2010). Suplementasi zat besi juga terbukti dapat meningkatkan daya konsentrasi hingga 7 kali lebih baik (Murray-Kolb dan Beard 2007).
- Dampak Pada Produktivitas dan Kualitas Hidup
Efek dari anemia gizi besi pada tubuh dapat menurunkan produktivitas dan kualitas hidup. Seperti yang disebutkan sebelumnya, AGB menurunkan daya imun seseorang sehingga produktivitas hidupnya menurun karena gangguan kesehatan. Kadar zat besi yang rendah akan mengakibatkan terganggunya fungsi-fungsi fisiologis yang berujung pada gangguan kognitif dan perilaku. Hal ini mengakibatkan menurunnya kapasitas kerja dan berujung pada penurunan pendapatan (Rahman et al. 2021). Penelitian yang dilakukan oleh Horton dan Ross (2003) menemukan bahwa kerugian produktivitas tahunan akibat anemia mencapai $2.32 per kapita atau setara dengan 0.57%.
AGB telah terbukti menyebabkan penurunan pada tingkat konsentrasi, daya ingat, dan kecerdasan. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar (Murray-Kolb dan Beard 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Perez et al. (2005) mengemukakan bahwa anemia defisiensi besi juga mempengaruhi interaksi antara ibu dan anak, sehingga kualitas hubungan ibu dan anak terdampak secara negatif. Hal ini dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan anak.
Anemia gizi besi dapat bermanifestasi menjadi gejala-gejala depresi yang mengganggu produktivitas dan kualitas hidup. Gejala yang timbul termasuk kelelahan, kelemahan, dan kurangnya energi (Turner dan Badireddy 2022). Penelitian yang dilakukan oleh Park et al. (2022) menemukan bahwa depresi lebih mungkin terjadi pada wanita dengan AGB daripada laki-laki dengan AGB. Situasi ini secara umum memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk terjadi pada penderita AGB yang berusia lanjut (Stewart dan Hirani 2012). Meski begitu, penelitian yang dilakukan oleh Kusumawardani et al. (2018) menemukan bahwa 30-70% ibu hamil dengan AGB mengalami depresi postpartum selama lebih dari satu tahun. Penderita AGB dapat mengalami depresi akibat kurangnya oksigen pada jaringan tubuh, kurangnya aktivitas fisik, dan terganggunya sintesis monoamin (Park et al. 2022).
Zat besi merupakan komponen yang penting bagi fungsi neurologis. Zat besi dibutuhkan dalam kerja mitokondria, sintesis neurotransmiter, myelinisasi sel neuron, dan transfer elektron (Kim et al. 2018). Defisiensi zat besi akan merubah transmisi monoamin. Hal ini akan berakibat pada terjadinya neuropsychiatric disorders berupa attention deficit hyperactivity disorder, Tourette syndrome, restless legs syndrome (RLS), dan Parkinson’s disease (Earley et al. 2014).
Rendahnya kadar Hb dapat mengurangi oksigenasi jaringan yang akan berdampak secara negatif pada aktivitas fisik dan massa otot. AGB berkontribusi terhadap fungsi otot jantung dan dapat meningkatkan vasodilatasi arteri perifer (Park et al. 2022). Hal ini dapat menyebabkan teraktivasinya sistem renin-angiotensin-aldosteron yang dapat berakibat pada gagal jantung atau gagal ginjal (Park et al. 2022). AGB dapat menurunkan kualitas hidup karena gejala seperti kelelahan, gangguan kognitif, depresi, penurunan kekuatan otot, dan kelemahan (Woodman et al. 2005). AGB juga meningkatkan lama waktu rawat inap, disabilitas dan mortalitas (den Elzen et al. 2009).
- Manajemen Anemia Gizi Besi di Indonesia
Program pencegahan dan penanggulangan AGB telah dimulai sejak tahun 1990-an. Program ini diawali dengan kegiatan suplementasi “TTD Mandiri” dengan sasaran wanita usia subur. Pengembangan program pencegahan dan penanggulangan AGB berlanjut secara mandiri di beberapa daerah sejak tahun 1996 (Kemenkes 2018). Program manajemen AGB yang terbaru dibuat oleh Kemenkes RI pada tahun 2016 dengan sasaran remaja putri dan wanita usia subur. Program tersebut meliputi pedoman gizi seimbang, suplementasi tablet tambah darah, fortifikasi makanan, dan pengobatan penyakit penyerta (Kemenkes 2018). Pada tahun 2018 kemenkes mengeluarkan buku “Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Anemia pada remaja Putri dan Wanita Usia Subur (WUS)” dengan tujuan dapat menurunkan prevalensi anemia pada remaja putri dan wanita usia subur.
