Menurut WHO, kanker merupakan penyebab kematian terbanyak di dunia yang disebabkan oleh penyakit kronis melihat data pada tahun 2018 terdapat 18,1 juta kasus baru dan telah terjadi 9,6 Juta kematian yang diakibatkan oleh kanker dengan kanker serviks menempati peringkat keempat penyebab kematian pada wanita. Globocan, International Agency for Research on Cancer (IARC) memperkirakan pada tahun 2018, insidens kanker di Indonesia mencapai 136,2 per 100.000 penduduk dengan insidens tertinggi kedua pada perempuan adalah kanker serviks dengan angka 17 per 100.000.
Kanker serviks merupakan jenis kanker yang terjadi di jaringan serviks yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) (Mayo Clinic, 2019). Kesadaran akan kanker serviks di Indonesia kini sudah semakin meningkat dilihat dari diluncurkannya program nasional Gerakan Pencegahan Dini Kanker pada Perempuan Indonesia tahun 2015-2019 yang merupakan salah satu kebijakan pemerintah yaitu program skrining.
Metode skrining yang terkenal saat ini adalah Pap smear dan tes IVA. Pap smear dilakukan dengan mengusap jaringan serviks untuk kemudian diamati, berbeda dengan tes IVA yang merupakan inspeksi visual menggunakan asam asetat. Tahukah anda, ternyata skrining kanker serviks bukan hanya itu loh! Metode skrining lainnya yang belum terlalu dikenal adalah tes DNA HPV.
Metode tes DNA HPV hampir mirip dengan pap smear yaitu dengan memasukkan alat yang disebut spekulum untuk membuka dinding vagina, kemudian mengambil sampel dari serviks dan bagian dalam saluran endoserviks. Keunggulan metode ini dengan pap smear dan tes IVA adalah tes DNA HPV dapat mendeteksi kanker serviks sejak dini sebelum muncul perubahan pada sel sehingga memungkinkan pengobatan yang lebih cepat untuk menghentikan perkembangan kanker.
Hasil uji klinis Kanada yang diterbitkan dalam Journal of American Medical Association (JAMA), menyebutkan bahwa tes DNA HPV lebih akurat daripada tes lainnya. Tes DNA HPV dan pap smear dapat dilaksanakan sendiri atau secara kombinasi tergantung kategori umur wanita.
Program pencegahan kanker serviks ternyata belum cukup efektif tanpa adanya vaksinasi HPV, terutama kepada golongan wanita usia subur yang rentan terserang infeksi. Alasan utamanya adalah, skrining dapat mendeteksi sebagian besar jenis kanker yang disebabkan oleh HPV, namun jenis kanker HPV lainnya belum tentu terdeteksi hingga stadium lanjut.
CDC menemukan bahwa terdapat 80% orang di dunia berpotensi terinfeksi HPV dalam hidupnya sehingga vaksinasi HPV penting untuk melindungi diri dari infeksi HPV. Vaksinasi HPV hanya dapat diberikan sebelum seorang perempuan aktif berhubungan seksual, saat mereka belum terpapar oleh virus tersebut. Oleh karena itu, vaksinasi HPV dianjurkan untuk perempuan berusia 11-26 tahun.
Sejak ditemukannya vaksinasi HPV, kasus kanker serviks di dunia telah berkurang sebanyak 86%. Kepala Bidang Pelayanan Sosial YKI (Yayasan Kanker Indonesia) juga menyebutkan efektivitas dari vaksin HPV untuk melindungi dari tipe 16 dan 18 adalah hampir 100%, yang mana kedua tipe ini menyebabkan 75% dari kanker serviks. Efektivitas vaksinasi HPV berbanding terbalik dengan cakupan vaksinasi HPV di Indonesia yang hanya menyentuh angka 1,1% dan tidak adanya program vaksinasi HPV dari pemerintah untuk perempuan dewasa.
Melihat hal tersebut, Indonesia memerlukan dua strategi utama yang perlu dipertimbangkan untuk pencegahan dan pengendalian kanker serviks, yaitu peningkatan efisiensi skrining dan cakupan vaksinasi HPV.
Proses menuju penurunan angka kejadian kanker serviks memang bukan hal yang mudah dicapai, dibutuhkan kerjasama sinergis antara pemerintah, masyarakat dan pelayanan kesehatan untuk menggalakan intervensi perilaku berisiko dan pengetahuan mengenai kanker serviks, skrining dan juga vaksinasi HPV. Setiap wanita berhak terlindungi dari bahaya kanker serviks sehingga vaksinasi HPV perlu menjadi program skala nasional.
Aljira Fitya, Annisa Isnaini, Athaya Aurelia, Azzura Intam Wahyudi, Dhia Fairuz dan Sri Nugraheni Aletha.
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia