Wilayah pedesaan merupakan tempat bermukim nya bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Data BPS menunjukan sebanyak 119 juta jiwa atau 50,21% persen penduduk Indonesia tinggal di pedesaan. Tingkat kesenjangan masyarakat dan tingkat kemiskinan masyarakat juga menjadi salah satu faktor penting dalam tingkat kesejahteraan atau taraf hidup masyarakat pedesaan. Tingkat konsumsi masyarakat juga akan meningkat. Menurut salah satu ahli Ekonomi. mengatakan bahwa tingkat pertumbuhan perekonomian masyarakat, akan tetap mengalami pertumbuhan. Dengan atau adanya pendapatan. Karena perilaku konsumsi masyarakat setiap hari nya. Jumlah kemiskinan yang bekerja di sektor pertanian pada tahun 2012 mencapai 6.028.503 (kemper 2013). Sebanyak 62,97% bekerja pada sub sektor tanam dan pangan. Desa yang identik dengan pertanian atau sumber daya alam yang melimpah, sudah seharusnya dimanfaatkan dengan baik. Dengan manajemen dan pembiayaan yang baik. Sebagai salah satu wadah, dalam mengoptimalisasikan pertumbuhan masyarakat agar produktif. Kemampuan atau skill yang dimiliki oleh masyarakat desa, cenderung masih kurang memadai. Terutama dalam management atau administrasi keuangan. Selain itu, kekurangan modal juga menjadi salah satu faktor penyebab kesenjangan dan kemiskinan di masyarakat lokal. Sehingga sebagai alternative nya masyarakat desa dalam pendanaan nya modal nya lebih memilih untuk meminjam ke rentenir atau bank keliling yang berkedok koperasi. Oleh karena itu, peningkatan kesejahteraan atau akses masyarakat lokal terhadap pembiayaan dari luar di harapkan dapat mengatasi permasalahan keterbatasan modal. Kondisi ini di dukung dengan semakin berkembangnya lembaga keuangan mikro di pedesaan. Terutama yang terbentuk Lembaga keuangan mikro syariah (LKMS).
Lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) di Indonesia lebih di kenal dengan Baitul MaAL wa Tamwil (BMT) atau secara hukum di sebut dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Payung hukum dari pendirian BMT di Indonesia adalah Keptusan mentri koperasi dan UKM No 91/Kep/MKUKM/IX/2004 tentang petunjuk pelaksanaan kegiatan usaha koperasi jasa keuangan syariah. BMT di rancang sebagai lembaga ekonomi rakyat, yang secara konsepsi berfokus pada masyarakat bawah. Terutama untuk biaya permodalan pada masyarakat desa, maka BMT berupaya menghimpun dana yang berasal dari masyarakat lokal (Buchori, 2012). Dalam penyaluran dana pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip uang yang dilakukan oleh bank umum syariah atau Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah. Pertama, mudharabah dan musyarakah. Dalam hal ini mudharabah dan musyarakah ini BMT menyediakan modal (sebagai shahibul maal) kepada seseorang pengelola modal (mudarrib) dengan cara bagi hasil. Kedua, murabaha dan bai’u bithaman ajil. Dalam pelaksanaan murabaha dan bai’u bithaman ajil ini, BMT mengangkat nasabah sebagai agen yang diberi kuasa untuk melakukan pembelian barang atas nama BMT. Kemudian BMT menjual barang tersebut kepada nasabah dengan jumlah harga beli ditambah dengan keuntungan kepada BMT sering diistilahkan dengan mark-up/margin. Ketiga, Qardhul Hasan. Pembiayaan Qardhul Hasan diistilahkan juga dengan pembiayaan kebajikan. Disebut dengan system kebajikan karena system ini lebih bersifat social dan non-profit. Sedangkan sumber dana untuk pembiayaan ini tidak membutuhkan biaya (non-cost of money).
BMT ini memiliki potensi besar untuk terus berkembang di tengah masyarakat pedesaan. Bahkan untuk perkembangan di masa yang akan datang, penulis memaparkan akan menjadi sumber permodalan di pedesaan. Dan menjadi penggerak aktivitas perekonomian masyarakat pedesaan. Namun, BMT yang saat ini sudah berkembang di masyarakat meski pun masih minim. Perlu di rancang strategi khusus terkait daya saing Industri BMT sebagai lembaga pembiayaan mikro syariah di pedesaan. Program atau strategi tersebut harus di lakukan secara terus menerus dan bertahap (sustainable development) sesuai tipologi pedesaan di Indonesia. Kemudian untuk merealisasikan upaya pembangunan industry keuangan yang berkelanjutan, khususnya lembaga keuangan mikro syariah ini di perlukan kemitraan atau stakeholder lainnya yang mendukung program tersebut. Perlu juga pengkondisian, musyawarah pembentukan/pendirian, komitmen dan konsisten jangka panjang dari berbagai stakeholder yang terlibat. (Reni Marlina)