Upaya pemerintah dalam mencegah dan menanggulangi AGB tidak selalu berjalan dengan efektif. Hal ini tercerminkan oleh tingkat prevalensi anemia di Indonesia yang masih tinggi. Sebuah penelitian di Iran menemukan faktor-faktor yang memengaruhi keefektifan program suplementasi TTD. Faktor utama yang memengaruhi keefektifan program tersebut adalah ketersediaan dan efek samping yang ditimbulkan. Adapun faktor tambahan yang secara signifikan memengaruhi keberhasilan program tersebut adalah kualitas TTD, peran orang tua, kerjasama stakeholder, sosialisasi pada rematri, dan pelatihan edukator (Kheirouri dan Alizadeh 2014). Kepatuhan konsumsi TTD juga merupakan faktor penting yang menentukan efektivitas program tersebut. Riskesdas 2018 melaporkan bahwa dari 80.9% siswi yang mendapat suplementasi TTD, hanya 1,4% yang mengonsumsi TTD ≥52 tablet (Kemenkes 2018).
Beberapa upaya dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas program pencegahan dan penanggulangan AGB. Promosi kesehatan merupakan tindakan yang sangat penting dan dapat menunjukkan hasil yang signifikan terhadap efektivitas program tersebut. Pada saat ini, hanya 8% rematri yang memiliki pengetahuan cukup mengenai anemia (BKKBN et al. 2017). Pengetahuan mendasari tindakan dan pilihan individu, sehingga pengetahuan yang baik mengenai anemia sangat diperlukan untuk mendukung program pencegahan dan penanggulangan AGB (Notoatmojo 2014).
- PENUTUP
Berbagai faktor dapat memicu terjadinya AGB, faktor tersebut dapat bersifat internal maupun eksternal. Faktor yang paling signifikan dalam meningkatkan risiko terjadinya AGB adalah jenis kelamin, umur, kehamilan, paritas, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan wilayah. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka mengatasi permasalahan AGB. Upaya tersebut berupa suplementasi TTD, pedoman gizi seimbang, suplementasi tablet tambah darah, fortifikasi makanan, dan pengobatan penyakit penyerta. Meski begitu, program yang telah dilakukan tidak berjalan dengan efektif. Hal ini dibuktikan dengan tingginya prevalensi AGB di Indonesia. Hal ini dapat menimbulkan berbagai dampak buruk baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Diperlukan solusi dan inovasi baru untuk meningkatkan efektivitas program pencegahan dan penanggulangan AGB. Hal ini memerlukan analisis lebih lanjut dengan membandingkan keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan AGB di negara lain. Salah satu kegiatan yang direkomendasikan adalah meningkatkan intensitas promosi kesehatan untuk membentuk perilaku positif terhadap kesehatan.
Nama Peserta : Aurellia Farrelyn Putri
Tema : Memutus Mata Rantai Anemia sebagai Siklus Antargenerasi
Sub Tema : Hubungan Anemia dengan Kesehatan Reproduksi, Produktivitas, dan Kualitas Hidup Perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Beard, J. (1995). One person’s view of iron deficiency, development, and cognitive function. The American Journal of Clinical Nutrition, 62(4), pp.709–710. doi:https://doi.org/10.1093/ajcn/62.4.709.
Beard, J.L. and Connor, J.R. (2003). Iron status and neural functioning. Annual review of nutrition, [online] 23, pp.41–58. doi:https://doi.org/10.1146/annurev.nutr.23.020102.075739.
BKKBN, BPS, Kemenkes RI (2017). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) 2017. Jakarta: BKKBN, BPS, dan Kemenkes RI.
Busti, F., Campostrini, N., Martinelli, N. and Girelli, D. (2014). Iron deficiency in the elderly population, revisited in the hepcidin era. Frontiers in Pharmacology, [online] 5(83). doi:https://doi.org/10.3389/fphar.2014.00083.
Chandra, S., Gupta, N. and Patel, S. (2017). Study of iron status indicators in different phases of menstrual cycle in first year medical college females. International Journal of Research in Medical Sciences, 5(1). doi:https://doi.org/10.18203/2320-6012.ijrms20164520.
Chaparro, C. and Suchdev, P. (2019). Anemia Epidemiology, Pathophysiology, and Etiology in Low- And Middle-Income Countries. Annals of the New York Academy of Sciences. Available at: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31008520/.
den Elzen, W.P.J., Willems, J.M., Westendorp, R.G.J., de Craen, A.J.M., Assendelft, W.J.J. and Gussekloo, J. (2009). Effect of anemia and comorbidity on functional status and mortality in old age: results from the Leiden 85-plus Study. Canadian Medical Association Journal, 181(3-4), pp.151–157. doi:https://doi.org/10.1503/cmaj.090040.
Destarina, R. (2018). Faktor risiko anemia ibu hamil terhadap panjang badan lahir pendek di Puskesmas Sentolo 1 Kulon Progo D.I.Yogyakarta. gizi indonesia, 41(1), p.39. doi:https://doi.org/10.36457/gizindo.v41i1.250.
Earley, C.J., Connor, J., Garcia-Borreguero, D., Jenner, P., Winkelman, J., Zee, P.C. and Allen, R. (2014). Altered brain iron homeostasis and dopaminergic function in restless legs syndrome (Willis–Ekbom Disease). Sleep Medicine, 15(11), pp.1288–1301. doi:https://doi.org/10.1016/j.sleep.2014.05.009.
Ernawati, F., Saidin, M. (2008). Determinan status anemia siswa SLTA di DKI Jakarta. PGM. 31(2). p.82-87.
Falkingham, M., Abdelhamid, A., Curtis, P., Fairweather-Tait, S., Dye, L. and Hooper, L. (2010). The effects of oral iron supplementation on cognition in older children and adults: a systematic review and meta-analysis. Nutrition Journal, 9(1). doi:https://doi.org/10.1186/1475-2891-9-4.
Garzon, S., Cacciato, P.M., Certelli, C., Salvaggio, C., Magliarditi, M. and Rizzo, G. (2020). Iron deficiency anemia in pregnancy: novel approaches for an old problem. Oman Medical Journal, [online] 35(5), pp.e166–e166. doi:https://doi.org/10.5001/omj.2020.108.
He, Y., Zheng, D., Shang, W., Wang, X., Zhao, S., Wei, Z., Song, X., Shi, X., Zhu, Y., Wang, S., Li, R. and Qiao, J. (2020). Prevalence of oligomenorrhea among women of childbearing age in China: A large community-based study. Women’s Health, 16, p.174550652092861. doi:https://doi.org/10.1177/1745506520928617.
Horton, S. and Ross, J. (2003). The economics of iron deficiency. Food Policy, [online] 28(1), pp.51–75. doi:https://doi.org/10.1016/s0306-9192(02)00070-2.
Imai, K. (2020). Parity-based assessment of anemia and iron deficiency in pregnant women. Taiwanese Journal of Obstetrics and Gynecology, 59(6), pp.838–841. doi:https://doi.org/10.1016/j.tjog.2020.09.010.
Imoru, M. (2016). Effect of socio-demographic variables on the prevalence of anaemia among pregnant women in Sokoto, Nigeria. Jacobs J. Emerg. Med.
Ismail, I., Kahkashan, A., Antony, A. and V.K., S. (2016). Role of socio-demographic and cultural factors on anemia in a tribal population of North Kerala, India. International Journal of Community Medicine and Public Health, 3(5), pp.1183–1188. doi:https://doi.org/10.18203/2394-6040.ijcmph20161381.
Kassebaum, N.J., Jasrasaria, R., Naghavi, M., Wulf, S.K., Johns, N., Lozano, R., Regan, M., Weatherall, D., Chou, D.P., Eisele, T.P., Flaxman, S.R., Pullan, R.L., Brooker, S.J. and Murray, C.J.L. (2014). A systematic analysis of global anemia burden from 1990 to 2010. Blood, [online] 123(5), pp.615–24. doi:https://doi.org/10.1182/blood-2013-06-508325.
Kemenkes RI. (2018). Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Anemia pada remaja Putri dan Wanita Usia Subur (WUS). Jakarta: Kemenkes RI.
Kemenkes RI (2018). Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta: Kemenkes RI.
Kheirouri, S. and Alizadeh, M. (2014). Process evaluation of a national school-based iron supplementation program for adolescent girls in Iran. BMC Public Health, 14(1). doi:https://doi.org/10.1186/1471-2458-14-959.
Kim, J. and Wessling-Resnick, M. (2014). Iron and Mechanisms of Emotional Behavior. The Journal of nutritional biochemistry, [online] 25(11), pp.1101–1107. doi:https://doi.org/10.1016/j.jnutbio.2014.07.003.
Kim, S.-W., Stewart, R., Park, W.-Y., Jhon, M., Lee, J.-Y., Kim, S.-Y., Kim, J.-M., Amminger, P., Chung, Y.-C. and Yoon, J.-S. (2018). Latent Iron Deficiency as a Marker of Negative Symptoms in Patients with First-Episode Schizophrenia Spectrum Disorder. Nutrients, [online] 10(11). doi:https://doi.org/10.3390/nu10111707.
Ko, M. and Win, H. (2018). Geographical disparities and determinants of anaemia among women of reproductive age in Myanmar: analysis of the 2015–2016 Myanmar Demographic and Health Survey. WHO South-East Asia Journal of Public Health, 7(2), p.107. doi:https://doi.org/10.4103/2224-3151.239422.
Kondi, M., Berkanis, A., Kep, S., Kes, M. and Febriyanti, E. (2017). Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada ibu hamil di Puskesmas Padedewatu Kabupaten Sumba Barat. CHMK Midwifery Scientific Journal.
Kusumawardani, F., Rodiani, R. and Prabowo, A.Y. (2018). Hubungan anemia maternal dengan depresi postpartum. Jurnal Majority, [online] 7(2), pp.269–272. Available at: https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/1888 [Accessed 10 Aug. 2023].
Lim, S.S., Vos, T., Flaxman, A.D., Danaei, G., Shibuya, K., Adair-Rohani, H., AlMazroa, M.A., Amann, M., Anderson, H.R., Andrews, K.G., Aryee, M., Atkinson, C., Bacchus, L.J., Bahalim, A.N., Balakrishnan, K., Balmes, J., Barker-Collo, S., Baxter, A., Bell, M.L. and Blore, J.D. (2012). A comparative risk assessment of burden of disease and injury attributable to 67 risk factors and risk factor clusters in 21 regions, 1990–2010: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2010. The Lancet, [online] 380(9859), pp.2224–2260. doi:https://doi.org/10.1016/s0140-6736(12)61766-8.
Manikam, N.R.M. (2021). Iron deficiency in Indoenesia: known facts. World Nutr Journal, 5(1). doi:https://doi.org/10.25220/WNJ.V05.S1.0001.
Manuaba, I. (1998). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: BGC.
Miller, J.L. (2013). Iron deficiency anemia: a common and curable cisease. Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine, [online] 3(7).
More, S., Shivkumar, V.B., Gangane, N. and Shende, S. (2013). Effects of Iron Deficiency on Cognitive Function in School Going Adolescent Females in Rural Area of Central India. Anemia, 2013, pp.1–5. doi:https://doi.org/10.1155/2013/819136.
Murray, C.J.L., Barber, R.M., Foreman, K.J., Ozgoren, A.A., Abd-Allah, F., Abera, S.F., Aboyans, V., Abraham, J.P., Abubakar, I., Abu-Raddad, L.J., Abu-Rmeileh, N.M., Achoki, T., Ackerman, I.N., Ademi, Z., Adou, A.K., Adsuar, J.C., Afshin, A., Agardh, E.E., Alam, S.S. and Alasfoor, D. (2015). Global, regional, and national disability-adjusted life years (DALYs) for 306 diseases and injuries and healthy life expectancy (HALE) for 188 countries, 1990–2013: quantifying the epidemiological transition. The Lancet, [online] 386(10009), pp.2145–2191. doi:https://doi.org/10.1016/s0140-6736(15)61340-x.
Murray-Kolb, L.E. and Beard, J.L. (2007). Iron treatment normalizes cognitive functioning in young women. The American Journal of Clinical Nutrition, 85(3), pp.778–787. doi:https://doi.org/10.1093/ajcn/85.3.778.
Myles, (2009). Buku Ajar Bidan. Jakarta: EGC.
Nambiema, A., Robert, A. and Yaya, I. (2019). Prevalence and risk factors of anemia in children aged from 6 to 59 months in Togo: analysis from Togo demographic and health survey data, 2013–2014. BMC Public Health, 19(1). doi:https://doi.org/10.1186/s12889-019-6547-1.
Notoatmojo, S. (2014). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Reneka Cipta.
Novianti, L., Anggraini, H. and Rahmadhani, S.P. (2022). Hubungan usia, paritas dan jarak kehamilan dengan kejadian anemia pada ibu hamil multipara di praktek mandiri bidan Kelurahan Sukajadi Kabupaten Banyuasin 2020. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 22(1), p.527. doi:https://doi.org/10.33087/jiubj.v22i1.1802.
Opitasari C, Andayasari L. (2015). Young mothers, parity and the risks of anemia in the third trimester of pregnancy. Health Science Journal of Indonesia. 6(1).
Pakpahan, D. (2017). Pengaruh pengetahuan dan sikap terhadap perilaku masyarakat pada bank syariah di wilayah Kelurahan Sei Sikambing D. Jurnal At-Tawassuth.
Panat, AV. (2013). Iron deficiency among rural college girls: a result of poor nutrition and prolonged menstruation. J Community Nutr Health, 2(2), pp.56–60.
Park, G.N., Kim, J.O., Oh, J.W. and Lee, S. (2022). Association between anemia and depression: The 2014, 2016, and 2018 Korea National Health and Nutrition Examination Survey. Journal of Affective Disorders, 312, pp.86–91. doi:https://doi.org/10.1016/j.jad.2022.06.015.
Perez, E.M., Hendricks, M.K., Beard, J.L., Murray-Kolb, L.E., Berg, A., Tomlinson, M., Irlam, J., Isaacs, W., Njengele, T., Sive, A. and Vernon-Feagans, L. (2005). Mother-Infant interactions and infant development are altered by maternal iron deficiency anemia. The Journal of Nutrition, 135(4), pp.850–855. doi:https://doi.org/10.1093/jn/135.4.850.
Prawirohardjo, Sarwono. (2014). Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka.
Rahman, Md.A., Rahman, Md.S., Aziz Rahman, M., Szymlek-Gay, E.A., Uddin, R. and Islam, S.M.S. (2021). Prevalence of and factors associated with anaemia in women of reproductive age in Bangladesh, Maldives and Nepal: Evidence from nationally-representative survey data. PLOS ONE, 16(1), p.e0245335. doi:https://doi.org/10.1371/journal.pone.0245335.
Richard, C. and Verdier, F. (2020). Transferrin receptors in erythropoiesis. International Journal of Molecular Sciences, 21(24), p.9713. doi:https://doi.org/10.3390/ijms21249713.
Samson, K.L.I., Fischer, J.A.J. and Roche, M.L. (2022). Iron Status, Anemia, and Iron Interventions and Their Associations with Cognitive and Academic Performance in Adolescents: A Systematic Review. Nutrients, [online] 14(1), p.224. doi:https://doi.org/10.3390/nu14010224.
Sharif, N., Das, B. and Alam, A. (2023). Prevalence of anemia among reproductive women in different social group in India: cross-sectional study using nationally representative data. PLOS ONE, 18(2), p.e0281015. doi:https://doi.org/10.1371/journal.pone.0281015.
Sinatra, M.T. (2009). Perbedaan prevalensi anemia defisiensi besi pada perempuan hamil di daerah pantai dan pegunungan di wilayah Semarang. Indonesian Journal of Obstetrics and Gynecology, [online] 33(2). Available at: https://www.inajog.com/index.php/journal/article/view/188/180 [Accessed 29 Jul. 2023].
Stewart, R. and Hirani, V. (2012). Relationship between depressive symptoms, anemia, and iron status in older residents from a national survey population. Psychosomatic Medicine, 74(2), pp.208–213. doi:https://doi.org/10.1097/psy.0b013e3182414f7d.
Sunuwar, D.R., Singh, D.R., Chaudhary, N.K., Pradhan, P.M.S., Rai, P. and Tiwari, K. (2020). Prevalence and factors associated with anemia among women of reproductive age in seven South and Southeast Asian countries: Evidence from nationally representative surveys. PLOS ONE, 15(8), p.e0236449. doi:https://doi.org/10.1371/journal.pone.0236449.
Teshome, A.A., Berra, W.G. and Hiruy, A.F. (2022). Modern contraceptive methods predict hemoglobin levels among women of childbearing age from DHS 2016. Journal of Contraception, 13, pp.1–8. doi:https://doi.org/10.2147/oajc.s329045.
Turner, J. and Badireddy, M. (2022). Anemia. Treasure Islands: Stat Pearls.
Wijaya, N., Anies, Suhartono, Hadisaputro, S., Setyawan, H.(2016). Faktor risiko kejadian infeksi cacing tambang pada petani pembibitan albasia di kecamatan kemiri kabupaten purworejo. JEKK. [online] Available at: https://media.neliti.com/media/publications/301934-faktor-risiko-kejadian-infeksi-cacing-ta-c166eec9.pdf [Accessed 12 Aug. 2023].
Wiwanitkit, V. (2007). Tropical Anemia. 1st ed. New York: Nova Biomedical.
Woodman, R., Ferrucci, L. and Guralnik, J. (2005). Anemia in older adults. Current Opinion in Internal Medicine, 4(3), pp.261–266. doi:https://doi.org/10.1097/01.moh.0000154030.13020.85.